CIKOTOK, yang selama ini menjadi satu-satunya tambang emas nontradisio-nal, mendapat saingan baru: Lebong Tandai di Bengkulu, dan Tutut di Aceh. Sebagaimana Cikotok, kedua tambang itu juga peninggalan perusahaan zaman kolonial. "Tambang-tambang itu ditinggalkan begitu saja ketika pasukan Jepang datang," ujar Gerry Mbatemooy, direktur PT Ara Tutut, yang awal bulan depan akan memulai produksi perdananya. Kedua tambang yang baru dibuka kembali menjelang akhir tahun 1980-an itu, ternyata, masih sanggup menghasilkan emas beberapa kali lipat dibanding-kan Cikotok. Dari kedua tambang yang terbengkalai puluhan tahun itu, akan dihasilkan 55 kg emas murni per bulan - 45 kg di antaranya berasal dari Lebong Tandai. Sedangkan Cikotok (dikelola PT Aneka Tambang) hanya mampu menghasilkan 20 kg per bulan. Bahkan Lebong Tandai, yang konon mulai ditambang sejak tahun 800, masih mempunyai cadangan 3,6 ton emas murni. Belum termasuk daerah sekeliling-nya, yang diperkirakan mempunyai cadangan geologi 850 ribu ton. "Namun, produksi tambang ini diundur sampai awal November agar bertepatan dengan hari ulang tahun Provinsi Bengkulu," ujar Gerry, yang juga direktur PT Lusang Mining, pengelola Lebong Tandai. Dana yang diserap oleh proyek penambangan logam mulia di tengah hutan Bengkulu itu, menurut Gerry, mencapai US$ 33,5 juta. Sedangkan untuk Tutut, yang mempunyai cadangan sekitar tiga ton emas murni, telah dihabiskan US$ 1,1 juta. "Tahun depan, kami akan mendatangkan kapal keruk khusus dari Australia, berharga US$ 4 juta," ujar Gerry, tentang tambangnya yang di Sungai Woyla, Aceh. Namun, dari keseluruhan investasi itu, tidak ada sedikit pun yang berasal dari bank dalam negeri. "Kekurangan dana bisa ditutup dari pinjaman rekan usaha," ujar Gerry. Penolakan Bapindo yang baru diberikan tahun ini terhadap permohonan kreditnya yang diajukan dua tahun lalu telah membuat anak bekas camat Pulau Roti itu kapok berhubungan dengan bank. Penolakan itulah yang menyebabkan Abaleen Minerals-N.L., perusahaan pertambangan mineral Australia, ambil bagian dalam proyek Ara Tutut yang berstatus PMDN. Perusahaan Australia itu begitu bernafsu ketika, Mei lalu, disodori hasil eksplorasi AMAX Exploration Ltd. dari Amerika Serikat di Tutut, yang selesai tahun 1980. Sebulan kemudian, perusahaan itu langsung menyatakan kesanggupannya untuk menyuplai semua kekurangan dana dan eksploatasi yang, konon, mencapai 80% dari total investasi. Pasar pun, saat ini, agaknya sudah siap melahap produksi kedua perusahaan itu karena produksi Cikotok masih jauh di bawah kebutuhan pasar. "Sejak tahun 1983, harga emas di Indonesia rata-rata 5% lebih tinggi dari harga London," ujar Kosim Gandataruna, direktur utama PT Aneka Tambang. Pekan lalu, harga London per troy ons US$ 325 atau Rp 11.026 per gram, sedangkan harga lokal mencapai Rp 11.750. Dalam waktu dekat ini, Gerry akan mengadakan eksplorasi lagi di Nusa Tenggara Timur dan Barat. Dan Aneka Tambang, diam-diam, juga mengambil langkah yang sama. Bahkan, ia sudah mulai eksplorasi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. "Emas adalah satu-satunya logam mulia yang, sampai sekarang, paling stabil pasarannya. Jadi, harus kita manfaatkan semaksimal mungkin," ujar Gandataruna. Anda berminat? Praginanto Laporan Makmun Al Mujahid (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini