Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

IHSG Sempat Terjungkal, INDEF: Sinyal Pasar Menolak Kebijakan Ekonomi dan Politik Pemerintah

Kejatuhan IHSG yang signifikan pada Selasa, 18 Maret 2025, tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi yang dianggap mengabaikan respons pasar.

20 Maret 2025 | 10.29 WIB

Pimpinan DPR RI dan Komisi XI DPR RI meninjau pergerakan indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2025. Tempo/Amston Probel
Perbesar
Pimpinan DPR RI dan Komisi XI DPR RI meninjau pergerakan indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 18 Maret 2025. Tempo/Amston Probel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG sempat mengalami tekanan jual hingga menyentuh titik kritis pada Selasa, 18 Maret 2025 lalu. Menanggapi kondisi ini, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini menilai bahwa penyebab utama anjloknya pasar modal bukan sekadar faktor ekonomi semata, melainkan kombinasi erat antara kebijakan ekonomi dan dinamika politik nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Didik, pasar modal berfungsi sebagai alarm atau indikator yang mencerminkan kepercayaan investor terhadap kebijakan pemerintah. “Lebih dari dua pertiga dari masalah ekonomi adalah politik, dan sebaliknya, masalah terbesar politik adalah ekonomi,” ujar Didik dalam keterangannya, Kamis, 20 Maret 2025. Ia menekankan reaksi pasar yang negatif merupakan bentuk penolakan terhadap arah kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Didik menyoroti kejatuhan IHSG yang signifikan pada Selasa, 18 Maret 2025, tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang dianggap mengabaikan respons pasar. Salah satu contoh yang menjadi perhatian, kata dia, adalah pembentukan Danantara, yang seharusnya menjadi sovereign wealth fund serupa dengan Temasek di Singapura. Namun, dia menilai eksekusi pemerintah yang terburu-buru tanpa kajian matang memicu reaksi negatif dari investor.

Ia menyebut data menunjukkan setelah peresmian Danantara pada 24 Februari 2025, investor asing langsung menarik modal sebesar Rp 24 triliun, termasuk Rp 3,47 triliun dalam satu hari. “Pasar melihat kebijakan fiskal yang sekarang dilaksanakan sebagai faktor yang membahayakan stabilitas makroekonomi. Investor memilih menarik diri lebih dini daripada menghadapi risiko besar terhadap modal mereka,” kata dia.

Ia menambahkan kebijakan ekonomi yang diambil dalam situasi seperti ini seharusnya memperhatikan kepercayaan pasar, bukan justru bertindak sepihak.

Selain kebijakan ekonomi, faktor politik juga menjadi pemicu utama kejatuhan IHSG. Ia mengungkapkan ketidakstabilan demokrasi, termasuk dugaan politik uang dan tekanan dalam pemilu, telah merusak ekosistem investasi. Pasar, kata dia, menilai situasi ini sebagai ancaman terhadap stabilitas pemerintahan baru yang seharusnya membawa penyegaran bagi ekonomi nasional.

“Jangan anggap remeh politik TNI yang diolah oleh segelintir orang dalam kekuasaan. Demokrasi yang sudah rusak sejak era Jokowi kini makin tidak jelas masa depannya. Ini menjadi trigger bagi pasar untuk menolak kebijakan pemerintah dan menarik modal mereka ke instrumen yang lebih aman,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti kebijakan fiskal yang dinilai semakin tidak transparan. Ia mengkritik pelebaran defisit anggaran, penerimaan pajak yang seret, serta keputusan-keputusan terkait APBN yang dianggap tidak mencerminkan prinsip kehati-hatian. Defisit penerimaan APBN yang diumumkan terlambat, menurutnya menjadi indikasi buruknya pengelolaan fiskal, yang turut memperburuk sentimen pasar.

“Kebijakan APBN sekarang lebih mirip komando daripada proses demokrasi ekonomi yang transparan dan masuk akal. Ketidakpercayaan terhadap APBN juga menjadi salah satu penyebab kepercayaan pasar yang semakin menurun,” ucap dia.

Efek dari ketidakstabilan ini tidak hanya dirasakan di sektor keuangan, tetapi juga merembet ke sektor riil. Emiten yang berencana melakukan IPO atau rights issue kemungkinan akan menunda aksi korporasi karena pelemahan valuasi. Industri hilirisasi pun terancam kekurangan dana, sehingga memperlambat ekspansi yang telah direncanakan sebelumnya.

“Jika kondisi ini terus dibiarkan, mimpi pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti yang dijanjikan dalam kampanye harus dilupakan. Pemerintah perlu bergandengan tangan dengan pasar dan menerapkan kebijakan yang lebih pro terhadap investasi,” tutur dia.

Dengan semakin kuatnya tekanan di pasar modal, ia menegaskan pemerintah perlu segera memperbaiki pendekatan politik dan ekonominya agar bisa kembali mendapatkan kepercayaan dari investor. Jika tidak, modal akan terus keluar dari Indonesia, likuiditas akan menurun, rupiah semakin tertekan, dan stabilitas ekonomi nasional pun akan terancam.

“Jika pemerintah tetap tertutup dan tidak membuka diri untuk perbaikan, pasar akan terus menolak kebijakan yang ada, dan kondisi ini bisa berujung pada vote of no confidence terhadap pemerintah,” kata dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus