MENTERI Perminyakan OPEC generasi Hisham M. Nazer (Arab Saudi) memang berbeda dibanding pendahulunya dari angkatan Seikh Zaki Yamani. Kini tak ada lagi tokoh flamboyan seperti Yamani. Rekan-rekan Nazer di OPEC terdiri dari orang-orang moderat, lebih realistis, dan umumnya menghendaki stabilitas harga minyak. Kalaupun ada perbedaan pendapat, sebisa mungkin diselesaikan secara musyawarah, tanpa perlu diumbar di depan umum. Pertemuan Komisi Pemantau Harga OPEC yang berlangsung di Jenewa, 23-27 September silam, lebih diwarnai oleh lobbying dari kamar Intercontinental yang satu ke yang lain. Persoalan pembagian kuota minyak yang menggantung pada sidang OPEC Juni lalu -- dengan membiarkan Kuwait dan Uni Emirat Arab (UEA) berdiri di luar kuota -- menjadi topik utama pertemuan kali ini. Tak mudah memecahkan kuota yang adil bagi 13 negara anggota. Kali ini pun Kuwait dan UEA tak terbujuk untuk taat pada kuota. Malah disepakati kenaikan seluruh kuota dari 19,5 juta menjadi 20,5 juta barel per hari. Dan kuota baru ini dibagi secara proporsional, sehingga negara yang jatahnya besar, persentase kenaikannya juga besar. Ada yang bilang, ini ibarat membiarkan yang kaya jadi semakin kaya. Namun, masih lebih baik, ketimbang membiarkan produsen kelas berat seperti Arab Saudi atau Irak memompa minyak berlebihan hingga membanjiri pasar. Kenaikan kuota itu sebenarnya merupakan respons dari permintaan minyak, yang tahun ini meningkat lebih dari 7 persen. Artinya di atas 22 juta barel sehari. Konsumsi minyak OPEC di Asia Timur dan Amerika Serikat belakangan cenderung naik. Korea Selatan tahun ini menenggak minyak 15,5% lebih banyak dari tahun lalu. Sedangkan permmtaan Jepang naik 6,5%. Oleh karena itu, sejak awal pertemuan sebagian besar delegasi sepakat menaikkan kuota OPEC. Tapi bagaimana membaginya, itulah yang menjadi soal. Iran -- diwakili Menteri Perminyakan Gholamreza Aghazadeh -- Selasa pekan lalu mengajukan usul menarik. Kepada Kuwait dan UEA, yang ingin menjual minyak lebih banyak dari kuota, sebaiknya diberikan kelonggaran kuota. Sementara itu, kuota total dinaikkan agak tinggi, sehingga negara produsen pas-pasan seperti Aljazair, Indonesia, Libya, dan Venezuela -- bisa memperoleh kenaikan yang lumayan. Arab diperkirakan setuju saja, asal bagiannya masih meliputi 25% produksi OPEC. Tapi Libya bersikeras agar kuotanya harus sama dengan Kuwait. Walhasil, Rabu pekan lalu, disepakati pembagian kuota proporsional untuk kuartal keempat tahun ini. Indonesia memperoleh tambahan 67.000 barel -- naik menjadi 1,374 juta barel per hari. Ini peluang buat menambah penjualan minyak Indonesia di masa mendatang. Tapi Menteri Ginandiar Kartasasmita agaknya lebih suka menghemat cadangan minyak kita. Dan Ginandjar yakin, harga minyak tidak akan terpengaruh kuota OPEC yang tetap benjol itu. Dari Tokyo, pembeli minyak Indonesia, yang dihubungi wartawan TEMPO Seiichi Okawa menyatakan akan mengurangi sedikit pembelian minyak dari Indonesia, karena stok minyak Indonesia masih cukup banyak. Mendengar ini, Ginandjar dan Dirut Pertamina Faisal Abda'oe, seusai sidang di Jenewa, langsung terbang ke Tokyo. Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini