Dua media cetak digugat ganti rugi Rp 1 milyar. Pihak penggugat merasa difitnah dan dicemarkan nama baiknya. HAK jawab, yang selama ini disodorkan oleh pers nasional kepada masyarakat pembaca, kini agaknya sudah tidak memadai lagi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan belakangan ternyata lebih suka menggugat ke pengadilan. Dalam gugatan itu biasanya dituntut ganti rugi ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Itulah juga yang dilakukan H. Mursalin, seorang kontraktor di Kodya Bengkulu, yang sebelum menggugat telah menggunakan hak jawabnya secara penuh. Rabu dua pekan silam, ia menggugat majalah dwimingguan Fakta dan tabloid Simponi, sekaligus narasumbernya. Dalam gugatan itu, ia menuntut ganti rugi Rp 1 milyar. Penggugat juga minta agar kedua media memuat iklan pernyataan maaf satu halaman penuh, selama tiga penerbitan berturut-turut. "Kedua media itu memfitnah dan mencemarkan nama baik saya," kata Mursalin, 53 tahun, yang adalah direktur CV Sumber Pem- bangunan, Bengkulu. Dia menyesalkan, kedua media tidak melakukan check & recheck. Mursalin juga mengadukan Ansory Ishak, anggota FKP DPRD Rejanglebong, yang dikutip komentarnya dalam kedua berita itu. SKM Simponi, yang terbit di Jakarta, 27 Februari silam memuat laporan berjudul, "1.000 Hektar Lahan Telantar di Kabupaten Rejanglebong" di halaman pertama. Empat bulan kemudian, majalah Fakta terbitan Surabaya menurunkan berita yang sama dengan judul "Bendungan Irigasi Terbengkalai". Kedua tulisan itu menyorot kasus dua bendungan, Rimbo Pegadang dan Tebing Atas, berlokasi di Kabupaten Rejanglebong, Bengkulu. Dalam berita tersebut disebutkan, bendungan yang dibangun masing-masing tahun 1976 dan 1982 dengan biaya Rp 1 milyar itu kini telantar dan tak berfungsi. Hal ini diperkuat dengan komentar Ansory yang berbunyi, "Proyek itu harus dilanjutkan sampai bisa berfungsi. Carilah pemborong yang ahli," kata dosen IAIN Raden Fatah Bengkulu, seperti dikutip Simponi. Komentar inilah, agaknya, yang menyebabkan Ansory digugat. Dan ia siap menghadapi gugatan itu. "Kenyataannya, kondisi bendungan itu memang begitu, kok," ujarnya tenang. Pada tulisan yang sama, justru tidak ada penjelasan dari Mursalin. Mungkin karena itu, ia menuduh kedua media dan kedua reporternya telah melanggar kode etik jurnalistik. "Jauh dari obyektif, dan saya merasa dipojokkan," katanya kepada Budiarni dari TEMPO. Ditambahkannya, CV Sumber Pembangunan bukanlah pelaksana tunggal pembangunan kedua proyek itu. "Kalau kedua wartawan itu menemui saya, mereka akan tahu, sebagian besar pembangunan dikerjakan oleh CV Trocoh, sedangkan bagian saya hanya bernilai Rp 15,8 juta," katanya. Ia juga keberatan disebut sebagai anggota DPRD. Alasannya, kedua proyek dibangun sebelum ia menjadi anggota FKP DPRD Bengkulu. Baik wartawan Simponi maupun Fakta tidak melihat ada yang salah dengan pemberitaan mereka. "Dalam berita itu kami tidak mempersoalkan siapa pembuat kedua proyek itu. Kami hanya mengemukakan kondisi bendungan itu apa adanya," kilah Gafar Uyub dan Andi Sidik. Gafar, yang menulis untuk Simponi, dan Andi untuk Fakta, adalah wartawan lepas yang biasa menulis un- tuk beberapa media cetak. Kuat dugaan, berita itu digarap mereka berdua. Kecuali waktu pemuatannya yang berbeda, materi maupun penyajiannya hampir sama. Di pihak lain, baik Fakta maupun Simponi tidak mempermasalahkan status mereka. "Yang jelas, berita itu sudah melalui seleksi. Jadi, kami sepenuhnya bertanggung jawab," ujar Usman Harsa, Wakil Pemimpin Redaksi Fakta. Pemimpin Redaksi Simponi, Syamsulhadi, menegaskan, "Bantahan terhadap berita yang dikirimkan Mursalin sudah dimuat pada penerbitan Simponi minggu berikutnya. Jadi, hak jawab sudah kami penuhi," ujarnya. "Tapi kalau gugatan itu mau diterus- kan, kami siap menghadapinya," tantang Syamsulhadi. Hasan Syukur (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini