Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNAH melakukan swasembada, bahkan ekspor pada 1984, kini Indonesia justru dirundung persoalan beras. Urusan komoditas pangan ini tak pernah beres. Dari ongkos produksi yang dinilai terlalu mahal, perbedaan angka panen, hingga penentuan perlu-tidaknya impor, yang menimbulkan kegaduhan. Menteri Pertanian Amran Sulaiman, misalnya, selalu berkeras bahwa pasokan beras dalam negeri aman. "Belum perlu impor," katanya saat ditemui dalam dua kesempatan berbeda di Kulon Progo dan Hotel Aston Yogyakarta kepada Pribadi Wicaksono dari Tempo, pekan lalu.
Berapa sebenarnya produktivitas sawah di Indonesia?
Ada kenaikan produktivitas sekitar 4,5 juta ton. Lebih bagus dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu 70 juta ton, saat ini menjadi 74,5 juta ton.
Bagaimana dengan program cetak sawah baru?
Rencananya tahun depan 200 ribu hektare. Sekarang kami cetak 20 ribu hektare di Irian Jaya (Papua) dan Sumatera. Memang ada kendala, seperti masih adanya alih fungsi lahan. Tapi sudah kami petakan dan persoalan akan kami selesaikan.
Presiden Joko Widodo pernah berjanji memperbanyak waduk irigasi. Bagaimana pelaksanaannya?
Bukan waduk, melainkan saluran irigasi tersier. Presiden memprogramkan 3 juta hektare selama tiga tahun. Tapi kami punya target menyelesaikannya dalam satu tahun. Rinciannya: 2,6 juta hektare lahan untuk irigasi tersier menggunakan dana APBN dan 400 ribu hektare dari Dana Alokasi Khusus.
Data produksi dan kebutuhan beras tak seragam antarinstansi pemerintah. Mengapa bisa terjadi?
Mungkin karena waktu dan tempat pengambilan data berbeda. Tapi patokan utama kami tetap BPS (Badan Pusat Statistik). Anggaran pun mengacu pada BPS. Kalau ada perbedaan perhitungan data produksi, itu kecil sekali.
Benarkah pemerintah meminta Bulog mengimpor 1 juta ton beras dari Vietnam?
Itu kan katanya, dan beras itu (untuk) cadangan. Cadangan tidak akan diturunkan jika pemain inti tidak cedera atau bermasalah. Cadangan impor beras dari Vietnam memang ada, tapi belum dikirim. Toh, di beberapa daerah sekarang sudah turun hujan. Harga beras di Cipinang juga turun, terakhir Rp 8.700 per kilogram untuk jenis medium. Pasokan ke Cipinang juga bertambah. Biasanya 2.500-3.000 ton, Senin lalu hingga 5.000 ton.
Kenapa ongkos produksi padi di Indonesia lebih mahal?
Biaya produksi kita sebenarnya mulai turun. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, nilai tukar petani meningkat. Kami setahun ini bekerja keras mengarahkan petani menuju pertanian modern. Salah satunya dengan menerapkan paket teknologi "alsintan" (alat mesin pertanian) secara merata. Itu terbukti bisa menekan biaya 20-40 persen. Lebih 800 ribu alat kami distribusikan.
Kenapa kita kalah bersaing dengan Thailand dan Vietnam?
Persoalan utamanya masih seputar cara swasembada. Ada beberapa hal yang mempengaruhi, seperti infrastruktur, biaya produksi, indeks pertanaman, rantai pasokan, dan kebijakan pengendalian impor itu sendiri. Itu sebabnya kami melakukan efisiensi untuk mempercepat swasembada. Hasil swasembada pangan terlihat dari beberapa indikator. Misalnya, tahun ini El Nino cukup dahsyat, tapi kita tak sampai mengimpor karena produktivitas petani tak terganggu. Tidak seperti 1998, yang harus mengimpor hingga 7,1 juta ton. Padahal indeks saat itu El Nino 1,9, sekarang mencapai 2,3. Dengan populasi 252 juta jiwa, Indonesia seharusnya sudah mengimpor 9 juta ton beras. Tapi buat apa dilakukan karena memang belum perlu impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo