Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Hati-hati Terjebak Gaya Smombie

Yopie Hidayat, Kontributor Tempo

13 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pegawai menghitung uang dolar Amerika Serikat pecahan 100 di sebuah tempat penukaran mata uang asing (money changer) di Jakarta./TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banjir dana investasi portofolio yang masuk ke Indonesia kian tak tertahan. Pasar makin yakin suku bunga The Federal Reserve akan turun. Maka berbondong-bondonglah dana investasi mengalir kembali ke pasar negara berkembang, termasuk ke Indonesia. Penjelasan Ketua The Fed Jay Powell kepada Kongres Amerika Serikat, Rabu, 10 Juli lalu, mengukuhkan keyakinan pasar itu. Bahkan para analis yakin bunga sudah mulai turun pada akhir Juli ini.

Ini tentu kabar baik bagi Indonesia. Pasar sudah mengantisipasinya sejak awal Juni. Persediaan dolar di dalam negeri terus membaik. Selama Juni, Bank Indonesia mencatat tambahan cadangan devisa US$ 3,5 miliar menjadi US$ 123,8 miliar pada akhir bulan. Kurs rupiah pun menguat, pada akhir pekan lalu sudah berkisar 14 ribu per dolar Amerika. Nilai rupiah kini jauh lebih kuat ketimbang pada pertengahan Mei lalu, yang merosot ke kisaran 14.500 per dolar.

Dana asing terutama membeludak masuk ke berbagai obligasi pemerintah. Per 10 Juli 2019, nilai seluruh surat berharga negara (SBN) dalam rupiah yang dapat diperdagangkan menyentuh angka Rp 1.000,23 triliun. Sebagai perbandingan saja, pada awal 2019 posisi kepemilikan asing di SBN rupiah masih Rp 893,48 triliun. Kini 39,33 persen dari seluruh SBN rupiah berada di tangan pemain asing. Ini salah satu rasio tertinggi di Asia Tenggara.

Rasio kepemilikan asing yang sangat tinggi ini merupakan sinyal awal agar investor tidak berperilaku bagai smombie, smartphone zombie, yang berjalan tanpa peduli akan sekitar karena matanya terpaku pada layar telepon pintar. Dalam hal ini, investor jangan terlalu terpaku optimisme karena kebijakan bunga The Fed. Masih ada banyak risiko yang dapat membuat investor terantuk.

Yang pertama, dengan dominasi kepemilikan asing yang makin besar, makin besar pula risiko terjadi pukulan balik jika situasi berubah. Dominasi kepemilikan asing yang sangat besar membuat perbedaan suku bunga di dalam negeri dan luar negeri menjadi faktor penentu yang amat penting.

Satu skenario: Bank Indonesia menurunkan suku bunga rujukan di dalam negeri. Ini sangat mungkin terjadi karena dorongan kepada BI agar menurunkan bunga selalu muncul ketika pemerintah merasa situasi sudah baik. Pemerintah tentu menginginkan bunga rendah agar ekonomi lebih bergairah. Jika BI mengikuti kemauan ini, ada risiko terjadi arus balik dana portofolio yang pada gilirannya akan membuat kurs rupiah kembali tertekan.

Skenario lain yang juga berbahaya justru ada pada sumber kabar baik itu sendiri, The Fed. Para analis kebijakan kini mulai me-nyoal dasar kebijakan The Fed karena menganggapnya tidak lazim. Selama ini sudah menjadi pakem tak tergoyahkan bahwa The Fed mengambil kebijakan hanya berdasarkan data.

Dalam keterangannya kepada Kongres Amerika Serikat, alih-alih menyampaikan data yang solid tentang pelemahan ekonomi Amerika sehingga membutuhkan stimulus penurunan bunga, Powell- malah menggunakan beberapa asumsi antisipasi risiko sebagai dasar penurunan bunga. Ia antara lain mengutip soal risiko marak-nya perang dagang dengan Cina, melemahnya ekonomi global, hingga dampak kekacauan di Eropa karena Brexit.

Niat The Fed menurunkan bunga lebih dini mendahului data yang solid pada akhirnya memicu spekulasi bahwa Powell sudah tunduk pada intimidasi Presiden Donald Trump. Menghadapi pemilihan umum tahun depan, Trump tentu ingin ekonomi bergairah sebagai modal. Salah satu cara cepat dan mudah menggairahkan ekonomi adalah menurunkan bunga.

Persoalannya, entah karena tekanan Trump entah bukan, The Fed sudah telanjur melempar sinyal bunga turun. Pasar pun sudah mengantisipasinya. Jika ternyata keadaan ekonomi yang sebenarnya tidak mendukung kebijakan penurunan bunga, situasi bisa runyam. Inilah bahayanya terlalu terpaku pada optimisme penurunan bunga. Dus, jangan melakukan alokasi investasi ala smombie jika tak mau terjerembap.

 

Peringkat Kredit Indonesia

​Standard & Poor's

Rating ​BBB      Outlook​ Stable

Fitch Ratings

​Rating BBB     Outlook Stable

Moody's Investor Service ​

Rating Baa2     Outlook ​Stable

Japan Credit Rating Agency

Rating ​BBB     Outlook ​​Stable

Kurs

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus