Dewan Kehormatan PWI dan IDI mengeluarkan sepuluh pedoman penulisan kesehatan. Banyak tulisan sensasional tentang seks. Sekadar mengatrol oplah? ADA sebuah cerita di balik ruang praktek. Dokter Djaja Surya Atmadja mengisahkan pengalamannya di harian Suara Karya. Suatu hari ia kedatangan pasien minta disunat. "Saya minta yang khusus, model Bali, Dok," pinta si pasien. Dokter Djaja sedikit bingung walau ia sudah sering menyunat. Permintaan pasien berumur dua puluh tahunan itu dianggapnya aneh. Apa maksudnya? "Itu, lo, Dok, yang ada pentolnya. Makin banyak pentolnya semakin sip, Dok," katanya. Berhubung dokter ini belum tahu persis yang dimaui pasiennya, esoknya si pasien memberi contoh nyata dengan menghadirkan rekannya. Astaga. "Rupanya, pada daerah kulupnya ada bagian yang bekas dijahit sehingga agak membendul, seperti pentol," tulis Dokter Djaja. Tulisnya lagi, "Saya yakin ini tak disengaja oleh orang yang menyunatnya, tapi bagi pasien membawa berkat tersendiri. Katanya, istrinya menjadi lebih mesra karena pentolan tadi mem- berikan lebih banyak gesekan." Ketidaksengajaan itu tetap dimaui pasiennya. Maka, Dokter Djaja pun mengabulkan pesanan pasiennya. Kisah di atas, oleh Ketua Dewan Kehormatan PWI, Drs. Djafar H. Assegaff, dianggap keterlaluan. Itu belum seberapa. Yang lebih syur juga tak sedikit. Misalnya tulisan yang mengupas hubungan seks tak wajar, maaf, lewat dubur. Keprihatinan As- segaff makin memuncak ketika sebuah majalah remaja menyuguhkan seluk-beluk sodomi. "Ini menjijikkan dan membuat pembacanya terangsang," katanya. Majalah wanita Kartini, yang punya sisipan khusus remaja dan anak-anak, juga dituding Assegaff terlalu gamblang memaparkan konsultasi seks. "Seharusnya, penulisan itu disesuaikan dengan pembacanya," katanya. Sedangkan, Matra -- majalah umum trend pria -- yang memuat masalah seks, masih bisa ditenggang As- segaff. "Itu pun dengan syarat, untuk pendidikan seks, bukan untuk mendongkrak oplah," katanya. Unek-unek Dewan Kehormatan PWI itu tampaknya bak gayung ber- sambut. Buktinya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 10 Juli lalu, sepakat menelurkan sepuluh pedoman pemberitaan masalah kedok- teran. Yang melatarbelakangi keprihatinan itu antara lain adanya kecenderungan kolom kesehatan diisi oleh tulisan yang berbau seks, dengan maksud mengatrol oplah. Selain itu, banyak berita masalah kedokteran yang bertentangan dengan kode etik kedokteran. Ada pula informasi dan statistik di bidang klinik yang baik dan berguna untuk penerbitan dan majalah kedokteran. Namun, jika itu dimuat di media umum, dapat menimbulkan hal-hal yang negatif dan menyesatkan. Sebagai contoh, Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Dr. H. Azrul Azwar, M.P.H., memaparkan ada media yang menulis, "Indonesia banyak melakukan abortus dan dilakukan oleh anak-anak perawan. Apa itu betul?" tanyanya. Kata Azrul lagi, "Media itu mengesankan semua perawan di Indonesia itu nggak baik moral- nya." Azrul memang mengakui bahwa pendidikan kesehatan di media besar sumbangannya bagi peningkatan derajat kesehatan. Tapi, dalam pengamatannya, belakangan penulisan itu mulai melenceng. "Terlalu mengeksploitasi masalah yang tak sesuai dengan etika. Misalnya menonjolkan masalah seks. Kalau itu dikemukakan secara detail, kan nggak cocok," katanya. Sesungguhnya, Azrul tak alergi dengan artikel pendidikan seks di media. Hanya saja, pendidikan itu harus disesuaikan dengan tingkat pembacanya, golongan umurnya. Jadi, sasarannya harus jelas. Kenyataannya, masalah seks itu banyak dikupas di media umum, yang dibaca anak-anak. Padahal, artikel seksnya memaparkan secara jelas hingga merangsang nafsu. "Saya sebagai dokter saja bernafsu bila membacanya," ujar Azrul. Selain soal seks, IDI juga memprihatinkan media yang menulis penyakit seorang tokoh yang sudah menjadi figur publik. "Dalam dunia kedokteran, mengumumkan penyakit seseorang itu bertentangan dengan kode etik kedokteran. Kecuali bila dis- etujui yang bersangkutan," kata Azrul. Itu pun tak bisa untuk umum. Hanya untuk orang-orang tertentu. Menurut ahli komunikasi Eduard Depari, 42 tahun, lain lagi. Ia menganggap rubrik kesehatan dan konsultasi seks di media malah banyak manfaatnya. "Rubrik itu dibutuhkan, juga mendidik. Terutama konsultasi seks. Sebab, pembicaraan seks masih dianggap tabu," katanya. Jadi, informasinya tentu akan berguna bagi mereka yang enggan membicarakan. Sejauh, tentu saja, proporsional dan obyektif. Tanpa hendak membela media, Eduard juga melihat banyak koran dan majalah yang melebih-lebihkan masalah seks, terutama rubrik konsultasinya. "Apakah itu betul-betul terjadi? Apakah itu tidak direkayasa, sebab pengirimnya anonim," tanyanya. Jadi, bagaimana seharusnya penulisan itu? Sepuluh pedoman PWI dan IDI itulah jawabnya. Antara lain, tulisan itu harus ber- dampak positif terhadap pembentukan opini dan perilaku yang sesuai dengan kesehatan. Berita kesehatannya hendaknya menyajikan teknik atau cara pengobatan yang telah diuji kebenarannya. Tulisan itu hendaknya menghormati kewajiban dok- ter menjaga rahasia jabatannya. Penulisan berita kesehatan juga diharapkan tak mendorong tim- bulnya konsumtivisme. Memuji atau menonjolkan pribadi dokter hendaknya dihindari. Termasuk mempromosikan merek obat tertentu apalagi sekadar "jual kecap" -- agaknya layak dihindari. Siapa tahu, ada konsumen yang terkecoh gara-gara "manisnya" sebuah tulisan. Widi Yarmanto, G. Sugrahetty Dyan K., dan Sri Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini