JIKA ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5-6% per tahun, pada tahun 2020, pendapatan perkapita Indonesia hanya sekitar US$ 2.500. Artinya, kita baru akan menyamai pendapatan perkapita Malaysia dalam 27 tahun yang akan datang. Pada tahun 2020 Singapura akan mempunyai pendapatan perkapita sekitar US$ 60.000, Malaysia dan Thailand sekitar US$ 10.000. Mungkin kita bisa mengejar Malaysia dan Thailand pada tahun 2020-an? Sudah tentu bisa. Asalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai double digit (di atas 10%) dalam kurun waktu yang cukup panjang. Target tersebut bisa dicapai jika pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih efisien dan sekaligus lebih adil. Bagian atas dari piramida ekonomi Indonesia masih belum efisien karena mendapatkan berbagai macam kemudahan (kredit bunga murah tahun 1970-an, proteksi tarif dan non-tarif). Ketidakefisienan bagian atas piramida tersebut mengakibatkan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia sangat tinggi dan daya serap tenaga kerja ekonomi Indonesia kecil. Penghapusan berbagai macam kemudahan dan proteksi terhadap bagian atas piramida ekonomi Indonesia akan membantu menurunkan ICOR, sekaligus meningkatkan kesempatan kerja dan mendorong penggunaan input dalam negeri yang lebih besar dalam proses produksi. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi double digit harus ada peningkatan efisiensi alokasi investasi dan pembiayaan. Dengan diferensiasi insentif ekonomis, alokasi investasi bisa diarahkan untuk menunjang pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang mempunyai kaitan ekonomis dan nilai tambah yang tinggi. Alokasi pembiayaan harus didorong agar mendukung perkembangan sektor-sektor produktif, terutama untuk tujuan ekspor. Selama tiga bulan terakhir, akibat ekses likuiditas dalam sistem perbankan Indonesia, kelonggaran yang diberikan oleh PAKMEI 1993, terjadi peningkatan arus dana ke pasar asset yang sifatnya spekulatif, seperti sektor real estate dan pasar modal. Sedangkan arus dana ke sektor produktif sangat minim. Gejala misalokasi arus dana ke pasar aset yang spekulatif tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa deregulasi sektor riel tidak memadai. Misalokasi seperti ini harus dihindari jika kita ingin mencapai pertumbuhan ekonomi double digit. Jika kita analisa pertumbuhan ekonomi tahun 1992 sampai dengan kuartal ke-2 tahun 1993, tampak jelas sektor ekspor merupakan lokomotif penting pertumbuhan ekonomi. Di tengah kelesuan pasar dalam negeri, sektor ekspor tumbuh sangat tinggi. Pertumbuhan sektor ekspor yang tinggi tersebut merupakan dampak lebih lanjut dari realokasi industri PMA dan ekspansi produksi PMDN pada akhir tahun 1980-an. Tapi seperti diketahui, belakangan ini terjadi penurunan investasi PMA maupun PMDN. Penurunan investasi PMA terutama disebabkan oleh munculnya saingan-saingan baru seperti Cina, Vietnam, dan lain-lain. Sedangkan penurunan investasi PMDN lebih banyak disebabkan oleh ekspansi kredit yang rendah dan misalokasi pembiayaan ke pasar asset yang spekulatif. Diperlukan langkah-langkah debirokratisasi lebih lanjut untuk menarik kembali PMA. Suatu hal yang sangat dimungkinkan oleh adanya peluang realokasi akibat apresiasi yen saat ini. Untuk mendorong investasi produktif PMDN harus diambil langkah-langkah supaya misalokasi pembiayaan tidak terus berlanjut. Pembiayaan sektor ekspor selama ini banyak didukung oleh bank asing dan campuran, yang memang diwajibkan untuk mengalokasikan 50% kreditnya ke sektor ekspor. Dengan beberapa pengecualian, peranan bank swasta nasional untuk membiayai sektor ekspor masih sangat mengecewakan. Sudah waktunya peranan bank swasta nasional dalam pembiayaan ekspor ditingkatkan melalui paket kebijaksanaan perbankan. Dengan cara demikian, alokasi pembiayaan akan bergeser ke sektor-sektor produktif, terutama untuk tujuan ekspor. Struktur industri kita yang masih shallow (belum dalam) dan belum seimbang merupakan salah satu penyebab utama mengapa ekonomi Indonesia sulit untuk tumbuh di atas 7% tanpa mengalami masalah over-heating. Dalam PJPT II ini sudah waktunya pemerintah mempunyai industrial policy yang rasional dan efisien terutama untuk sub-sektor industri SITC 67 s/d 81, yang menyangkut berbagai jenis industri rekayasa, komponen, dan barang modal. Investasi untuk industri-industri tersebut memang relatif besar. Studi-studi mikro menunjukkan, untuk beberapa subsektor industri rekayasa dan komponen, Indonesia bisa kompetitif asalkan tidak terjadi mark up biaya investasinya. Sudah menjadi kebiasaan, baik BUMN maupun swasta, untuk melakukan mark up biaya modal suatu proyek. Pejabat BUMN melakukannya untuk mendapatkan komisi, seperti dalam kasus Kartika Tahir pada saat pembangunan Krakatau Steel. Sektor swasta melakukan mark up biaya investasi untuk mendapatkan kredit yang lebih besar dari bank, terutama bank pemerintah sehingga modal sebenarnya (equity) menjadi sangat kecil. Tidak aneh kemudian jika debt equity ratio swasta Indonesia sangat tinggi sehingga mudah guncang jika terjadi gejolak ekonomi. Kebiasaan mark up tersebut merupakan cara pengusaha untuk ''menikmati'' untung sebelum proyek dilaksanakan. Akibatnya, masa pengembalian investasi menjadi lebih lama dan membuat produksinya hanya kompetitif jika diberikan proteksi. Kebiasaan mark up tersebut sering menjadi penyebab utama dari inefisiensi industri barang modal. Kebiasaan itu juga merugikan negara karena hilangnya potensi pajak pendapatan maupun nilai tambah. Untuk mengurangi kebiasaan ini, transparansi pembiayaan sangat diperlukan. Jelas terlihat banyak hal yang bisa dilakukan agar ekonomi kita bisa tumbuh double-digit. Hanya dengan tumbuh tinggi, baru kita bisa mengejar Malaysia tahun 2020-an. Jika itu terjadi, tidak akan ada lagi arus pekerja gelap Indonesia ke Malaysia dan kita baru bisa bangga sebagai bangsa besar di Asia. *) Penulis adalah manajer Econit Advisory Group
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini