Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah riuh ledakan kemiskinan yang melanda Indonesia, kehadiran kembali Profesor Gustav Fritz Papanek ke Indonesia menjadi penting. Dialah salah seorang ”arsitek” di belakang layar yang ikut mendesain arah dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia di masa awal pemerintahan Orde Baru.
Sebagai Direktur Harvard Development Advisory Service (kemudian menjadi Harvard Institute for International Development) pada awal 1970-an, Papanek menjadi penasihat menteri-menteri ekonomi Kabinet Pembangunan Pertama, dengan komandan Widjojo Nitisastro. Dengan dana dari Ford Foundation—lembaga elite Amerika ini sejak 1954 terlibat dalam perencanaan pembangunan di sejumlah negara berkembang.
Dalam perjalanannya, peran Universitas Harvard memang seolah tertelan oleh ”pamor” University of California, Berkeley. Julukan Mafia Berkeley bahkan disematkan kepada sejumlah menteri ekonomi punggawa Orde Baru, seperti Widjojo, Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Sumarlin, yang terlahir dari universitas itu. Universitas Harvard tampaknya memang memilih tak tampil ke panggung. ”Kami berada di belakang layar,” kata Deputi Direktur Harvard Development Advisory Service, Lester Gordon, seperti dikutip David Ransom dalam artikelnya, ”Ford Country: Building an Elite for Indonesia”.
Papanek adalah ahli kemiskinan. Dalam 50 tahun kiprahnya di bidang ekonomi pembangunan, ia sibuk wira-wiri ke berbagai negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk memberikan konsultasi tentang strategi pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Pemimpin negara yang pernah ”dikuliahinya” antara lain dari Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Malaysia, Mesir, Korea, Nepal, Iran, Ghana, Kolombia, Liberia, Ethiopia, Argentina, dan Venezuela.
Dengan segudang pengalaman itulah, selama tiga dekade terakhir, doktor ekonomi dari Universitas Harvard dan profesor emeritus bidang ekonomi di Universitas Boston ini dipandang sebagai salah seorang pakar ekonomi pembangunan paling berpengaruh di dunia. Itu sebabnya pula salah satu bukunya, The Indonesian Economy (1980), menjadi bacaan wajib bagi setiap mahasiswa fakultas ekonomi.
Pada usianya menjelang 81 tahun pada 12 Juli mendatang, energi Papanek tak pernah habis. Dalam satu dasawarsa terakhir, kakek empat cucu ini mencurahkan penuh perhatiannya pada upaya pencarian metode untuk meningkatkan pendapatan orang miskin, serta merancang program aksi dan kebijakan untuk memperbaiki keadaan.
Untuk urusan itu pula, sejak akhir bu-lan lalu, Papanek kembali datang sebagai penasihat khusus Bank Dunia untuk pemerintah Indonesia. Tugasnya kali ini mempresentasikan strategi pengentasan masyarakat miskin lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. ”Saya merasa Indonesia adalah rumah kedua saya,” kata Presiden Boston Institute for Developing Economics ini.
Dalam sebuah obrolan santai dan santap malam di rumah pendiri Yayasan Aksara, Nono Anwar Makarim, di Jakarta, Papanek memaparkan berbagai pandangannya soal kemiskinan di Indonesia. ”Pendidikan merupakan salah satu kunci pemberantasan kemiskinan,” ujarnya dalam diskusi yang juga dihadiri Metta Dharmasaputra dan D.A. Candraningrum dari Tempo. Diskusi ini juga dihadiri wartawan The Jakarta Post dan Sinar Harapan. Diskusi baru ditutup menjelang tengah malam, setelah sang Profesor memberikan ”kuliah” hampir empat jam lamanya.
Sejak kapan Anda tertarik dengan masalah kemiskinan?
Saya berasal dari keluarga kurang mampu. Pada usia 15 tahun, saya harus bekerja dengan upah US$ 18 (sekitar Rp 165 ribu) per bulan untuk membiayai sekolah. Dari situ muncul cita-cita untuk membantu mereka yang kekurangan agar bisa hidup lebih baik.
Bagaimana tingkat kemiskinan di Indonesia menurut Anda?
Jika yang disebut orang miskin seperti kriteria Bank Dunia, yaitu yang berpenghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 20 ribu per hari, hingga akhir tahun lalu angka kemiskinan di Indonesia mencapai 52,4 persen dari total penduduk.
Bagaimana strategi paling tepat untuk memberantas kemiskinan?
Pertama, menciptakan lapangan kerja dengan dua sasaran, yakni mereka yang belum atau sudah bekerja tapi tak penuh (full time) dan tak berpendidikan khusus (unemployee), serta mereka yang berpendidikan tapi tak memiliki kesempatan untuk menerapkan kemampuannya di industri (under-employee). Kedua, memperbaiki infrastruktur yang bisa mendukung revitalisasi pertanian. Banyak anggota masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian. Ketiga, mempermudah akses pendidikan pada rakyat miskin.
Bagaimana penerapannya?
Kepada mereka yang unemployee disediakan lapangan kerja paruh waktu. Jutaan orang yang tak berpendidikan khusus sekarang memang bekerja, tapi bukan pekerjaan penuh. Penghasilannya pun rendah. Contoh paling konkret adalah petani. Mereka baru punya pekerjaan penuh saat musim tanam. Enam bulan setelah panen, mereka hampir tak bekerja. Juga mereka yang tak punya jaringan dan tak berpenghasilan, yang saat ini sekitar 30 juta orang. Strategi terbaik adalah menggabungkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Maksud dari program pemberdayaan?
Sebuah program untuk pengembangan infrastruktur dasar yang dibutuhkan masyarakat di tingkat kecamatan. Dengan program ini, terciptalah lapangan kerja.
Berapa besar lapangan kerja yang akan tercipta?
Jika didanai menyeluruh, pada 2009 sebanyak 20-26 juta penduduk yang saat ini masih mencari-cari pekerjaan sampingan akan mendapat pekerjaan tambahan rata-rata 60 hari per tahun, dengan tambahan penghasilan sekitar Rp 14 ribu per bulan. Itu dengan asumsi hanya satu orang dalam satu keluarga yang bekerja tambahan. Jika program ini berhasil, 8-10 juta orang miskin akan mendapat tambahan pemasukan dan bisa merangkak dari garis kemiskinan.
Bagaimana tanggapan pemerintah?
Pemerintah berencana menjalankan program PNPM ini di 5.358 kecamatan hingga 2009. Untuk masing-masing kecamatan akan disediakan dana Rp 3 miliar.
Apakah program ini rawan korupsi?
Di program ini, celah korupsi bisa ditekan. Dari Menteri Keuangan, dananya langsung masuk ke rekening bank milik kelompok masyarakat yang dipilih langsung oleh masyarakat. Transparansi dilakukan dengan memasang papan berisi informasi proyek dari besaran dana hingga waktu pembangunannya, pengawasan lewat media lokal, serta penggunaan jasa auditor independen. Tapi ini bukan program sulap yang bisa langsung berhasil. Pemerintah harus menanam modal besar untuk menciptakan lapangan kerja.
Adakah cara lain?
Banyak. Salah satunya program pemberian dana bantuan langsung tunai yang dilakukan pemerintah tahun lalu. Itu program yang pas karena dana segar langsung jatuh ke tangan yang membutuhkan. Namun upaya utama untuk menambah pendapatan kaum miskin adalah meningkatkan pendidikan agar nilai mereka terdongkrak. Dengan pendidikan, para pekerja nantinya bisa menghasilkan produksi lebih untuk diekspor.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dianggap memberatkan rakyat….
Tidak benar. Kebijakan itu memukul orang yang mengkonsumsi BBM, yang jelas bukan rakyat miskin. Jika subsidi BBM dipertahankan, orang kaya yang menikmatinya. Artinya, dana pemerintah tak disalurkan ke rakyat miskin.
Bagaimana soal Visi Indonesia 2030?
Indonesia kaya potensi, seperti sumber daya alam dan manusia. Pemerintah harus kreatif menciptakan lapangan kerja yang mampu menampung rakyat. Jika ini dilakukan, perekonomian bisa tumbuh delapan persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo