PIDATO Presiden Soeharto yang dikumandangkan ke seluruh Indonesia, 16 Agustus lalu, tampaknya memperoleh perhatian cukup besar dari kalangan pengusaha. Maklum, dalam separuh dari pidato tersebut, Presiden telah mengutarakan garis besar strategi pembangunan ekonomi Indonesia untuk 25 tahun mendatang. Lebih dikenal sebagai Pembangunan Jangka Panjang Tahap II, masa itu akan dikenal sebagai era industrialisasi bagi Indonesia. ''Sejak tahun '91 sampai sekarang andil sektor industri dalam produksi nasional telah melampaui sektor pertanian,'' kata Presiden. Memang, sektor industri telah tumbuh sangat cepat selama 4 tahun terakhir. Tiap tahun, rata- rata pertumbuhannya mencapai lebih dari 10%. Yang juga menonjol adalah daya saing produk kita bertambah kuat. Kemampuan rekayasa dan rancang bangun makin dikuasai. ''Semua itu menunjukkan bahwa kita sudah siap masuk ke tahap pendalaman dan penguatan struktur industri dalam proses industrialisasi selanjutnya,'' kata Soeharto. Presiden menambahkan bahwa untuk mempertahankan daya saing yang tinggi, maka deregulasi perlu dilanjutkan agar proses industrialisasi tidak terhambat. ''Proteksi terhadap industri hulu perlu dihapuskan, karena perlindungan tersebut mengakibatkan biaya tinggi bagi industri hilir yang merupakan ujung tombak ekspor nonmigas kita,'' begitulah Presiden menegaskan. Ditambahkannya juga bahwa ''Industri yang menggantungkan diri pada subsidi dan proteksi harus dihindari.'' Pesan ini barangkali merupakan kritik secara tidak langsung kepada para industriwan kita. Bukan rahasia memang bahwa masih banyak perusahaan industri di Indonesia, baik milik pemerintah ataupun swasta, yang diproteksi pemerintah. Begitu pula yang namanya subsidi, masih berlaku bagi mereka. Produk dari suatu BUMN dijual ke BUMN lain, tentulah dengan harga subsidi. Banyak perusahaan milik konglomerat, menurut Laporan Bank Dunia di sidang CGI (Consultative Group for Indonesia) bulan lalu, biasa menikmati subsidi bunga bank konglomerat. Bukan rahasia juga bahwa anak-anak perusahaan konglomerat menjual produknya dengan menikmati subsidi harga dari perusahaan- perusahaan satu grup. Dan secara mikro, perusahaan-perusahaan konglomerat akan terus berkembang pesat. Sasaran dari proteksi dan subsidi, siapa lagi kalau bukan masyarakat konsumen. Merekalah yang harus memikul beban harga yang tinggi. Tak mengherankan jika banyak industri di Indonesia dijuluki ''jago kandang'' atau hanya bisa memasarkan produknya di dalam negeri. Maksudnya, mereka bisa tumbuh dan bertahan hanya karena berlindung di balik benteng larangan atau pembatasan impor ataupun pengenaan bea masuk yang tinggi atas produk sejenis. Kepala Negara sebenarnya telah menegaskan rambu-rambu apa yang patut dikibarkan untuk mengamankan roda-roda industri Indonesia. ''Kita harus berhati-hati dalam memilih industri yang akan kita kembangkan. Industri-industri tersebut harus hemat dalam pemanfaatan sumber alam dan energi, harus menggunakan teknologi yang efisien, dan ... tidak membahayakan kelestarian lingkungan hidup kita sendiri.'' Dari pidato tersebut terkesan kuat bahwa pemerintah akan terus meluncurkan paket-paket deregulasi, antara lain dalam tata niaga. Padahal, ada kebijakan deregulasi yang bertentangan dengan tujuan mengurangi proteksi. ''Deregulasi otomotif merupakan anti-klimaks dari deregulasi yang didengung-dengungkan pemerintah selama ini,'' begitulah pendapat Dr. Sjahrir, pengamat ekonomi dari Yayasan Padi & Kapas. Masyarakat yang sudah dua tahun berharap bisa membeli mobil lebih murah, atau bisa mengimpor mobil dari luar negeri dengan harga lebih murah, ternyata harus kecele. Sekalipun ada deregulasi yang semu semacam itu, pernyataan Presiden kali ini tampaknya akan segera ditindaklanjuti oleh Kabinet. Walaupun demikian, kurang realistis untuk menmgharapkan agar semua benteng proteksi serta subsidi bisa dibabat sekaligus tahun ini juga. Ketika ditanyakan sudah sejauh mana persiapan pemerintah untuk itu, Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo juga belum bisa memberi jawaban secara spesifik. ''Tapi, saya sudah tugaskan suatu tim dari Departemen Perindustrian untuk mempelajari masalah itu. Mereka yang akan menyusun program penghapusan proteksi bagi industri hulu,'' ujar Menteri Tungky. Ia menjelaskan bahwa untuk tahap pertama, tim itu akan menyusun defisini industri mana saja yang masuk kriteria industri hulu. Dan untuk sementara, Departemen Perindustrian menetapkan, industri hulu berada di sektor kimia dan logam. Dari situ Departemen Perindustrian akan melihat proteksi macam apa yang selama ini mereka nikmati dan sudah berapa lama berlangsung. Selain itu, Departemen Perindustrian juga akan melihat pasar permintaan dan penawaran dari setiap sektor industri hulu. ''Jadi, penghapusan proteksi itu nantinya tak akan dipukul rata, tapi melihat kondisi setiap sektor,'' kata Menteri Perindustrian. Kalau begitu, kelak mungkin kebijakan Departemen Perindustrian masih akan tetap pilih kasih atau kurang tegas menghadapi keluhan pengusaha. Terhadap kemungkinan ini, bagaimana pendapat penguasa? ''Saya setuju dengan rencana penghapusan proteksi terhadap industri hulu. Toh yang dimaksudkan Presiden bukan pembabatan mendadak, melainkan bertahap. Makanya, harus ada skala prioritas sektor hulu mana saja yang pelan-pelan dihilangkan proteksinya,'' ujar Tanri Abeng, Presiden Direktur PT Bakrie & Brothers. Diakuinya, sektor industri baja dan kimia yang dilindungi merupakan profit centre perusahaan-perusahaan, termasuk Bakrie Brothers. Namun, ia berpendapat sudah waktunya para pengusaha industri juga bersiap-siap menerima pengguntingan proteksi. ''Kalau AFTA (perjanjian perdagangan bebas kawasan ASEAN) diterapkan, kita sudah harus siap,'' katanya. Direktur Tehnik PT Toyota Astra Motor, Adirizal, mengusulkan agar pemerintah sejak dini menegaskan kepada industri hulu, berapa tahun proteksi yang bisa diberikan. ''Misalnya lima tahun saja, sesudah itu sudah harus siap bersaing. Dengan demikian, perusahaan juga bisa menyusun strategi yang diperhitungkan matang,'' kata Adirizal. Soetoro Mangoensoewarto, yang baru sebulan menjabat Dirut PT Krakatau Steel, menyatakan tanpa ragu bahwa perusahaan yang sudah lama diproteksi, sudah waktunya siap bersaing. ''Mulanya hampir semua investasi industri dilindungi. Tapi sekarang semua sudah kuat, sehingga proteksi secara perlahan harus diambil,'' katanya mantap. Pemangkasan benteng proteksi ini penting untuk menciptakan produk yang daya saingnya kuat. ''Saat ini pemerintah menghendaki pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%. Untuk itu diperlukan dorongan perkembangan industri hilir yang akan menyerap banyak tenaga kerja, serta perolehan nilai tambah,'' kata Soetoro kepada R. Indra dari TEMPO. Ia mengakui bahwa kalau industri hilir berkembang, maka industri hulu juga akan bertambah kuat. ''Pemerintah cukup bijaksana dan Krakatau Steel sudah siap-siap menghadapi masalah itu,'' ujarnya. Namun, Krakatau Steel tampaknya juga harus siap memenuhi kebutuhan perusahaan-perusahaan di hilir. Misalnya kebutuhan baja dalam industri mobil. Menurut Adirizal dari PT Toyota Astra Motor, produksi PT Krakatau Steel cuma dalam satu ukuran standar, sehingga harus dipotong sekitar 5 cm. ''Kalau kita pesan dari luar negeri, bisa memperoleh ukuran sesuai dengan permintaan,'' katanya. Satu hal yang juga perlu dicatat dari garis kebijaksanaan pidato Presiden ialah pentingnya pertanian. Kendati ekonomi Indonesia akhirnya kelak mencapai kelas industri, kita tak boleh dan tak bisa berpaling begitu saja dari sektor pertanian. Pesan ini sungguh penting. Apalagi bagi Indonesia yang pada tahun 2000 akan berpenduduk 200 juta jiwa maka pasok kebutuhan pangan dan bidang pertanian yang menunjangnya adalah mutlak dan tak bisa ditawar-tawar. Max Wangkar, Wahyu Muryadi, Bina Bektiakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini