Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Goni dan beton: proteksi langgeng ?

Skb 3 menteri melindungi produksi tekstil, karung goni, besi beton dan serat polyster, dengan memperberat syarat impornya. kalkulasi produksi terlalu tinggi, biaya perlu ditekan. (eb)

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA dimengerti kalau A. Baramuli SH merasa lega dengan keluarnya SKB 3-Menteri. Baramuli, 46 tahun, termasuk paling gigih menuntut perlindungan. Bukan saja karena ia pemilik pabrik karung goni, serat polyester dan industri gannent (pakaian jadi). Tapi sebagai pengusaha pribumi yang cepat naik bintangnya, ia adalah Ketua Asosiasi Karung Goni Indonesia dan Ketua Asosiasi Serat Polyester Indonesia. Apakah setelah keluarnya pentung SKB itu ia merasa untung? "Itu tergantung perkembangan", jawabnya. Sebagai lazimnya orang dagang, Baramuli beranggapan harga penjualan tertinggi af pabrik sekarang sebagai "baru sekedar untuk hidup dan belum untung". Harga jual tertinggi yang ditetapkan Menteri Perdagangan untuk selembar karung goni buatan dalam negeri adalah Rp 330. Sedang menurut Baramuli, "harga yang wajar sekarang mestinya Rp 400 per lembar". Ia menunjuk pada inflasi yang menurut dia selama 7 tahun terakhir ini mencapai tingkat rata-rata 157O. Kenyataan itu kemudian dihubungkannya dengan perkembangan harga karung goni dengan beras. "Di tahun 1970, ketika harga selembar karung goni Rp 220, harga beras di pasaran adalah sekitar Rp 30 per kg", katanya. "Kini harga karung goni di pasaran masih Rp 250 selembar sedang harga beras sudah menanjak sampai Rp 150 per kg". Dengan ketetapan harga baru itu, menurut Baramuli, hanya terjadi kenaikan sekitar 7% setahun. Sedang kenaikan harga beras jauh lebih tinggi. Sampai hari ini harga karung goni dalam negeri memang masih bertahan antara Rp 240 - Rp 250 per lembar. Sedang harga karung impor, sebelum keluarnya SKB itu, bisa dibeli dengan Rp 220 per lembar. Ini memang mengherankan. Sebab, sesuai dengan perhitungan Menteri Keuangan Juni 1976, dengan bea masuk yang 30% itu maka harga karung goni impor seharusnya dijual Rp 370,50 per lembar. Tak ada data berapa impor karung goni yang terjadi selama itu. Menurut Baramuli, Indonesia banyak mengimpor karung goni dari RRC, Bangladesh dan Muangthai, yang dari sananya memang berdasarkan kalkulasi harga yang lebih rendah dibanding dengan produksi dalam negeri. Selain masuknya ke Indonesia, menurut pengusaha karung goni itu "banyak yang tak wajar" alias diselundupkan lewat pintu-pintu resmi, impor beras oleh Bulog juga bikin gara-gara. "Kalau Bulog mengimpor setengah juta ton beras setahun, paling sedikit dibutuhkan 10 juta lembar karung setahun", katanya. Seorang pejabat Perindustrian memperkirakan karung goni yang secara tak langsung diimpor oleh Bulog sebanyak 20 juta lembar. Ini mengingat sasaran impor beras dari luar negeri yang sekitar 1 juta ton setahun. Dan karung-karung bekas itu "tentu saja dipakai lagi dalam pasaran", katanya. Menengok ke belakang, pejabat yang banyak tahu dalam soal perizinan itu juga menyalahkan pam pengusaha yang begitu gandrung untuk membuka pabrik. Sampai saat ini, menurut catatannya, terdapat 13 perusahaan karung goni, terdiri dari yang asing, usaha patungan maupun PMDN. Tapi dari jumlah sebanyak itu, yang kini masih bekerja hanya 5 pabrik: 2 PMA dan 3 PMDN. Seorang pejabat yang berpandangan 'netral', beranggapan produksi yang nyata dari pabrik goni yang masih bekerja, itu tak lebih dari 35 juta karung. Sedang permintaan yang bisa diserap pasar, menurut catatannya, hanya 28 juta lembar selama tahun 1975-1976. "Kalau saja Bulog mengimpor beras dengan menggunakan karung dalam negeri, para pengusaha di sini mungkin bisa sedikit tertolong", katanya. Sama halnya dengan karung goni, Pemerintah bermurah hati untuk memberi izin pendirian pabrik besi beton. Selain PT Air Baja punya almarhum Hamadiah - perintis industri besi baja di Indonesia -- sejak tahun 1969-1975, tak kurang dari 23 pabrik besi beton yang bermunculan di Indonesia. Bahkan selama 1976, setelah krisis Pertamina dan PT Krakatau Steel, lahir pula empat Pabrik baru di sini. Dr. ir. Johannes Muljono, 38 tahun, Ketua Asosiasi Pabrik Besi se-Indonesia (APBESI) mengakui jumlah itu terlalu banyak. Berdasarkan kenyataan permintaan yang ada, kepada TEMPO minggu lalu, ia beranggapan "dengan 6-7 pabrik besar saja sebenarnya kebutuhan besi beton untuk dalam negeri sudah terpenuhi". Pabrik yang ada hampir semuanya memang tergolong besar: 8 berupa PMA dan lainnya lahir sebagai PMDN. Menurut seorang pejabat Perdagangan, keterangan Mulyono itu patut dipercaya. Selain duduk sebagai komisaris dari dua pabrik besi beton, ia sehari-hari mengajar di Fakultas Teknik UI. Menurut catatannya, pabrik-pabrik yang banyak bermunculan selama tahun 1973 itu, jumlah seluruhnya sekarang bukan 28. "Tapi 30 pabrik", katanya. Muljono menjelang dikeluarkannya SKB-3-Menteri itu pernah 'mengancam' pabrik-pabrik besi beton akan bankrut kalau tak diberi perlindungan. Sebagai ketua asosiasi, ia "menyambut gembira keluarnya SKB itu" Kata, "ini merupakan titik tolak pengembangan industri dalam negeri". Sekalipun begitu, sama halnya dengan Baramuli, harga penjualan af pabrik yang oleh Menteri Perdagangan ditetapkan Rp 130 per kg, oleh anggota asosiasinya dipandang "baru sebagai upaya untuk melindungi konsumen". Sedang di pasaran, setelah keluarnya SKB, harga besi beton masih di bawah Rp 100 per kg. Menurut dia, impor besi beton berdasarkan SKB itu akan mencapai Rp 10 per kg, sampai di gudang pemakai. Ini belum termasuk keuntungan importir. Tapi kalau impornya lewat fasilitas untuk proyek yang dipandang penting oleh negara, akan jatuh sekitar Rp 100 per kg. Soalnya impor khusus itu "tanpa dibebani pungutan bea masuk dan PPn impor", katanya. Ia tak lupa membeberkan apa sebabnya harga jual di Indonesia itu lebih mahal dibandingkan dengan yang dibuat di luar negeri. Bunga bank yang tinggi, biaya tanah yang mahal, beban biaya listrik, "keharusan" bagi pabrik untuk 'padat karya' dan biaya penghapusan yang tinggi, semua itu dianggapnya sebagai kenyataan yang tak dihadapi produsen di luar negeri. Dia benar. Sekalipun dia bisa menambahkan faktor efisiensi yang umumnya rendah di Indonesia merupakan hal yang patut diperbaiki. Juga, seperti halnya tekstil, biaya penghapusan yang umumnya dipasang tinggi, menurut fihak Perdagangan adalah "tak wajar" Mengambil contoh sebuah pabrik kertas sigaret yang memasang biaya penyusutan setinggi 14%, orang Perdagangan itu beranggapan: "Para pengusaha di sini sulit dipercaya dalam hal menghitung biaya penghapusan", katanya Sependapat dengan H. Djunaid dari Pekalongan, pejabat itu memastikan "umumnya mesin-mesin yang digunakan di sini adalah keluaran tahun 1960-an" Tapi "perhitungannya disesuaikan seakan-akan mesin itu keluaran terakhir". Kalau benar demikian, agaknya bisa diterangkan mengapa para pengusaha dari luar negeri terutama dari Jepang - begitu suka menanam modal dan mesinnya di sini "Mereka itu memang terutama bukan mau cari untung di Indonesia", kata seorang di BKPM Lantas? "Yah, mereka sudah senang kalau bisa mengekspor mesinnya kemari, sembari coba-coba cari untung". Nah, suasana yang begitulah yang menimbulkan hasrat para pengusaha untuk mendirikan pabrik yang asing maupun patungan. Kini dengan keluarnya SKB itu, tampaknya memang timbul semangat baru. Lebih-lebih kalau yang namanya penyelundupan administratif di pelabuhan bisa dikendalikan. Tapi akan langgengkan perlindungan lewat SKB itu? Beberapa pejabat di luar Perindustrian menyangsikannya."Yang perlu dipersoalkan bukan memberi pagar yang lebih banyak untuk impor". katanya "Tapi meneliti secara seksama unsur-unsur biaya mana saja dalam industri yang bisa ditekan atau dihapuskan"!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus