Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN dengan para pejabat Kementerian Perindustrian di Hotel Santika Surabaya, Rabu dua pekan lalu, menjadi ajang berkeluh kesah Sukhyar. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini menyampaikan unek-unek sehubungan dengan pemberian izin pembangunan pabrik pemurnian hasil tambang (smelter) yang belum tertata dengan baik.
"Ini penting, jangan sampai pabrik dibangun tapi sumber bahan bakunya tidak jelas," kata Sukhyar, mengulang pernyataannya saat itu, kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Menurut dia, jika membangun smelter cukup dengan memiliki izin usaha industri dari Kementerian Perindustrian, itu akan berbahaya bagi sektor hulu pertambangan mineral.
Sukhyar mengatakan pemberian izin pembangunan smelter tanpa disertai syarat memiliki izin usaha pertambangan yang diterbitkan oleh Kementerian Energi berpotensi menimbulkan masalah. Dia khawatir smelter akan menampung hasil tambang ilegal untuk bahan baku. Tujuan mendapat nilai tambah dari penghiliran pun akan sia-sia jika eksploitasi di sisi hulu berantakan dan tidak terpantau.
Dia mengaku terkejut ketika mengetahui sudah ada enam pabrik smelter alumina yang mengantongi izin dari Kementerian Perindustrian. "Sementara yang berkoordinasi dengan kami baru satu, yaitu PT Harita Prima Abadi Mineral," ujarnya.
Seorang pejabat Kementerian Energi mengatakan berinvestasi di smelter alumina memang sangat menggiurkan. Berbeda dengan pembangunan smelter lain, nilai investasi di sektor ini bisa mencapai miliaran dolar. "Yang nilainya kecil urusan kami, yang besar langsung urusan sana (Kementerian Perindustrian)," katanya.
Satu yang disasar Sukhyar adalah pemberian izin kepada UC Rusal. Investor asal Rusia ini akan membangun pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina dengan kapasitas produksi 1,8 juta metrik ton per tahun. Total investasi yang akan dikucurkan mencapai US$ 3 miliar. "Kami tidak dilibatkan dalam prosesnya," katanya.
RENCANA masuknya Rusal sudah disampaikan ke pemerintah pada Februari lalu. Perusahaan ini sepakat membangun pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina di Kalimantan Barat dengan komitmen awal US$ 1,5 miliar.
Disaksikan oleh Hatta Rajasa, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, Rusal menunjukkan keseriusan komitmennya dengan menggandeng perusahaan tambang dalam negeri, yaitu PT Arbaya Energi, untuk memasok bauksit ke smelter tersebut. "Kerja sama ini adalah batu loncatan besar dalam pengembangan bisnis global kami," ujar Chief Executive Officer (CEO) UC Rusal, Oleg Deripaska. Arbaya adalah perusahaan milik Ketua Kamar Dagang dan Industri Suryo Bambang Sulisto.
Sayangnya, meski nota kesepahaman sudah diteken pada Februari lalu, hingga saat ini Kementerian Energi belum mendapat perkembangan soal kerja sama tersebut. Nama Arbaya Energi juga belum masuk ke data kementerian sebagai perusahaan yang sudah mengantongi izin usaha pertambangan. "Sampai saat ini tidak ada," kata Sukhyar. "Atau mungkin ada perubahan nama atau SK belum disampaikan ke kami."
Padahal aturannya, menurut dia, jika ada kerja sama dengan perusahaan lokal dalam memasok bahan baku, mesti melibatkan Kementerian Energi. Sebab, itu artinya investor sudah bermain ke sektor hulu tambang.
Begitu masuk ke hulu, masalahnya bukan sekadar administrasi perizinan. Ada juga masalah kejelasan lahan, pengaturan ketersediaan dan penambangan untuk menghindari eksploitasi berlebihan, sampai masalah divestasi. "Jika ini sampai lepas, negara bisa rugi," ujar Sukhyar.
Tidak hanya dari sisi hulu. Di sisi hilir, investasi smelter Rusia ini juga masih menyisakan tanda tanya. Di balik nilai investasi akbarnya yang seakan-akan mendatangkan tambahan besar bagi negara, justru jika ditelusuri pihak Rusialah yang untung besar dalam investasi ini.
Seorang pejabat di Kementerian Perindustrian menjelaskan, Rusal berinvestasi besar hanya untuk membangun pabrik pengolahan bauksit menjadi alumina. Artinya, hanya meningkatkan nilai tambah 8 kali dari bahan mentah yang mereka olah. Sedangkan alumina masih bisa diolah lagi untuk menjadi aluminium, yang nilai tambahnya bisa 30 kali."Ini harus hati-hati kalau tidak mau kehilangan potensi," katanya.
Rusal memang telah lama mengincar Indonesia. Mereka mengutarakan maksud berinvestasi sejak 6 September 2013 langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat acara Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Rusia.
Dalam dokumen surat Menteri M.S. Hidayat kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal tertanggal 24 September 2013 yang salinan diperoleh Tempo, diketahui ada pertemuan pimpinan UC Rusal dengan Presiden Yudhoyono di Ruang Amathis, lantai 3 Hotel Emerald, yang berada di Kota Saint Petersburg, Rusia. Presiden ketika itu didampingi Menteri Perindustrian M.S. Hidayat; Menteri Perdagangan, yang masih dijabat Gita Wirjawan; dan Ketua Kadin Suryo Bambang Sulisto.
Dalam surat itu tertulis perwakilan Rusal menyampaikan keinginan berinvestasi di Indonesia, tapi dengan beberapa syarat dan keberatan yang harus diperhatikan. Di antaranya masalah infrastruktur yang kurang memadai untuk impor soda kaustik dan ekspor alumina serta aturan kewajiban divestasi 51 persen kepada pemerintah Indonesia sejak dimulainya operasi pertambangan.
Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Harjanto membenarkan adanya pertemuan CEO UC Rusal, Oleg Deripaska, dan Presiden Yudhoyono di Rusia. Pertemuan tersebut menghasilkan komitmen investasi UC Rusal senilai US$ 1,5 miliar pada 8 September 2013 di Wladiwostok, Rusia.
Namun ia membantah masuknya investasi Rusal langsung ke Kementerian Perindustrian adalah karena nilainya yang besar dan hasil lobi menteri terkait. "Kementerian Perindustrian hanya menerbitkan rekomendasi, izin prinsip diterbitkan oleh BKPM," katanya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 147 Tahun 2009 dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia untuk pembangunan smelter alumina.
Meski enggan merinci, Harjanto juga mengakui banyaknya syarat yang diajukan oleh Rusal untuk berinvestasi di dalam negeri. Nilai investasi yang besar terkadang membawa risiko pada pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil kebijakan.
Tapi Harjanto menegaskan bukan berarti pemerintah pasrah dan diam saja. Menghindari alumina yang dihasilkan diekspor semua, pihaknya kini sedang menyiapkan aturan untuk mengendalikan ekspor komoditas tersebut dengan kewajiban penyediaan bahan baku industri dalam negeri dari beberapa smelter yang beroperasi. "Itu yang bisa kami lakukan dari sisi hilir," katanya. Untuk urusan hulu, seperti masalah divestasi, dia menyerahkan ke Kementerian Energi dan Menteri Koordinator Perekonomian.
Maxim Sokov, CEO En+ Group, perusahaan yang mengendalikan Rusal, menjelaskan bahwa hasil alumina itu tidak akan diekspor semuanya. Sebagian alumina itu direncanakan diproses menjadi aluminium untuk pasar domestik. Namun, dengan catatan, En+ dapat memperoleh pasokan listrik yang memadai. "Soalnya, 30-40 persen biaya mengolah aluminium itu adalah ongkos listrik," katanya.
Gustidha Budiartie, Bambang Harymurti (Moskow)
Profil
UC Rusal merupakan produsen aluminium terintegrasi terbesar di dunia dengan menguasai 10 persen pasar aluminium dunia. Perusahaan ini mengoperasikan 40 pabrik di 13 negara dengan rincian: 8 tambang bauksit, 12 alumina refinery, 16 aluminum smelter, dan 4 foil mill.
Produksi(juta ton) | ||||
Tahun | Bauksit | Alumina | Aluminium | |
2012 | 12,36 | 7,47 | 4,17 | |
2013 | 11,8 | 7,3 | 3,85 | |
Total Konsumsi (juta ton)
Cina | 23,2 |
Asia | 10,11 |
Eropa (tidak termasuk Rusia) | 7,2 |
Amerika Utara | 5,5 |
Lainnya | 4,17 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo