TIBA-tiba Indonesia bersuara lantang di forum Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam diskusi tahunan WB-IMF, 26 September lalu di Washington, delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Keuangan J.B. Sumarlin telah mengemukakan pernyataan sepanjang 8 halaman folio. Intinya merupakan imbauan agar IMF dan WB melakukan dua hal. Pertama, mengurangi ketidakseimbangan perdagangan antara negara-negara besar, agar ekonomi dunia stabil. Kedua, beban utang negara-negara berkembang harus dikurangi. Dengan demikian, negara-negara itu bisa meminjam dari bank-bank komersial di pasar uang internasional, hingga pertumbuhan ekonominya bisa dipertahankan. Untuk mencapai sasaran pertama, IMF perlu terus mengawasi inflasi seraya memonitor berbagai kebijaksanaan manajemen pasar di negara-negara industri besar. Sedangkan untuk menjangkau sasaran kedua, delegasi Indonesia telah mendukung strategi pemotongan utang yang dilakukan IMF dan WB pada LDC's (negara-negara berkembang yang berpenghasilan rendah). Tapi, masih ada beberapa catatan. "Negara-negara yang sudah mengusahakan program penyesuaian yang ketat tak boleh dilupakan," ujar Sumarlin. "Negara kami telah melakukan mobilisasi dari segala sumber dana substansial, dan menerima bantuan simpatik dari lembaga-lembaga keuangan bilateral dan multilateral. Kendati begitu, kami berantisipasi bahwa kami juga membutuhkan akses ke pasar komersial. Pinjaman komersial itu akan dipakai khusus untuk membiayai proyek-proyek yang produktif," lanjutnya. Apa maksud Sumarlin? Apakah Indonesia akan meminta pemotongan utang? Dan juga apakah beban utang komersial Indonesia bakal meningkat? Menko Ekuin Radius Prawiro, yang ditemui seusai sidang Kabinet Ekuin Senin ini, menganjurkan agar masalah itu ditanyakan saja kepada Menkeu Sumarlin. Tapi, Sumarlin menolak memberi penjelasan. Alasannya, masih terlalu letih sepulang dari Washington. Adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Saleh Afiff yang kemudian mengulurkan jawaban. "Kita tidak akan meminta pengurangan utang," kata Afiff. "Jika kita meminta debt reduction, maka akan sulit sekali bagi Indonesia untuk meminta pinjaman baru. Pelajaran pahit itu sudah dirasakan oleh Amerika Latin," tegasnya. Menteri juga membantah bahwa Indonesia akan memperbanyak pinjaman komersial. "Tidak benar bahwa antisipasi pinjaman produktif ini disebabkan oleh semakin banyaknya bank devisa dan campuran asing," kata Afiff. Pinjaman komersial yang dimaksudkan Pak Marlin adalah kredit untuk proyek Pemerintah, yang dapat menunjang kegiatan ekspor. Sejauh ini, Pemerintah sudah memanfaatkan pinjaman komersial, sebagai pendamping pinjaman IGGI. Proyek Palapa, misalnya, sekitar 15% memakai kredit komersial. Jadi, suara lantang Indonesia di IMF itu, apa maksudnya? Di situ Sumarlin memang menegaskan bahwa Indonesia bertekad untuk menghormati semua kewajiban utang luar negerinya. Tapi, ia juga mengatakan bahwa pengurangan utang merupakan salah satu kunci bagi negara-negara berkembang untuk masuk ke pasar uang komersial. Beberapa pakar ekonomi menduga bahwa Pemerintah tampaknya masih belum mau berterus terang untuk meminta pengurangan utang. Toh Sumarlin mulai mendobrak. Pengamat ekonomi Kwik Kian Gie melihat, Sumarlin telah memelopori penjebolan terhadap suatu konvensi. "Itu perlu kita dukung," kata anggota MPR RI tersebut. Dunia ini, kata Kwik, memang lucu. Negara yang disiplin membayar utangnya terus digencet. Sedangkan yang mengaku tak mampu bayar utang justru diberi keringanan. Menurut Kwik, Pemerintah bisa mengikuti pola swasta dalam refinancing alias gali lubang tutup lubang. "Negara-negara kreditor itu mengesalkan. Jika kita minta penjadwalan kembali, mereka tutup pintu. Tapi, kalau kita lari kepada kreditur lain -- yang bersedia memberikan kredit lebih lunak untuk menutup utang pertama -- kreditur pertama girang sekali," kata Kwik. Dewasa ini pengurangan utang bukan lagi masalah yang memalukan, terutama sejak konsepnya dilontarkan oleh Menkeu AS Nicolas Brady pada Maret 1989. Brady Plan meminta IMF, WB, dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah -- Jepang khususnya -- agar mengurangi beban utang LDC's. Ternyata usul itu ditanggapi secara positif. Dalam laporan utama yang diturunkan majalah Asian Finance, 15 September 1989, IMF dinilai sudah bersikap luwes. Baru-baru ini IMF mengeluarkan seperangkat pedoman, dengan patokan bahwa IMF bisa memberikan kredit guna pemotongan utang. Fasilitas itu bisa diterapkan kepada semua negara anggota, termasuk Indonesia, tentu. Menurut pedoman itu, suatu negara bisa saja mengambil 25% dari cadangannya di IMF, atau memperpanjang perjanjiannya dengan IMF, untuk membiayai pengurangan beban utang. Dalam keadaan tertentu, IMF juga bersedia menambah bantuan sampai sebesar 40% dari kuota untuk negara bersangkutan Belakangan, Dana Moneter yang kini dipimpin Michael Camdessus itu telah pula memberikan kredit kepada negara-negara tertentu sampai 270% atau 330% kuota. Kuota pinjaman IMF kepada Meksiko malah lebih besar lagi. Selain itu, IMF juga sudah memperkenalkan suatu fasilitas pembiayaan khusus untuk membantu negara-negara yang menghadapi kesulitan neraca pembayaran. Menurut Asian Finance, Fililina sudah dibantu dengan fasilitas tersebut sebesar US$ 360 juta. Sementara itu, WB melancarkan strategi tersendiri. Kini Bank Dunia yang dipimpin Barber Connable itu bersedia menyisihkan 10%-25% dari seluruh pinjamannya selama 3 tahun kepada suatu negara, guna mengatasi masalah utang. Selain itu, Bank Dunia akan menambah 15% dari seluruh bantuannya dalam 3 tahun kepada negara tadi, guna membayar cicilan bunga. Max Wangkar, Bambang Aji, Tri Budianto Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini