Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kalau Tak Bayar, Itu Lain Soal

Adnan Buyung beranggapan, ''penyimpangan" kredit preshipment oleh Texmaco sebagai hal yang wajar. Setelah Laksamana, kini Soedradjad Djiwandono jadi sasaran.


2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adnan Buyung Nasution tak ragu-ragu meluncurkan sebuah ''teori" tentang kredit preshipment yang diterima kliennya, Marimutu Sinivasan. Menurut pengacara senior ini, mau dipakai untuk apa saja modal ekspor yang diterima Sinivasan, asal ujungnya menghasilkan barang yang bisa diekspor, tak jadi soal. Pernyataan itu disampaikan Buyung saat menengok Sinivasan, yang diperiksa sebagai terdakwa dalam kasus penyelewengan kredit senilai Rp 9,8 triliun, di Kejaksaan Agung, Senin lalu.

Menurut Buyung, tindakan bos Grup Texmaco ini—yang dikategorikan sebagai tindak penyelewengan oleh Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, Laksamana Sukardi—serta-merta jadi halal hukumnya. Di depan Komisi IX DPR, Buyung menuding Laksamana Sukardi, yang dulunya adalah bankir, bingung membedakan preshipment loan dengan preshipment trading dan industri.

Buyung sendiri tampaknya tidak bingung. Katanya, kredit untuk preshipment industri seperti yang diberikan pada Sinivasan tidak harus dipakai untuk modal ekspor saja. Kredit itu diberikan untuk seluruh proses industri, misalnya membangun perusahaan di negara lain atau bisa juga utang jangka pendek Texmaco di luar negeri. Atau untuk membeli pabrik. Soal tak bisa bayar, itu lain lagi. ''Sinivasan sebenarnya bisa membayar jika tidak ada krisis moneter," Buyung menandaskan.

Sampai di sini, yang patut dipertanyakan ialah bagaimana mungkin Buyung menyederhanakan masalahnya seperti itu. Ditambah lagi dengan melempar balik kesalahan kepada Laksamana Sukardi, yang sebenarnya bukan ''menggugat" Texmaco, tapi membongkar kredit macet Bank BNI. Selaku Menteri Negara Pembinaan BUMN, yang dilakukannya itu memang berada dalam wilayah kewenangannya.

Adapun kasus Texmaco lain lagi kerumitannya. Perusahaan ini sejak mula sudah terancam default alias dinyatakan tak lagi mampu membayar utang. Namun, dengan disposisi dari Soeharto, Texmaco malah mendapat kucuran utang baru. Parahnya lagi, duit yang diambil dari celengan negara ini dipakai Texmaco untuk membayar utang jangka pendeknya dengan perusahaan mancanegara. Lalu, ketika Texmaco menyerah tak mampu membayar kredit ekspor tadi, batas pelunasannya malah diperpanjang Bank Indonesia. Sikap murah hati seperti ini jelas-jelas menyalahi asas kehati-hatian bank yang seharusnya dipatuhi, kendati oleh bank BUMN.

Dalam pemeriksaan Senin lalu dilakukan cek silang antara keterangan para saksi: Soedradjad Djiwandono (mantan Gubernur BI), Widigdo Sukarman (Dirut Bank BNI), Kodradi (Dirut Bank Exim), dan Djoko Santoso Moeljono (Dirut BRI) dengan keterangan tersangka Sinivasan. Soal pelanggaran batas maksimum pemberian kredit di BNI akibat kredit yang dikucurkan untuk Texmaco, tampaknya Sinivasan mau cuci tangan. Kata Buyung, cairnya utang itu bukan salah Texmaco karena BI sendiri sudah memberi paraf.

Soedradjad Djiwandono, yang menjabat gubernur BI saat skandal ini terjadi, kontan terimbas. Kejaksaan Agung, yang sudah tiga kali memanggil Soedradjad sebagai saksi, tampaknya lebih suka melirik disposisi BI daripada surat Sinivasan ke Soeharto. ''Disposisi itu konsentrasinya bukan pada dia (Sinivasan), justru ke Gubernur BI (Soedradjad)," kata Kepala Bagian Humas Kejaksaan Agung, Raden Jonggi Soehandojo.

Setelah Laksamana dikecam, kini serangan berembus ke Soedradjad. Hamdan Zoelva, anggota DPR dari Partai Bulan Bintang, telah meniupnya. Seperti dikutip harian Republika Senin lalu, Hamdan menyebut langkah Jaksa Agung yang menyidik Sinivasan sebagai kesalahan. Soedradjad selaku gubernur BI waktu itulah yang paling bertanggung jawab karena mengucurkan kredit yang ujungnya bermasalah.

''Mengapa yang dipersalahkan yang memberi, bukan yang memakai uang itu?" kilah Soedradjad. Ahli moneter ini menyatakan bahwa tindakannya itu—menuruti disposisi Soeharto dan melicinkan kredit bagi Texmaco—dilakukan di bawah situasi politik yang penuh tekanan. Jika Texmaco mengemplang utang, mengapa pengusaha lain yang mendapat fasilitas sama sudah mampu mengembalikan, begitu ia mempersoalkan.

Soedradjad, yang menantu begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini, tampak sangat menyadari bahwa sekarang ''tembakan" dibidikkan kepadanya. Dia paham bahwa sulit menandingi Sinivasan, yang menggunakan media blitz dari berbagai penjuru. Namun, Soedradjad yakin, ''Orang lari itu tak hanya seratus meter tetapi maraton 42,5 kilometer. Semua menggebu-gebu seperti akan menang. Tetapi menang di tengah jalan belum tentu menang di etape terakhir." Jadi, lihat saja nanti.

Agung Rulianto, Henriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum