Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

GoTo Dikabarkan Bahas Merger dengan Grab, Guru Besar UI: Cukup Berisiko

Sutanto Soehodho mengatakan sudah waktunya Grab dan GoTo peduli dengan bisnis sesungguhnya, yakni transportasi.

12 Februari 2024 | 17.32 WIB

Pengemudi ojek online (ojol) mencari penumpang di kawasan Stasiun Cawang, Jakarta, Selasa, 30 Agustus 2023. Pengemudi ojol berharap kepada pemerintah untuk segera menerbitkan dan melegalkan payung hukum ojol. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Pengemudi ojek online (ojol) mencari penumpang di kawasan Stasiun Cawang, Jakarta, Selasa, 30 Agustus 2023. Pengemudi ojol berharap kepada pemerintah untuk segera menerbitkan dan melegalkan payung hukum ojol. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar transportasi dari Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, menanggapi soal isu merger antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) dan Grab Holdings Ltd. (GRAB). Beberapa hari belakangan, keduanya dikabarkan membuka kembali potensi merger dengan kapitalisasi pasar diperkirakan menembus lebih dari Rp 3 triliun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Sutanto, merger dari dua perusahaan besar yang bergerak di segmen bisnis serupa, yakni transportasi, merupakan upaya memperkuat kapital dan operasi bisnis. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Dengan captive market yang besar, bahkan yang sudah merubah sedikit banyak dalam life style masyarakat untuk angkutan yang bersifat last and first miles, tentu juga cukup beresiko jika didominasi hanya oleh satu perusahaan (swasta) tanpa kontrol atas tarif yang diberlakukan,” ujar Sutanto kepada Tempo, dikutip Senin, 12 Februari 2024.

Menurut dia, tarif sepertinya bisa berjalan sesuai mekanisme pasar. Namun, ia mempertanyakan apakah nantinya tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat jika tidak ada angkutan alternatif yang disiapkan pemerintah sebagai angkutan perintis/non komersial. 

“Intinya apapun yang terjadi dengan Grab dan GoTo, pemerintah harus dapat mengantisipasi agar tidak terjadi monopoli dalam pelayanan transportasi yang dinikmati mereka,” tuturnya. 

Misalnya, kata Sutanto, melalui regulated market atau pelayanan alternatif yang disiapkan pemerintah. “Karena pada dasarnya transportasi adalah domain publik yang membutuhkan kehadiran pemerintah, dengan subsidi misalnya.”

Ia menuturkan pola bisnis angkutan barang/manusia pada lingkup first and last miles perlu ditinjau kembali mengingat bisnis online Grab dan GoTo lebih pada bisnis aplikasi, di mana produk lainnya sangat kecil atau bahkan tidak sama sekali dikelola perusahaan.

Terlebih, operasional keduanya menggunakan infrastruktur dan fasilitas jalan yang menjadi milik pemerintah yang dibangun dan dipelihara melalu pajak dari masyarakat. Dia pun menyebut bahwa pemanfaatan ruang jalan sebagai ruang parkir sudah sangat mengganggu lalu lintas.

Menurut dia sudah waktunya Grab dan GoTo peduli dengan bisnis sesungguhnya, yakni transportasi. Dia pun mengimbau kedua perusahaan untuk bertanggung jawab dan ikut berkontribusi dalam pengembangan infrastruktur dan fasilitas jalan terdampak.

Lebih jauh, kata Guru Besar UI itu, semakin besarnya volume angkutan barang dan manusia oleh perusahaan-perusahaan seperti ini akan membentuk gaya hidup masyarakat yang tidak berorientasi pada angkutan publik untuk menekan kemacetan. 

“Pemerintah perlu mengevaluasi kembali semua pola transportasi baik yang bersifat online atau offline untuk menjadi suatu kesatuan sistem transportasi yang utuh dalam lingkup antar moda dan antar jaringan,” kata dia.

Pemerintah, kata dia, bisa memberlakukan sistem kuota pada angkutan online seperti juga taksi offline, sehingga populasi mereka dapat ditekan untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus