Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Teka-teki sumalindo

Dengan melepas 25 juta saham, sumalindo menggaet dana murah Rp 225 miliar. oversubscribe lagi. tapi buat apa dana sebanyak itu?

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA loket penawaran saham itu melongo tanpa pembeli. Padahal, hari itu, Kamis pekan lalu, adalah hari terakhir untuk memborong saham PT Sumalindo Lestari Jaya. Tapi hujan deras yang mengguyur Jakarta Selatan sepanjang siang membuat calon investor malas keluar rumah, apalagi untuk antre berdesakan. Akibatnya, gadis-gadis penjaga loket yang sedianya melayani mereka hanya menganggur sambil terkantuk-kantuk. Tapi, itu tak berarti saham Sumalindo tak diincar orang. Loket resmi di Stadion Lebakbulus, Jakarta Selatan, memang sepi. Namun, lain halnya meja kerja agen penjual. Sepanjang hari mereka sibuk menambah jatah formulir pemesanan. Tak heran jika akhirnya jumlah pesanan surat sero Sumalindo oversubscribe alias melebihi jatah. Ludesnya saham perdana dari perusahaan yang mengelola lima konsesi hutan seluas sekitar 650.000 ha ini agak mengejutkan. Semula, para pemain pasar modal tak begitu yakin, lantaran harga pasar perdana yang dipatok Rp 9.000 per saham tergolong tinggi. Bandingkan dengan Barito Pacific Timber milik Prajogo Pangestu, yang konsesi hutannya lebih dari 5 juta ha tapi hanya berani pasang harga Rp 7.200 per lembar saham. Jelaslah, saham Sumalindo lebih mahal Rp 1.800, tapi aksi "jual mahal" ini tak mengerem laju investor untuk menubruknya. Dan pengusaha HPH lainnya boleh cemburu. Dengan melepas 20% sahamnya ke masyarakat, Sumalindo mampu mengeduk dana murah Rp 225 miliar, hampir dua pertiga dari total asetnya semula. Bahkan, sebelum sukses Sumalindo jadi kenyataan, perusahaan pemilik HPH lainnya sudah siap-siap juga masuk bursa. Setelah Barito, yang disusul Sumalindo, kini setidaknya ada tiga perusahaan lain yang menunggu giliran: Artika dan Nusantara Plywood dari Grup Djajanti, dan Grup Surya Dumai. Kabarnya, Presiden Komisaris Surya Dumai, Martias, berharap pertengahan April nanti mereka sudah dapat listing. Kalau bukan perusahaan kehutanan, barangkali rencana listing ini tak jadi soal benar. Masalahnya, seperti dikatakan Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dudung Darusman, ekspansi industri kehutanan hampir mustahil. Mereka dibatasi oleh mutu dan potensi hutan yang terus menurun. Hal ini juga yang mendorong Pemerintah menggalakkan HTI. Belum lagi tuntutan dari luar mengenai eco labelling. Kalau sudah begitu, untuk apa ekspansi yang dibiayai oleh dana masyarakat yang diperoleh melalui pasar modal? Jumlahnya ratusan miliar rupiah lagi. Jangan-jangan, dana itu dipakai untuk usaha lain, seperti yang dikhawatirkan oleh Dudung. Dan kehawatiran itu agaknya tak berlebihan. Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup, Herman Haeruman, menyampaikan keprihatinan yang sama. Ia melihat industri kehutanan akan terus menghadapi kesulitan dan ketidakpastian bahan baku, sementara HTI yang mereka bangun belum banyak yang jadi. Herman menduga, boleh jadi mereka memang ingin agar masyarakat mengambil oper perusahaannya. Benar tidaknya dugaan kedua ahli ekonomi kehutanan itu masih harus menunggu perkembangan dulu. Namun, tak ada salahnya kalau sekarang dikaji lebih jauh rencana industri Sumalindo yang memerlukan dana masyarakat itu. Melihat neraca keuangan per Agustus 1993 yang disertakan dalam prospektus, perusahaan milik kongsi Astra dengan Barito ini ternyata tak begitu berkilau kondisi keuangannya. Jumlah kewajiban jangka pendek yang harus segera dibayarnya mencapai Rp 6 miliar di atas total tagihannya. Ini berarti, Sumalindo mengalami kesulitan likuiditas. Tak heran jika empat bulan sebelum masuk bursa, para pemilik saham Sumalindo sepakat menyuntikkan Rp 108 miliar dana segar dalam bentuk penyertaan saham. Duit ini, kata Direktur Utama Sumalindo, Winarto Oetomo, dipakai untuk menutup utang-utang jangka pendek. Hasilnya, utang Sumalindo kempis, beban bunganya meluncur drastis. Dengan anjloknya beban rente, menurut Winarto, proyeksi laba tahun ini dapat dua kali lipat dari keuntungan tahun sebelumnya. Ini yang membuat Sumalindo jadi sangat menggiurkan. Begitu prospektifnya perusahaan ini, sampai-sampai empat jam setelah batas waktu penawaran saham ditutup pekan lalu, ada investor yang bersikeras mengambil oper formulir pemesanan yang sudah disetor -- tentu dengan sejumlah kompensasi. Rupanya, umpan Rp 108 miliar inilah yang berhasil menjala duit masyarakat sebanyak Rp 225 miliar. Dari dana masyarakat tersebut, 15% atau Rp 34 miliar akan dipakai untuk HTI. Sisanya sebesar Rp 191 miliar untuk men- dirikan dua pabrik MDF (medium density fibreboard, yakni panel dari serat kayu yang dipres dengan sejumlah bahan perekat) yang masing-masing menelan investasi Rp 120 miliar. Berarti, Sumalindo perlu dana Rp 240 miliar (2 x Rp 120 miliar) plus Rp 34 miliar menjadi Rp 274 miliar. Dengan demikian, alasan untuk masuk bursa tentu tak perlu diragukan. Tapi, jika dirinci lagi, muncul hal-hal yang mengejutkan. Dana yang dicadangkan untuk HTI, misalnya. Saat ini Sumalindo telah membangun 10.000 ha hutan tanaman dari 27.000 ha konsesi yang diberikan Departemen Kehutanan. Artinya, hanya diperlukan dana US$ 17 juta (Rp 34 miliar) lagi untuk membereskan HTI-nya. Tapi, karena proyek HTI biasanya merupakan kongsi bersama BUMN Kehutanan (Inhutani), tentulah pembiayaan HTI tak sepenuhnya harus ditanggung Sumalindo. Pemerintah akan memberikan penyertaan modal sebesar 14% dan pinjaman dana reboisasi tanpa bunga 32,5%. Jika Sumalindo, mengharamkan pinjaman bank, paling banyak ia memerlukan Rp 18 miliar untuk penanaman 17.000 ha HTI-nya. Itu pun kalau perhitungan biaya memakai standar pembangunan HTI US$ 1.000 per ha. Padahal, kata Dudung Darusman, harga patokan ini terlalu tinggi. Bahkan, menurut Dudung, dengan dana reboisasi dan penyertaan Pemerintah saja, "Sudah melebihi kebutuhan." Lalu, mengapa harus dialokasikan dana hingga Rp 34 miliar? Itu baru satu pertanyaan. Hal lain adalah perkara MDF. Menurut catatan, investasi dua perusahaan yang kini sedang membangun pabrik MDF, porsi biaya terbesar terletak pada ongkos impor mesin-mesin. Dalam data BKPM terlihat, alokasi untuk impor di atas 90% dari total investasi. Selebihnya dipakai buat pembebasan tanah dan konstruksi. Sedangkan pabrik MDF Sumalindo, menurut Winarto Oetomo, sudah mengimpor semua kebutuhan mesinnya. Dalam prospektus singkat disebutkan, barang modal itu diimpor dari Swedia dengan total harga Rp 50,8 miliar, yang akan dicicil pembayarannya dari akhir tahun ini hingga September 1995. Padahal, dana yang sudah dicadangkan untuk MDF sepanjang 1994 mencapai Rp 108 miliar. Lalu, ke mana selisih dana itu akan diposkan? Tentu bukan untuk pembebasan tanah dan konstruksi di Kalimantan Timur, yang mestinya tak terlalu mahal. Belum lagi kalau bicara prospek. Di dalam negeri, kecuali dua pabrik yang masih dalam tahap konstruksi itu, belum ada satu pun industri yang menghasilkan papan serat jenis ini. Tapi, di luar negeri, MDF sudah dibuat di mana-mana. Namun, Wardono Saleh, bekas Direktur Utama Perum Perhutani, tetap yakin bahwa prospek MDF bagus. Tapi ia menegaskan, produsen MDF harus berjuang keras merebut pasar, karena produk sejenis sudah lama dikenal oleh mereka. Namun, Winarto yakin, proyek MDF Sumalindo bakal menguntungkan. Setidaknya, ia melihat peluang pasar dalam negeri mulai ada dan terbuka. Terutama untuk menyuplai kebutuhan pabrik mebel yang selama ini mengimpor MDF. Selain MDF, perkara HTI-nya Sumalindo, Winarto mengungkapkan bahwa perusahaannya membangun hutan tanaman murni yang dibiayai sendiri. "Proyek HTI itu yang akan banyak menghabiskan uang hasil go public," katanya. Belum jelas, berapa luas HTI yang akan dibangun itu. Agaknya tak berlebihan kalau dikatakan bahwa sasaran yang ingin dicapai Sumalindo dengan masuk bursa itu jadi samar-samar. Kalau dipikir-pikir lagi, bukankah dengan suntikan Rp 108 miliar dari para pemegang saham, semestinya ia sudah dapat mulai membangun proyek HTI dan MDF-nya? Kini, apakah salah kalau dipertanyakan, buat apa likuiditas yang sedemikian encer dari pasar modal. Mudah-mudahan saja tidak dijadikan pengganti duit para pemegang saham (Rp 108 miliar) yang sudah berbaik hati menomboki utang, sebelum Sumalindo masuk bursa.Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum