BARANG busuk, serapat apa pun disimpan, akhirnya tercium juga. Pepatah lama ini terbukti di Pengadilan Negeri Kebumen, Jawa Tengah. Walau telah lima tahun tak ada yang tahu bahwa Mursodo menghabisi Parsino, akhirnya peristiwa itu tersibak juga. Kamis pekan lalu, Mursodo divonis 6 tahun penjara. Alasan lelaki berusia 38 tahun itu membunuh lantaran jengkel utangnya tidak dibayar. ''Anak saya sampai mogok tidak mau sekolah karena SPP-nya tidak bisa saya bayar,'' kata lulusan sekolah dasar itu. Duda cerai yang beranak empat itu, waktu itu, juga pusing memikirkan periuk nasinya. Parsino, 26 tahun, adalah tukang mereparasi jam, sedangkan Mursodo sebagai pemasok arloji bekas. Hubungan mereka, setelah kenal dua tahun, baik-baik saja. Belakangan, menurut Mursodo, Parsino berutang kepadanya Rp 50.000, tapi tak juga mau mengembalikan. Jika ditagih, ia selalu berdalih. Ada saja alasannya. Pada 11 Juli 1988, niat Mursodo untuk melenyapkan korban pun dilaksanakan. Sebuah rencana disusun, termasuk menyiapkan minuman anggur Malaga dicampur apotas. Siang itu, Parsino diajak ke rumah kos Mursodo. Pemilik rumah, Nyonya Rasiyem, janda tua, sedang di Bandung menengok anaknya. Ajakan itu disetujui Parsino. Dengan berboncengan sepeda milik korban, mereka pun berangkat. Di rumah, Mursodo langsung ke pokok soal: menagih utangnya. Tapi, menurut Mursodo, kembali Parsino mengumbar janji. Maka, tak ada pilihan lain kecuali menyuguhkan anggur beracun yang sudah disiapkannya. Baru minum beberapa teguk, Parsino mengaku pusing. ''Sudah, tiduran dulu,'' kata Mursodo. Parsino tidur di amben bambu. Selagi Parsino tidur itulah, kepalanya dihajar dengan gagang pacul yang sudah disediakannya. Setelah Parsino tewas, buru-buru Mursodo menggali tanah di depan tungku dapur, lebar 60 cm dan dalamnya 80 cm. Kemudian, kalung emas 3 gram, arloji, baju, dan celana korban dilucutinya. Hanya celana dalam Sony yang disisakan di tubuh korban. Begitu beres, mayat itu dikuburkan dalam posisi meringkuk. Tiga hari kemudian, mayat itu membusuk. Lalu Mursodo membeli sekarung sekam padi. Tetangganya bertanya, kok beli sekam sebanyak itu. Mursodo menjawab enteng, ''Untuk menghindari rumah dari rayap.'' Padahal, abu sekam itu dipakai untuk meredam bau di sekitar kubur Parsino. Istri korban, Umiyati, bertanya kepadanya ke mana Parsino pergi, tapi dijawab tidak tahu. Namun, Umi menduga bahwa Mursodo mengetahui kepergian suaminya karena seorang sesama tukang arloji mengatakan hari itu Parsino pergi bersama Mursodo. Dengan bermodal Rp 124.000 dari hasil penjualan barang korban, termasuk sepedanya, Mursodo kabur ke Lampung. Bekalnya surat pindah dari desanya, Desa Ori, Kebumen. Ia pergi tanpa pamit ke tetangga, bekas istrinya, dan empat anaknya. Januari lampau, ketika lantai dapur rumah Rasiyem akan ditegel, tukang batu menemukan kerangka manusia bercelana dalam Sony. Desa Ori geger. Umiyati, yang melihat tengkorak itu, sangat yakin bahwa korban adalah suaminya. Gingsul di mulut korban adalah ciri yang tak bisa dilupakannya. ''Gigi Kang Parsino memang gingsul di sebelah kanan,'' kata Umi. Atas dasar penemuan kerangka itu, polisi Lampung dikontak. Di sana Mursodo, yang menjadi buruh dan telah menikah lagi serta memperoleh keturunan seorang anak, tanpa berbelit-belit mengakui perbuatannya. Bahkan ia mengaku kepada Moch. Faried Cahyono dari TEMPO sejak pembunuhan itu, ''Ke mana pun saya pergi, saya selalu dikejar rasa bersalah.'' WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini