Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembatasan dilakukan untuk mencegah praktik predatory pricing yang merugikan UMKM lokal.
Produk impor juga diwajibkan untuk memenuhi ketentuan izin usaha dan aturan standardisasi yang berlaku.
Sebanyak 74 persen produk yang dijual di e-commerce merupakan barang impor.
JAKARTA — Pemerintah segera menetapkan pembatasan harga minimum atau nominal barang impor cross border pada platform e-commerce, marketplace, dan social commerce. Pembatasan produk impor lintas batas di pasar daring dijalankan dengan menerapkan batas minimum harga untuk produk impor yang diperdagangkan yaitu US$ 100 atau sekitar Rp 1,5 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan ini akan membuat harga produk impor yang masuk ke pasar daring tak akan memukul harga produk pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), sehingga menghindari praktik predatory pricing yang dapat merugikan pelaku usaha lokal. “Nilai itu ditetapkan berdasarkan historis data produk impor yang dibeli masyarakat di platform e-commerce. Kami yakin produk dengan harga jual di bawah US$ 100 sudah banyak juga diproduksi oleh UMKM lokal dan kualitasnya juga tidak kalah mumpuni,” ujar Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM, Fiki Satari, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan demikian, penjual asing tidak bisa lagi langsung menjual barangnya ke konsumen dalam negeri. Mereka memiliki opsi untuk memasukkan barang melalui mekanisme impor reguler bekerja sama dengan mitra pedagang di Indonesia, dan lebih dulu memenuhi perizinan berusaha hingga standardisasi produk. “Di antaranya mengurus izin usaha atau nomor induk berusaha (NIB), kemudian untuk produk tertentu ada SNI, sertifikasi halal, BPOM, juga penting untuk mencantumkan dari mana asal barang ini secara transparan,” ucapnya.
Aturan mengenai pembatasan ini, menurut Fiki, telah disepakati oleh Kementerian Perdagangan dan kementerian/lembaga terkait lainnya. Nantinya aturan tersebut tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik.
Perajin rotan mengambil gambar menggunakan telepon untuk dijual secara daring di Pakubuana Rotan kawasan Grogol, Jakarta, 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan bahwa kebijakan pelarangan penjualan barang impor di bawah US$ 100 bertujuan untuk melindungi keberlangsungan UMKM lokal dari gempuran barang impor cross border yang dijajakan dengan harga sangat murah atau menjalankan praktik predatory pricing. “Untuk barang-barang yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, kita enggak perlu lagi masuk impor, karena itu harganya harus dipatok. Kalau di bawah itu, tidak boleh. Untuk melindungi produk-produk kita,” ucap Teten.
Tak hanya itu, Teten juga mengusulkan agar ke depannya platform digital juga dilarang menjual produk sendiri atau sekaligus berperan sebagai produsen. “Mereka tidak boleh punya brand atau menjual produk-produk dari afiliasi bisnisnya. Karena kalau mereka jualan juga, maka algoritma hanya akan mengarahkan kepada produk-produk mereka, dan konsumen hanya akan membeli dari afiliasi tersebut.”
Teten mengimbuhkan, terdapat potensi kerugian yang bakal dialami pelaku UMKM lokal jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas pembatasan produk impor tersebut. Berdasarkan proyeksi, pada 2030, Indonesia memiliki potensi pasar digital hingga mencapai Rp 5.400 triliun, yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh industri dalam negeri, tak terkecuali UMKM.
Namun yang terjadi justru pelaku UMKM kehilangan potensi tersebut akibat serbuan produk impor yang kelewat batas. Dia mencontohkan, dalam industri fashion muslim pada 2021, hanya 25 persen hijab yang diproduksi oleh pengusaha lokal, sedangkan 75 persen sisanya dikuasai oleh produk impor. Padahal masyarakat Indonesia menghabiskan sekitar US$ 6,9 miliar untuk membeli 1,02 miliar hijab setiap tahun. “Hal ini diperkuat lagi oleh porsi produk lokal di pasar tekstil Tanah Abang yang terus menurun sejak awal 2000, dari 80 persen menjadi 50 persen pada 2021.”
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim, memastikan bahwa proses revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 yang memayungi keseluruhan gagasan perlindungan produk lokal itu terus berlangsung. Harmonisasi final di Kementerian Hukum dan HAM dijadwalkan akan dilakukan pembahasan pada 1 Agustus mendatang. “Harmonisasi ini juga akan melibatkan kementerian/lembaga terkait,” ucapnya. Adapun kementerian yang dimaksudkan antara lain termasuk Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Sekretariat Kabinet.
Aktivitas gudang penyimpanan barang toko online di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (AKUMANDIRI), Hermawati Setyorinny, menuturkan bahwa pelaku usaha sudah lama menanti terbitnya paket kebijakan perdagangan daring tersebut untuk melindungi produk dalam negeri. “Ini bentuk nyata upaya pemerintah melindungi industri UMKM karena banyak produk luar negeri yang mudah masuk dan dibeli masyarakat Indonesia, di mana produk-produk yang ditawarkan itu juga banyak diproduksi atau dibuat UMKM, sehingga dampaknya merugikan."
Menurut Hermawati, jumlah produk impor yang paling banyak dijual di platform e-commerce maupun social commerce dan menekan produk lokal adalah kategori fashion atau konfeksi, aksesori, kosmetik, serta makanan dan minuman. “Yang pasti perbedaan harga antara produk UMKM dan impor ini sangat terasa bagi konsumen.”
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Nailul Huda, berujar, peningkatan arus barang impor terjadi seiring dengan pesatnya tren belanja daring melalui platform e-commerce, marketplace, dan social commerce. Adapun peningkatan impor barang konsumsi banyak terjadi pada masa pandemi Covid-19, di mana pada 2021 peningkatannya mencapai 20 persen dibanding tahun sebelumnya. “Sebanyak 74 persen produk yang dijual di e-commerce dan social commerce berasal dari impor.”
Berdasarkan data Cube Asia pada 2022, kategori barang yang paling banyak dijual dan laris dalam penjualan online adalah produk kecantikan dan perawatan tubuh, elektronik dan perlengkapannya, fashion dan sepatu, serta peralatan rumah tangga. “Kebijakan pelarangan impor bagi produk dengan harga di bawah US$ 100 akan efektif menekan peredaran barang impor cross border di e-commerce,” ucapnya. Huda menambahkan, untuk menambah daya tarik produk lokal, diperlukan juga promosi khusus untuk meningkatkan penjualan. “Misal ada voucer, diskon, atau program gratis ongkos kirim khusus produk lokal.”
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo