Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA pejabat teras bidang keuangan dan perbankan itu terlihat bergegas meninggalkan ruang rapat di lantai 24 gedung Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Rabu pekan lalu. Air muka mereka serius, laiknya habis membahas masalah gawat. Ketiga pejabat itu—Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Darmin Nasution, Ketua BPPN Syafruddin Temenggung, dan Direktur Utama Bank BNI Sigit Pramono—rupanya baru selesai mendiskusikan penyelesaian masalah letter of credit (L/C) Texmaco.
Darmin, yang sempat berbicara kepada wartawan setelah pertemuan, mengatakan pada prinsipnya ketiga pihak telah menyepakati cara pembayaran L/C tersebut. "Gongnya nanti diumumkan setelah pertemuan dengan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)," katanya. Rapat KKSK yang disebut Darmin itu langsung digelar sore harinya. Pesertanya Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Menteri Negara Riset dan Teknologi Hatta Radjasa, serta ketiga pejabat tadi. Keputusannya?
BPPN harus membayar surat utang senilai US$ 90 juta kepada Bank BNI. Namun, karena BNI juga mesti me-ngembalikan sisa kelebihan obligasi rekapitalisasi US$ 22 juta, jumlah yang harus dibayar dokter perbankan itu cuma US$ 68 juta. "Pembayaran akan dilakukan sebelum BPPN tutup, Februari mendatang," kata Sekretaris KKSK, Lukita Dinarsyah Tuwo.
Keputusan ini boleh dibilang antiklimaks dari debat panas yang berlangsung sebelumnya antara pejabat BPPN dan BNI. Sepekan kemarin ketegangan sempat meruncing antara kedua pihak. Pemicunya adalah pernyataan Deputi Ketua BPPN Bidang Asset Management Credit, Mohammad Syahrial, bahwa pihaknya ingin membayar L/C tersebut lewat pertukaran (offset) dengan kelebihan obligasi rekapitalisasi BNI, menurut dia, sebesar US$ 81 juta.
Jadi, BPPN hanya perlu membayar sisanya sebesar US$ 9 juta—itu pun dengan melihat dulu hasil penjualan aset kredit Texmaco. "Kalau misalnya aset Texmaco lakunya 20 persen, saya juga bayarnya 20 persen. Enggak fair, dong, kalau kita bayar 100 persen," katanya seperti dikutip berbagai media. Pernyataan Syahrial keruan saja membuat direksi BNI mencak-mencak. "Itu tidak adil," kata bos BNI, Sigit Pramono.
Sigit menegaskan, pemerintah sebelumnya tak pernah menyebut kemungkinan pembayaran L/C dengan mengikuti nilai penjualan aset kredit Texmaco. "Kami ingin memastikan L/C itu dibayar dan tidak membebani kami," ujarnya. Senada dengan Sigit, komisaris BNI Dradjad Wibowo menganggap selain tidak adil bagi BNI, rencana BPPN tersebut tidak ada landasan hukumnya. "Seharusnya L/C tersebut dibayar sesuai dengan jumlah yang dikucurkan, dan tidak mengikuti harga penjualan Texmaco," katanya.
Dradjad juga menyatakan, bila BPPN tak membayar L/C Texmaco, kepercayaan masyarakat terhadap jaminan pemerintah akan pupus. Soalnya, jaminan BPPN setara dengan jaminan pemerintah. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/12/BPNP/12 Juni/2000, yang menyebut "Penjaminan oleh BPPN disamakan dengan bobot risiko aktiva produktif yang dijamin pemerintah dengan bobot risiko nol persen".
Wajar bila BNI meradang. Mereka tak bisa lagi berharap surat utang itu dibayar oleh Texmaco, yang kondisinya megap-megap. Marimutu Sinivasan, yang di- temui setelah menghadiri rapat di BPPN, tutup mulut mengenai masalah ini. "No comment," katanya singkat. Maka, kini satu-satunya harapan BNI tinggal bertumpu pada BPPN, yang semasa KKSK di bawah Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie dan Menteri Keuangan Bambang Sudibyo ditunjuk menjadi penjamin penerbitan surat utang tersebut. Tapi pernyataan Syahrial sepertinya memberikan sinyal bahwa BPPN pun sekarang berupaya mengurangi beban.
Soal offset dengan ke- lebihan obligasi rekap menjadi ganjalan lain. Dulu BNI menerima suntikan obligasi rekap senilai Rp 61,79 triliun. Setelah dinilai ulang, ternyata keperluan modalnya cuma Rp 61,16 triliun. Jadi, ada kelebihan rekap Rp 630 miliar atau setara dengan US$ 81 juta. Juni tahun lalu BNI sudah membayar sebagian kelebihan tersebut kepada Departemen Keuangan. Jumlahnya mencapai US$ 58 juta. Jadi, kelebihan rekapnya sekarang tersisa US$ 23 juta. "Saya enggak tahu kenapa dulu disetorkan ke Departemen Keuangan," ujar Dradjad Wibowo.
Tapi Syahrial sepertinya tak peduli fakta itu. Ia bersikukuh BNI tetap harus membayar US$ 81 juta kepada BPPN. "Dia menyetor ke tempat lain, saya tidak mau tahu," katanya. Bila dilaksanakan, ancaman Syahrial jelas akan mempengaruhi kondisi keuangan BNI. Dradjad mengatakan, bila L/C Texmaco tak bisa dieksekusi, BNI harus membukukannya sebagai kredit macet. Artinya, mereka mesti melakukan pencadangan yang berakibat tergerusnya keuntungan. Kondisi ini jelas teramat berat buat BNI, yang beberapa waktu lalu sudah me- lakukan pencadangan karena kasus pembobolan.
Kecemasan BNI itu tak membuat Syahrial beranjak. Dia justru berani memastikan, offset yang akan dilakukan BPPN tidak akan mengganggu kinerja BNI. Menurut dia, soal ini sudah dicadangkan dari dulu. "Jadi, secara pembukuan BNI tak dirugikan," katanya.
Dengan keputusan KKSK, para petinggi BNI kini bisa bernapas lega. "Sekarang sudah pasti kita tak perlu me- lakukan pencadangan," ujar Sigit Pramono. Apalagi Ketua BPPN Syafruddin Temenggung sudah menyatakan kesanggupan segera melunasi surat utang ter-sebut. Sekarang, persoalan memang tinggal pada bentuk pembayaran.
Soalnya, KKSK tak menyebut pem- bayaran harus dilakukan tunai atau boleh dengan aset. Mekanisme pembayaran, menurut Lukita, masih akan dibahas dan dikaji pihaknya bersama BNI. "Yang penting," kata Lukita, "kita tak ingin BNI sebagai bank publik terbebani dengan masalah L/C ini."
Syafruddin Temenggung, sudah sepakat penyelesaian soal L/C Texmaco jangan sampai menjadi beban baru buat BNI. Dia berharap, kalaupun BPPN tak bisa membayar tunai, pembayarannya diganti dengan aset yang bagus. "Jangan kayak AYDA-nya Lippo," ujarnya merujuk kasus aset yang diambil alih (AYDA) Bank Lippo—yang nilainya terus merosot. Ia memberikan contoh, kalau membayar dengan aset berupa properti, penilaiannya tak boleh dengan nilai permukaan. Jadi, kalau nilainya 100, tapi di pasar cuma ditaksir 30, ya dinilai 30 saja.
Sigit Pramono tetap berharap pembayaran surat utang Texmaco dilakukan secara tunai. "Kita maunya yang paling ideal, yaitu dibayar tunai," ujarnya. Sigit agaknya masih khawatir pembayaran dengan aset akan menimbulkan kredit macet. Tapi, bila pemerintah sebagai pemegang saham setuju menerima pembayaran dalam bentuk aset, direksi tentu tak bisa menolak. "Asal, semua diputuskan melalui rapat umum pemegang saham." Tuturnya.
Nugroho Dewanto, Yandi M.R., Sam Cahyadi (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo