BISA dimengerti kalau A. Baramuli SH merasa lega dengan
keluarnya SKB 3-Menteri. Baramuli, 46 tahun, termasuk paling
gigih menuntut perlindungan. Bukan saja karena ia pemilik pabrik
karung goni, serat polyester dan industri gannent (pakaian
jadi). Tapi sebagai pengusaha pribumi yang cepat naik
bintangnya, ia adalah Ketua Asosiasi Karung Goni Indonesia dan
Ketua Asosiasi Serat Polyester Indonesia.
Apakah setelah keluarnya pentung SKB itu ia merasa untung? "Itu
tergantung perkembangan", jawabnya. Sebagai lazimnya orang
dagang, Baramuli beranggapan harga penjualan tertinggi af pabrik
sekarang sebagai "baru sekedar untuk hidup dan belum untung".
Harga jual tertinggi yang ditetapkan Menteri Perdagangan untuk
selembar karung goni buatan dalam negeri adalah Rp 330. Sedang
menurut Baramuli, "harga yang wajar sekarang mestinya Rp 400
per lembar".
Ia menunjuk pada inflasi yang menurut dia selama 7 tahun
terakhir ini mencapai tingkat rata-rata 157O. Kenyataan itu
kemudian dihubungkannya dengan perkembangan harga karung goni
dengan beras. "Di tahun 1970, ketika harga selembar karung goni
Rp 220, harga beras di pasaran adalah sekitar Rp 30 per kg",
katanya. "Kini harga karung goni di pasaran masih Rp 250
selembar sedang harga beras sudah menanjak sampai Rp 150 per
kg". Dengan ketetapan harga baru itu, menurut Baramuli, hanya
terjadi kenaikan sekitar 7% setahun. Sedang kenaikan harga beras
jauh lebih tinggi.
Sampai hari ini harga karung goni dalam negeri memang masih
bertahan antara Rp 240 - Rp 250 per lembar. Sedang harga karung
impor, sebelum keluarnya SKB itu, bisa dibeli dengan Rp 220 per
lembar. Ini memang mengherankan. Sebab, sesuai dengan
perhitungan Menteri Keuangan Juni 1976, dengan bea masuk yang
30% itu maka harga karung goni impor seharusnya dijual Rp 370,50
per lembar.
Tak ada data berapa impor karung goni yang terjadi selama itu.
Menurut Baramuli, Indonesia banyak mengimpor karung goni dari
RRC, Bangladesh dan Muangthai, yang dari sananya memang
berdasarkan kalkulasi harga yang lebih rendah dibanding dengan
produksi dalam negeri. Selain masuknya ke Indonesia, menurut
pengusaha karung goni itu "banyak yang tak wajar" alias
diselundupkan lewat pintu-pintu resmi, impor beras oleh Bulog
juga bikin gara-gara. "Kalau Bulog mengimpor setengah juta ton
beras setahun, paling sedikit dibutuhkan 10 juta lembar karung
setahun", katanya.
Seorang pejabat Perindustrian memperkirakan karung goni yang
secara tak langsung diimpor oleh Bulog sebanyak 20 juta lembar.
Ini mengingat sasaran impor beras dari luar negeri yang sekitar
1 juta ton setahun. Dan karung-karung bekas itu "tentu saja
dipakai lagi dalam pasaran", katanya.
Menengok ke belakang, pejabat yang banyak tahu dalam soal
perizinan itu juga menyalahkan pam pengusaha yang begitu
gandrung untuk membuka pabrik. Sampai saat ini, menurut
catatannya, terdapat 13 perusahaan karung goni, terdiri dari
yang asing, usaha patungan maupun PMDN. Tapi dari jumlah
sebanyak itu, yang kini masih bekerja hanya 5 pabrik: 2 PMA dan
3 PMDN.
Seorang pejabat yang berpandangan 'netral', beranggapan produksi
yang nyata dari pabrik goni yang masih bekerja, itu tak lebih
dari 35 juta karung. Sedang permintaan yang bisa diserap pasar,
menurut catatannya, hanya 28 juta lembar selama tahun 1975-1976.
"Kalau saja Bulog mengimpor beras dengan menggunakan karung
dalam negeri, para pengusaha di sini mungkin bisa sedikit
tertolong", katanya.
Sama halnya dengan karung goni, Pemerintah bermurah hati untuk
memberi izin pendirian pabrik besi beton. Selain PT Air Baja
punya almarhum Hamadiah - perintis industri besi baja di
Indonesia -- sejak tahun 1969-1975, tak kurang dari 23 pabrik
besi beton yang bermunculan di Indonesia. Bahkan selama 1976,
setelah krisis Pertamina dan PT Krakatau Steel, lahir pula empat
Pabrik baru di sini.
Dr. ir. Johannes Muljono, 38 tahun, Ketua Asosiasi Pabrik Besi
se-Indonesia (APBESI) mengakui jumlah itu terlalu banyak.
Berdasarkan kenyataan permintaan yang ada, kepada TEMPO minggu
lalu, ia beranggapan "dengan 6-7 pabrik besar saja sebenarnya
kebutuhan besi beton untuk dalam negeri sudah terpenuhi". Pabrik
yang ada hampir semuanya memang tergolong besar: 8 berupa PMA
dan lainnya lahir sebagai PMDN.
Menurut seorang pejabat Perdagangan, keterangan Mulyono itu
patut dipercaya. Selain duduk sebagai komisaris dari dua pabrik
besi beton, ia sehari-hari mengajar di Fakultas Teknik UI.
Menurut catatannya, pabrik-pabrik yang banyak bermunculan selama
tahun 1973 itu, jumlah seluruhnya sekarang bukan 28. "Tapi 30
pabrik", katanya.
Muljono menjelang dikeluarkannya SKB-3-Menteri itu pernah
'mengancam' pabrik-pabrik besi beton akan bankrut kalau tak
diberi perlindungan. Sebagai ketua asosiasi, ia "menyambut
gembira keluarnya SKB itu" Kata, "ini merupakan titik tolak
pengembangan industri dalam negeri".
Sekalipun begitu, sama halnya dengan Baramuli, harga penjualan
af pabrik yang oleh Menteri Perdagangan ditetapkan Rp 130 per
kg, oleh anggota asosiasinya dipandang "baru sebagai upaya
untuk melindungi konsumen". Sedang di pasaran, setelah keluarnya
SKB, harga besi beton masih di bawah Rp 100 per kg.
Menurut dia, impor besi beton berdasarkan SKB itu akan mencapai
Rp 10 per kg, sampai di gudang pemakai. Ini belum termasuk
keuntungan importir. Tapi kalau impornya lewat fasilitas untuk
proyek yang dipandang penting oleh negara, akan jatuh sekitar Rp
100 per kg. Soalnya impor khusus itu "tanpa dibebani pungutan
bea masuk dan PPn impor", katanya.
Ia tak lupa membeberkan apa sebabnya harga jual di Indonesia itu
lebih mahal dibandingkan dengan yang dibuat di luar negeri.
Bunga bank yang tinggi, biaya tanah yang mahal, beban biaya
listrik, "keharusan" bagi pabrik untuk 'padat karya' dan biaya
penghapusan yang tinggi, semua itu dianggapnya sebagai kenyataan
yang tak dihadapi produsen di luar negeri.
Dia benar. Sekalipun dia bisa menambahkan faktor efisiensi yang
umumnya rendah di Indonesia merupakan hal yang patut diperbaiki.
Juga, seperti halnya tekstil, biaya penghapusan yang umumnya
dipasang tinggi, menurut fihak Perdagangan adalah "tak wajar"
Mengambil contoh sebuah pabrik kertas sigaret yang memasang
biaya penyusutan setinggi 14%, orang Perdagangan itu
beranggapan: "Para pengusaha di sini sulit dipercaya dalam hal
menghitung biaya penghapusan", katanya Sependapat dengan H.
Djunaid dari Pekalongan, pejabat itu memastikan "umumnya
mesin-mesin yang digunakan di sini adalah keluaran tahun
1960-an" Tapi "perhitungannya disesuaikan seakan-akan mesin itu
keluaran terakhir".
Kalau benar demikian, agaknya bisa diterangkan mengapa para
pengusaha dari luar negeri terutama dari Jepang - begitu suka
menanam modal dan mesinnya di sini "Mereka itu memang terutama
bukan mau cari untung di Indonesia", kata seorang di BKPM
Lantas? "Yah, mereka sudah senang kalau bisa mengekspor mesinnya
kemari, sembari coba-coba cari untung". Nah, suasana yang
begitulah yang menimbulkan hasrat para pengusaha untuk
mendirikan pabrik yang asing maupun patungan.
Kini dengan keluarnya SKB itu, tampaknya memang timbul semangat
baru. Lebih-lebih kalau yang namanya penyelundupan administratif
di pelabuhan bisa dikendalikan.
Tapi akan langgengkan perlindungan lewat SKB itu? Beberapa
pejabat di luar Perindustrian menyangsikannya."Yang perlu
dipersoalkan bukan memberi pagar yang lebih banyak untuk impor".
katanya "Tapi meneliti secara seksama unsur-unsur biaya mana
saja dalam industri yang bisa ditekan atau dihapuskan"!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini