Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kinerja industri strategis

Tiga bumn di lingkungan bpis melaba. yang lain berkurang untungnya. pt pal merugi. iptn okay dan belum terkena delay schedule.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIMPI Menteri Negara Riset dan Teknologi Habibie, untuk mengindustrikan teknologi tinggi di negeri ini, tampaknya akan menghadapi tantangan cukup berat. Kesan suram ini diperoleh selepas membaca laporan Pemerintah tentang pendapatan dan kerugian yang diderita 10 BUMN yang berada di bawah naungan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Berita tak sedap itu tersiar dari lingkungan Departemen Keuangan, pekan lalu. PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), misalnya, tahun lalu dikabarkan hanya meraih laba Rp 3,4 miliar atau turun 58% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, Rp 8,16 miliar. Begitu pula PT Inti, yang memproduksi alat-alat telekomunikasi, dan pabrik baja Krakatau Steel. Inti mencatat penurunan laba Rp 17 miliar, yang berarti tinggal Rp 45 miliar. Krakatau Steel, yang selain memproduksi baja juga memperoleh semacam ''komisi'' dari baja impor, keuntungannya anjlok 64%. Tahun 1991 labanya Rp 134 miliar, sedangkan tahun lalu hanya Rp 49 miliar. Pabrik dinamit Dahana ternyata masih lebih baik. BUMN yang bermarkas di Tasikmalaya, Ja-Bar, ini tahun lalu mencatat kenaikan laba walaupun tak seberapa dari Rp 3,5 miliar menjadi Rp 4,3 miliar. Yang pantas mendapat acungan jempol adalah Industri Kereta Api (Inka), yang tahun lalu berhasil meraih laba Rp 918 juta, padahal tahun sebelumnya rugi sampai Rp 452 juta. Lembaga Elektroteknika Nasional (LEN) pun mencatat untung, Rp 413 juta, setelah merugi Rp 894 juta. Sementara itu, empat BUMN lainnya juga berada di bawah BPIS tetap merugi. Ada yang kerugiannya membesar, ada yang mengecil. Jika diambil rata-rata, kendati ada kenaikan pendapatan yang disertai dengan kenaikan keuntungan, kinerja 10 BUMN itu tidaklah menggembirakan. Bandingkan saja. Enam BUMN menunjukkan kenaikan laba sekitar Rp 21 miliar, sedangkan empat perusahaan labanya berkurang sebesar Rp 107,1 miliar. Tentang kinerja BPIS itu, Dirjen Pembinaan BUMN, Martiono Hadianto, memberikan komentar yang nadanya terlalu umum. ''Namanya juga bisnis, ada untung, ada rugi,'' katanya. Apalagi tahun lalu masih terasa sulit bagi dunia usaha karena adanya pengetatan rupiah. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah soal penurunan laba. Jika hal ini berlangsung tiga tahun berturut-turut, ''Itu namanya baru merugi. Jadi, jangan dilihat dari prestasi setahun saja,'' ujar Martiono. Di pihak lain, Habibie, selaku Ketua BPIS sekaligus direksi di beberapa BUMN tersebut, tampak enggan memberikan keterangan rinci. Tapi salah seorang eksekutif di BPIS membantah jika disebutkan kinerja 10 BUMN itu menurun. ''Perusahaan-perusahaan di BPIS sudah biasa disebut tak untunglah, rugi teruslah, atau bobrok. Padahal, kenyataannya tidak begitu,'' demikian tanggapan dari sumber di BPIS yang tak mau disebutkan namanya itu. Katanya, yang sering terjadi adalah reinvestasi, dengan menanamkan sebagian laba untuk pelebaran usaha. Tapi lain lagi cerita PT PAL, yang memproduksi aneka kapal angkutan laut. Menurut Sulaeman Wiriadidjaja, Direktur Teknologi dan Komersial BUMN ini, penurunan laba PT PAL terjadi lantaran beberapa biaya yang seharusnya menjadi beban Pemerintah ditanggulangi oleh perusahaan. Hanya, tak dirinci, apa saja biaya tersebut. Satu hal yang pasti, menurut Sulaeman, sejak 1986 Pemerintah telah menghentikan pengucuran dana ke PT PAL. Akibatnya, beberapa proyek baru salah satunya fasilitas galangan baru yang menyedot investasi Rp 600 miliar terpaksa dibiayai sendiri. Dan dana untuk itu diambil dari pendapatan yang telah masuk ke kocek PAL. Itulah sebagian alasan Sulaeman mengapa PAL tahun lalu merugi Rp 25,5 miliar (rugi tahun sebelumnya hampir mencapai Rp 40 miliar). Tapi kenyataan itu kurang digubris oleh para wakil rakyat. Budi Hardjono, anggota DPR yang mewakili PDI Jawa Timur, melihat bahwa kerugian PT PAL disebabkan oleh kurangnya kontrol keuangan (TEMPO, 22 Mei 1993). Ketika itu, bulan Mei 1993, ketahuan bahwa untuk perjalanan dinas JakartaSurabaya (markas PAL) saja dibutuhkan Rp 4,5 juta sehari. Budi menambahkan, peminjaman yang dilakukan oleh beberapa pejabat teras BUMN ini (jumlahnya antara Rp 50 juta dan Rp 200 juta) hanya dibayar 50%. Belum lagi pemborosan di sektor lain, misalnya terlalu banyaknya pejabat tinggi, termasuk lima wakil kepala divisi dan 38 staf ahli, yang tidak jelas tugasnya. Akibatnya, PT PAL, yang tak mempunyai direktur keuangan, selalu mengeluarkan dana di atas anggaran alias besar pasak dari tiang. Benarkah? Tentang ini, Habibie berucap bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia harus mempunyai keunggulan di bidang maritim. Karena itu, dibutuhkan investasi yang lumayan. Yang penting, ia menjamin, tak ada manipulasi di setiap proyek PAL. ''Everything is okay,'' kata Habibie. Apakah IPTN, yang telah menyedot investasi Rp 2,5 triliun, juga okay? Pertanyaan ini layak dilontarkan karena ada isu yang menyebutkan bahwa Pemerintah mulai mengerem pengucuran dana ke IPTN. Bahkan, beberapa karyawan IPTN yang setingkat manajer sudah siap-siap angkat kaki lantaran khawatir gajinya tak dibayar. ''Likuiditas yang dimiliki IPTN kini hanya cukup untuk membayar gaji karyawan dua bulan,'' ujarnya. Apakah itu mengisyaratkan kondisi yang rawan? Entahlah. Yang jelas, Departemen Keuangan menyatakan bahwa tahun lalu IPTN masih melaba Rp 3,4 miliar atau turun Rp 4,7 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tapi angka itu diperoleh sebelum diperhitungkan dengan penyertaan modal Pemerintah. Kalau begitu, apakah pengetatan keran yang dilakukan Pemerintah pada PAL juga akan dikenakan pada IPTN? Yusman Syafii Djamal, Deputi VP Program Manajer N-250, tidak begitu yakin. Buktinya, pembuatan pesawat subsonic N-250 yang akan menghabiskan investasi sekitar US$ 470 juta tetap berjalan. Dan menurut Yusman, ''Pak Habibie sampai sekarang belum mengisyaratkan adanya delay schedule (jadwal penundaan) atau pernyataan yang bernada kurang biaya.'' Budi Kusumah, Ivan Haris, Widjajanto, dan Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus