SEMEN Kupang, yang berlogo binatang langka komodo, rupanya masih perlu dilindungi. Berbeda dengan pabrik semen lain, misalnya PT Semen Cibinong, yang sudah bisa memetik untung setelah tujuh bulan beroperasi, Semen Kupang yang beroperasi sejak April 1984 masih merugi sampai sekarang. Pemasarannya seret, sehingga gubernur NTT, Ben Mboi, mewajibkan para kontraktor memakai si Komodo dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah di sana. Namun, kebijaksanaannya yang dituangkan dalam instruksi 11 Juli lalu itu ternyata mendapatkan reaksi. Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) NTT diberitakan telah mengirim surat kepada gubernur, agar instruksinya diberlakukan secara selektif. Ketua Kadinda Firmus Wangge sendiri menyatakan lebih suka mempergunakan semen Tonasa (dari Sulawesi Selatan). Sedangkan sebagian masyarakat lebih menyukai semen Tiga Roda, bahkan ada kontraktor proyek PLN lebih suka memakai semen impor dari Korea. Apa sebenarnya yang terjadi dengan semen Komodo itu? Ada yang mengatakan, kualitas semen Kupang diragukan kontraktor, antara lain bangunan yang memakai semen itu mudah retak. Harganya pun dikatakan lebih mahal dari merk lain. Tapi hal itu kemudian dibantah Ben Mboi dan direksi Semen Kupang. Harga pedoman setempat (HPS) yang berlaku untuk pasaran semen di NTT adalah Rp 4.200 per zak (40 kg), sedangkan semen Kupang dijual Rp 3.800. Penjualan si Komodo tujuh bulan pertama (Januari-Juli) hanya sekitar 36.000 ton. Itu berarti, pabrik hanya bekerja sekitar 50% dari kapasitas. Padahal, jika mau untung, pabrik harus bekerja 65% dari kapasitas terpasang. Dalam keadaan pasar sedang lesu, menurut Ben Mboi, maka semen Kupang harus dilindungi. "Jumlah makanan di meja lagi sedikit, maka yang lemah harus dilindungi," katanya sewaktu dihubungi TEMPO di Jakarta pekan lalu. Industri semen di Indonesia, katanya, ibarat satu keluarga. "Anak yang sudah di universitas tak perlu disuapi lagi. Tapi yang masih bayi merangkak perlu diberi proteksi," tutur gubernur bertitel dokter itu. Yang menjadi masalah di NTT, konsumen masih menyukai semen "tradisional" Tonasa dan Gresik kendati harga semen Kupang lebih murah. Kemungkinan pula para distributor kurang tertarik menyalurkan semen yang kecil potongannya itu karena jumlahnya sedikit dan harganya lebih murah. "Saya memotong mereka, tentu saja mereka berteriak. Tapi pabrik ini dibangun bukan sekadar untuk logistik semen," tutur Ben Mboi. Diakuinya bahwa manajemen Semen Kupang masih lemah. "Manajemen semen jangan disamakan dengan manajemen warung nasi, kalau kurang pembungkus, misalnya bisa lari ke belakang," katanya kepada Suharjo Hs. dari TEMPO. Hal itu dikatakannya sehubungan dengan keluhan direksi Semen Kupang yang sulit mendatangkan gips dari Australia. Menurut direksi sebuah pabrik semen, hal itu seharusnya tak perlu terjadi karena kini ada suplai dari PT Petrokimia Gresik. PT Semen Kupang, yang dimiliki antara lain oleh PD (NTT) Flobamor, PT Semen Gresik, dan Bapindo itu, menurut Ben Mboi, masih memikul beban cukup berat untuk membayar cicilan utang dan melakukan depresiasi. "Bebannya lebih berat daripada yang dipikul (pabrik-pabrik - Red.) lainnya," tambahnya. Sementara itu, pihak-pihak lain, termasuk kontraktor dan distributor yang mencari makan di wilayah NTT dilihatnya tak mau berkorban. Latar belakang itu semua yang menggerakkannya untuk melayangkan instruksi mewajibkan pemakaian semen Kupang. Instruksi itu, seperti disebut Mboi, bersifat politis. Semua proyek, termasuk swasta, harus menggunakan semen Kupang. Tapi bukan segala pekerjaan harus pakai kalau tidak cocok. "Saya tidak bertanggung jawab atas bangunan itu bila retak," katanya. M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini