Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, di Jakarta, saya melihat sebuah pemandangan yang tak pernah ada di bagian mana pun di dunia: di sebuah kantor yang tak begitu luas, sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti.
Saya mendatangi mereka dan bertanya: "Ada apa, ya, bapak-bapak dan ibu-ibu?" Mereka menjawab, serentak: "Kami semua ingin jadi calon anggota DPR."
Dan kembali mereka berdesak-desak, seperti orang yang ramai berebut tiket dan tempat untuk pulang mudik di hari Lebaran di Stasiun Gambir.
D-P-R…. Apa gerangan arti singkatan itu bagi mereka? "Dewan Perwakilan Rakyat"? Sebuah jawatan dengan sekian ratus lowongan mendadak? Sebuah tempat undian berhadiah? Sebuah lembaga pemberi dana? Orang-orang di ruangan itu tak pernah bertanya…. Atau saya keliru. Sebab mereka sebenarnya pernah bertanya, meskipun dalam bentuk sepotong kalimat yang itu-itu juga: "Adakah nama saya di dalam Daftar itu, Pak?"
Dan mereka terus berdesak, mereka terus cemas. Mereka berkeringat, mata mereka merah kurang tidur, tenggorokan mereka serak.
Sementara itu, nun di sebuah gedung yang jauh, di ruang tertutup, para pembuat Daftar, para pengurus partai duduk dengan sejumlah gelas kopi dan sejumlah batang rokok yang mengedarkan asap. Mereka tak akan keluar dari sana walaupun sejurus untuk menjawab pertanyaan orang yang berdesak-desak itu. Diam adalah emas, kata pepatah yang mereka pasang di pintu. Keputusan kami harus ditaati. Disiplin itu indah.
Tapi ada juga yang menduga dan mengatakan bahwa mereka sebenarnya tak tahu harus menjawab apa. Pendeknya: mereka telah membuat Daftar itu, artinya sederet nama-nama, dengan atau tanpa kriterium, dan menyuruh para sekretaris mengetiknya siang-malam, dan menamakan nama-nama itu "calon legislator". Lalu diumumkan.
Tentu tak pernah jelas apakah yang mereka susun itu: sejumlah orang yang kelak akan bekerja membuat undang-undang yang sesuai dengan cita-cita partai? Sejumlah orang yang secara teratur dan rajin datang ke rakyat pemilih dan mendengarkan apa yang diinginkan dan diamanatkan? Atau sejumlah konco? Atau sehimpun penyokong? Beberapa ratus penyetor upeti dan kesetiaan? Yang pasti, daftar itu kelak akan disebut juga daftar "wakil rakyat", tapi bahkan orang-orang itu sendiri tak yakin apakah mereka bisa dipanggil demikian.
Apa kemudian panggilan mereka yang tepat? Mungkin pertanyaan ini tak penting sama sekali. Berangsur-angsur saya sadar: saya sebenarnya sedang melihat sebuah persiapan pertunjukan di sebuah gedung komedi. Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan terlintas di pikiran saya: Badut? Mereka badut?
Seorang teman yang kalem menjawab: "Ya, mungkin." Lalu ia menambahkan, dengan nada yang lebih kalem: "Tapi tak ada salahnya. Biarkan datang para pelawak. Keadaan sedang kacau. Send in the clowns...."
Isn't it bliss?
Don't you approve?
One who keeps tearing around,
One who can't move...
Where are the clowns?
Send in the clowns.
Dia pun menggumamkan lagu Stephen Sondheim itu—petilan terkenal dari musikal A Little Night Music yang kini dilupakan. Sebuah senandung sayu dari New York tahun 1973, yang menurut hemat saya tak sepenuhnya tepat untuk masuk ke dalam sebuah percakapan tentang politik Indonesia di tahun 2004.
Tapi bukankah memang demikian: setiap kali di sebuah pertunjukan sirkus terjadi kesalahan atau kecelakaan, sang manajer akan memberi perintah, "Send in the clowns!", "Bawa masuk para badut!" Lalu para pelawak akan muncul ke depan panggung, pura-pura berdesak, pura-pura bertengkar, jumpalitan, menari-nari, dan penonton tak akan tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres di panggung itu tadi....
Teman saya punya cerita bahwa awal mula kehebohan ini sebenarnya memang sebuah kecelakaan yang benar-benar terjadi di balik panggung: sejumlah pemain sirkus politik yang mencoba meloncat dari trapeze terjungkal. Ajaib: mereka tidak mati. Mereka hanya berubah wujud: menjadi badak—seperti dalam lakon Ionesco Les Rhinocéros.
Dalam lakon ini, penduduk sebuah kota kecil semua berubah menjadi badak bercula—dan hanya Bérenger, seorang penduduk kota yang lumrah, tapi menolak konformitas, yang tetap jadi manusia.
Kata teman saya itu, mungkin tak ada seorang Bérenger di balik panggung sirkus kita itu, tak ada seorang yang mau melawan konformitas yang telah menyebabkan para tokoh politik menjadi badak. Sebab itu manajer sirkus (siapa dia, tak kita ketahui) semakin panik. Ia sadar sesuatu yang amat mencemaskan tengah berlangsung. Maka ia pun mengatur agar penonton, orang ramai itu, tak tahu. The show must go on. Sebuah ilusi harus dibangun. Dan badut-badut dikerahkan....
Sorry, my dear!
And where are the clowns
Send in the clowns
Don't bother, they're here.
Penonton, orang ramai itu, memang kemudian tak menyadari bahwa sejumlah badak baru, hasil sebuah metamorfosis yang aneh, berbaris di balik pentas. Lalu mereka bertepuk, dan kemudian pulang.
Tapi di ruangan yang saya sebut di atas, pemandangan yang tak ada duanya di dunia itu belum juga hilang: sederet orang tampak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak henti-henti. Mereka semua ingin jadi calon anggota DPR.
Isn't it rich?
Isn't it queer?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo