Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa pun alasan yang digunakan polisi untuk membenarkan penetapan status tersangka bagi Robertus Robet, faktanya tak berubah: kasus ini merupakan kriminalisasi kebebasan berpendapat. Dengan menetapkan ancaman pidana untuk sebuah ekspresi sikap dan prinsip politik, polisi menyeret kita semua kembali ke era Orde Baru.
Pada Rabu pekan lalu, menjelang tengah malam, lima polisi dari Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menangkap dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, di kediamannya di Depok, Jawa Barat. Penangkapan itu diklaim polisi sebagai “upaya melindungi” Robet dari ancaman tindakan main hakim sendiri prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Kasus ini bermula dari orasi Robet sepekan sebelumnya di tengah Aksi Kamisan—unjuk rasa damai yang diadakan rutin di depan Istana Merdeka untuk menuntut penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Dalam pidatonya ketika itu, Robet menolak rencana pemerintah menempatkan perwira tinggi TNI yang “menganggur” di posisi penting sejumlah kementerian dan lembaga sipil. Dia menyebutkan rencana itu sama saja dengan menghidupkan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada zaman otoritarian Soeharto.
Nah, untuk mengingatkan anak-anak muda saat ini soal besarnya pengaruh tentara dalam berbagai sektor kehidupan sipil di masa Orde Baru, Robet kemudian menyanyikan satu bait lagu satire yang dipopulerkan mahasiswa pada aksi-aksi demonstrasi 1998. Video nyanyian inilah yang kemudian menjadi viral di media sosial.
Apa yang dilakukan Robet bukanlah kejahatan, melainkan haknya sebagai warga negara. Sesuai dengan konstitusi negara ini, dia bebas berpendapat dan berekspresi. Terlebih lagi, Robet sedang mengingatkan publik akan ancaman militerisme yang dikhawatirkan merasuk lagi ke ruang-ruang sipil. Menangkap dan menetapkan dia sebagai tersangka dalam perkara ini adalah sebuah tragedi.
Belakangan, polisi memang mengubah sangkaan untuk Robet, dari pelanggaran Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi pelanggaran Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum. Pasal ini pun sebenarnya lemah karena rangkaian pasal sejenis mengenai penghinaan terhadap pejabat publik sudah dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2006. Hakim konstitusi ketika itu sudah memberikan peringatan tegas: penegak hukum harus bisa membedakan antara kritik, pendapat, dan fitnah atau pencemaran nama baik.
Yang menarik, polisi terus berkilah bahwa penangkapan Robet merupakan antisipasi agar kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta, dan pembakaran kantor Kepolisian Sektor Ciracas, Jakarta Timur, tak terulang. Dalam kedua kasus itu, anggota TNI menjadi korban kejahatan dan polisi tak sigap menindaklanjutinya. Dalih semacam itu menghina akal sehat.
Menyamakan orasi kritis tentang militerisme dengan kasus pembunuhan dan penganiayaan adalah sesat pikir yang keterlaluan. Jika ancaman atas keselamatan Robet memang nyata, polisi seharusnya bergegas melindungi, bukan menetapkan dia sebagai tersangka. Apalagi Markas Besar TNI sudah menyatakan tak tersinggung dan justru berterima kasih atas kritik Robet.
Polisi harus segera menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus ini. Jika tidak, kepercayaan publik tethadap kemampuan polisi menjaga demokrasi dan hak asasi manusia di negeri ini akan terus melorot sampai titik nadir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo