Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah tengah menempuh upaya diplomasi agar Uni Eropa mengurungkan rencananya.
Uni Eropa telah merampungkan proses konsultasi rencana retaliasi.
Tindakan balasan Uni Eropa dapat mengancam ekspor produk kelapa sawit.
NUSA DUA – Pemerintah tak gentar menghadapi reaksi Uni Eropa yang berang atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Organisasi yang terdiri atas 27 negara ini tengah mempertimbangkan retaliasi atau tindakan balasan buat Indonesia.
Setelah kalah dalam sengketa larangan ekspor bijih nikel di tingkat panel Dispute Settlement Body World Trade Organization (WTO), pada 30 November 2022, Indonesia tak mundur. Pemerintah mengajukan banding kepada Appellate Body atau Badan Banding WTO pada 8 Desember 2022.
Uni Eropa yang tak terima dengan sikap Indonesia tersebut menyiapkan Enforcement Regulation—kebijakan untuk menghadapi pelanggaran aturan dagang oleh negara lain. Kebijakan tersebut memungkinkan Uni Eropa mangkir dari atau membatalkan perjanjian dagang yang sudah disepakati.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyayangkan langkah Uni Eropa yang berencana menerapkan Enforcement Regulation. Dia menyebutnya sebagai tindakan retaliasi secara sepihak. "Tindakan retaliasi secara sepihak tidak sesuai dengan aturan WTO dan ilegal," tuturnya kepada Tempo, kemarin. Tindakan balasan yang sah harus mendapat persetujuan dari Badan Penyelesaian Sengketa WTO.
Saat ini pemerintah Indonesia tengah menempuh upaya diplomasi agar Uni Eropa mengurungkan rencananya. "Apabila pada akhirnya Uni Eropa menerapkan retaliasi secara sepihak, Indonesia siap mengambil langkah-langkah terukur guna mengamankan kepentingan nasional," kata Zulkifli. Gugatan balik ke WTO hingga penerapan tindakan balasan serupa jadi opsi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. TEMPO/M Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Agung Krisdiyanto, menyatakan kepentingan Indonesia saat ini adalah memastikan program penghiliran nikel terus berjalan. "Arahan Presiden sudah jelas, hilirisasi tidak boleh terganggu oleh apa pun, jalan terus," tuturnya. Peningkatan nilai tambah nikel penting untuk menjaga pasokan komoditas tersebut sekaligus menumbuhkan ekonomi di dalam negeri, antara lain, lewat pengembangan industri.
Uni Eropa Sudah Selesai Melakukan Konsultasi
Komisi Uni Eropa menggelar konsultasi dengan para anggotanya untuk menerapkan Enforcement Regulation terhadap Indonesia sejak 7 Juli lalu. Menteri Zulkifli menyebutkan, per 1 September lalu, prosesnya sudah rampung. Peraturan pelaksana rencana retaliasi tengah dalam tahap penyusunan.
Situs web Uni Eropa menyebutkan keputusan penerapan tindakan balasan untuk Indonesia akan diambil pada musim gugur mendatang, yang berarti dimulai sekitar akhir September. Bentuknya berupa pengenaan bea masuk atau pembatasan kuantitas impor dan ekspor barang.
Menurut Deputi Wakil Tetap Perutusan Tetap RI di Jenewa, Dandy Satria Iswara, proses retaliasi butuh waktu panjang. Sebelum diterapkan, kedua pihak yang bersengketa harus menyelesaikan proses di pengadilan, dari panel WTO, banding, hingga kepatuhan. "Baru kalau itu semua belum menemukan kata sepakat, atau kedua pihak belum menemukan solusinya, satu pihak bisa melakukan retaliasi,” ucapnya.
Sementara itu, saat ini sengketa larangan ekspor bijih nikel dengan Uni Eropa masih dalam proses litigasi di WTO. Permintaan banding Indonesia belum diproses oleh Badan Banding WTO yang sedang vakum. Amerika Serikat, yang terus memblokade pemilihan anggota baru, membuat badan ini tak kunjung berfungsi.
Kondisi tersebut membuat keputusan panel WTO dalam sengketa larangan ekspor bijih nikel belum mengikat dan berkekuatan hukum tetap. Indonesia belum wajib mengubah regulasi apa pun. Zulkifli berharap Uni Eropa menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Badan Banding WTO. "Dan tidak mengambil langkah sepihak yang melanggar perjanjian WTO yang justru dapat merugikan hubungan dagang kedua negara lebih jauh," katanya.
Mengancam Industri Sawit
Petani memanen buah sawit di kebunnya di Desa Tibo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, 10 September 2023. ANTARA/Mohamad Hamzah
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, memperkirakan kebijakan retaliasi Uni Eropa terhadap Indonesia berpotensi berdampak pada industri kelapa sawit. "Komoditas ekspor yang besar ke Uni Eropa adalah produk kelapa sawit," tuturnya. Dia memprediksi tantangan untuk menjual produk kelapa sawit ke kawasan tersebut makin berat. Konsekuensinya makin besar jika negara lain mengikuti kebijakan Uni Eropa.
Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi dampak tersebut, khususnya terhadap petani sawit. Selain mengandalkan upaya negosiasi untuk mengurungkan tindakan balasan, perlu ada antisipasi, misalnya dengan mempersiapkan pasar baru buat ekspor produk kelapa sawit.
Menurut Tauhid, sengketa ini sebenarnya bisa diredam jika Uni Eropa tak hanya beraksi lewat gugatan di WTO. Dampak kerugian yang diklaim organisasi tersebut terhadap anggotanya bisa diminimalkan jika mereka berpartisipasi dalam penghiliran nikel di Indonesia. "Uni Eropa juga harus membangun industri di sini," katanya.
VINDRY FLORENTIN | EFRI RITONGA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo