KAWASAN bisnis Batam Center sepi senyap. Penghuninya, kebanyakan pengusaha Tionghoa, yakin pusat dagang di tengah Pulau Batam ini sudah tidak membawa hoki. Sang hoki diyakini ''pindah" ke Nagoya, kawasan bisnis yang dipercaya sebagai kepala naga pulau itu—tempat rezeki melimpah, kata yang percaya. Apalagi, awal Februari 2000 adalah awal tahun Naga Emas, yang ''ekornya" berada di Singapura. Investor negeri kepulauan di seberang Batam itu pun terus menggelontorkan duitnya ke Batam, berebut hoki di kepala sang naga.
Boleh jadi tahun 2000 adalah masa keemasan investasi bagi Batam. Bulan depan, Perdana Menteri Goh Chok Tong akan berkunjung ke Indonesia dengan membawa puluhan pengusaha Singapura untuk membalas kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid. Itu berarti sejumlah investasi siap masuk. Ketua Otorita Batam, Ismeth Abdullah, mengatakan, sampai September 1999, investasi yang sudah ditanamkan di Batam mencapai US$ 7 miliar, dan US$ 2,3 miliar di antaranya investasi asing. ''Dari investasi asing itu, 70 persennya berasal dari Singapura," kata Luhut Panjaitan, Duta Besar Indonesia untuk Singapura, dalam sebuah seminar.
Luhut yakin, investasi dari Singapura terus mengalir. Dengan lahan yang semakin cekak, banyak pengusaha Singapura yang harus memindahkan pabriknya ke kawasan lain. Saat ini, pilihannya hanya dua: Johor (Malaysia) dan Batam. Dalam soal tampung-menampung industri itu, negeri jiran Malaysia lebih siap. Antara Johor dan Singapura sudah dihubungkan dengan jembatan, bahkan tak lama lagi akan ada tambahan satu jembatan lagi. Malaysia sudah membenahi Johor sejak 1970 dan sejak semula kawasan itu diumumkan sebagai kawasan perdagangan bebas—dengan segala fasilitas penunjang industri yang mapan.
Batam juga dikembangkan sekitar 1970, tapi masih merupakan kawasan berikat (bounded zone) yang hanya memberikan fasilitas bebas pajak kepada perusahaan yang berorientasi ekspor. Batam kalah jauh dari Johor. Walaupun begitu, Indonesia sendiri tampaknya tak tinggal diam. Karena itu, mulai kuartal pertama 2000, Indonesia akan membuka pintu Batam, Karimun, dan Bintan lebar-lebar dan menjadikannya kawasan perdagangan bebas. Akses transportasi Batam-Singapura semakin mudah dengan empat pelabuhan penghubung yang ada. Sebentar lagi, Batam menambah satu lagi pelabuhan penyeberangan ke Singapura yang berjarak tempuh hanya sekitar 30 menit.
Iming-iming itu langsung disambar oleh para pengusaha Singapura. Luhut mengungkapkan, tahun depan setidaknya ada 30-40 perusahaan yang akan memindahkan pabriknya ke Batam—sebagian besar pengusaha mebel atau kayu. Kunjungan Goh ke Jakarta diduga akan memicu migrasi pengusaha Singapura lebih kencang. Apalagi, Batam sebenarnya masih punya keunggulan dibandingkan dengan Johor. Menurut Ismeth, harga tanah di Batam lebih murah ketimbang di Johor. ''Dari harga tanah saja, margin keuntungan pengusaha bisa naik tiga kali lipat, apalagi kalau ditambah dengan faktor produksi lain yang juga murah seperti air dan listrik," katanya.
Sejak diserbu investor, Batam tumbuh pesat. Ekonomi rata-rata mekar sampai 15 persen setahun, jauh di atas pertumbuhan Indonesia. Kemudahan pajak serta perampingan izin dan birokrasi membuat industri melaju kencang di ''pulau keppres" itu—saking banyaknya keputusan presiden dilahirkan untuk Batam. Selain itu, fasilitas yang dibangun pemerintah di sana sangat luar biasa, mulai Bandar Udara Hang Nadim yang termodern di Indonesia, enam jembatan yang menyatukan Batam dan pulau-pulau di sekitarnya, sampai pelabuhan laut yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Sedikitnya pemerintah mengucurkan investasi US$ 1,6 miliar di Batam sejak 1971.
Investasi swasta pun berkembang luar biasa. Industri manufaktur tumbuh dengan cepat, dari yang padat karya seperti tekstil sampai industri berbasis modal yang kuat seperti elektronik. Industri jasa pun ikut bertebaran, diikuti bisnis hiburan, hotel-hotel baru, dan lapangan golf. Saat ini, ada enam lapangan golf bertaraf internasional di Batam. Tak aneh jika Batam hidup terus selama 24 jam, tak ubahnya seperti Jakarta atau Singapura.
Ketika krisis menghantam, mulanya kawasan pulau 715 kilometer persegi itu seperti tak terusik. Tatkala ekonomi Indonesia minus 14 persen pada 1998, Batam masih tumbuh 1,7 persen. Menurut ekonom Universitas Riau, Isyandi, melambatnya pertumbuhan ekonomi Batam bukanlah karena krisis di Indonesia, tapi lebih karena krisis regional, terutama pengaruh menurunnya permintaan dari Singapura dan Malaysia. Persaingan yang ketat dengan Johor pun membuat investasi ke Batam melambat.
Ibarat mobil kencang yang direm mendadak, Batam pun macet. Sektor jasa dan perdagangan yang paling kena imbasnya. Pusat-pusat perbelanjaan yang biasanya ramai mendadak lengang. ''Omzet turun sampai 30 persen dibandingkan dengan sebelum krisis," kata Asmar Abnur, pengusaha eceran di Batam. Bisnis properti dan perumahan pun hancur lebur. Rumah kelas menengah ke atas yang banyak dibangun di sana pada pertengahan 1990-an banyak yang mangkrak karena tak ada yang membeli. Pariwisata yang biasanya tegar juga ikut-ikutan ambruk. Hotel-hotel ikut sepi. Tingkat hunian hotel berbintang amblas sampai 40 persen.
Pendapatan per kapita penduduk Batam anjlok dari US$ 4.200 menjadi tinggal US$ 1.500. Walau jauh di atas wilayah Indonesia lainnya, itu pil pahit untuk Batam. Banyak pengusaha yang tak tahan melihat ''kehancuran" itu. ''Sampai ada yang bunuh diri segala," kata pengusaha Batam, Sulaeman Sumawisastra. Kehidupan masyarakat bawah jatuh terbanting. ''Dulu tak ada pengemis. Sekarang lihat," ujarnya sambil menyibak gorden di kantornya yang nyaman dan dingin di kawasan Nagoya: sekelompok pengemis terlihat lalu-lalang.
Krisis bukan satu-satunya penyebab macetnya Batam. Wilayah itu terlalu padat dijejali ratusan ribu tenaga kerja dari Riau daratan, Tapanuli, bahkan Flores. Pada awal 1970-an penduduknya cuma 6.000 orang, sedangkan sekarang diperkirakan sudah mencapai 400 ribu orang. Dalam 10 tahun terakhir, penduduknya tumbuh rata-rata 12 persen setahun—bandingkan dengan pertumbuhan penduduk nasional, yang tak sampai 2 persen. Setelah krisis datang, jumlah pendatang makin menggila. ''Tiap minggu, ribuan orang datang ke sini," kata Sulaeman. Padahal, dengan fasilitas yang ada sekarang, Batam hanya mampu menopang kehidupan sekitar 150 ribu penduduk.
Ditampung di mana yang lain? Inilah yang sekarang membuat Pemerintah Daerah Batam dan Otoritas Batam mabuk kepayang: rumah liar tumbuh di mana-mana. Menurut hitungan Pemda Batam, saat ini diperkirakan ada 30 ribu rumah liar di sana, terutama di sekitar kawasan industri. Perlambatan pertumbuhan ekonomi membuat tak banyak usaha baru yang dibuka. Larilah mereka ke sektor informal. Pedagang kaki lima menjamur. Pemda Batam bersama Otoritas Batam bahkan harus menyediakan lima tambahan pasar untuk menampung mereka. Dan jangan kaget, ''Kriminalitas juga meningkat akhir-akhir ini," kata Isyandi.
Tapi, syukurlah, keadaan membaik di Batam. Hotel-hotel sudah mulai ''hidup". Asap cerobong pabrik-pabrik mulai mengepul. Para petinggi Batam pun kembali optimistis. Tahun depan, tingkat pertumbuhan ekonomi Batam diperkirakan 2-3 persen. Angka ini akan makin tinggi jika investasi asing masuk lebih deras.
Bahkan, dalam lima tahun ke depan, Batam ditaksir akan menyerap investasi asing sebesar US$ 15 miliar, tiga kali lipat dari yang sekarang. Jika benar sang kepala naga ada di Batam, dan rezeki industri limpah-ruah di sana, mungkin pulau itu akan menjadi semacam oasis di antara padang tandus Indonesia.
M. Taufiqurohman dan Agus S. Riyanto (Batam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini