Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) meminta pemerintah mengkaji kembali usul penerapan tarif cukai plastik. Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiono, menuturkan usul pengenaan cukai untuk pengendalian plastik ini terlalu dini. "Seharusnya diperbaiki dulu manajemen pengolahan sampahnya," ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pemerintah harus meninjau klasifikasi plastik yang kena cukai agar relevan dan tepat sasaran. Beberapa klasifikasi plastik tersebut di antaranya plastik konvensional, plastik degradable, dan plastik biodegradable. Cukai rencananya akan dikenakan untuk jenis plastik konvensional dengan tarif Rp 30 ribu per kilogram dan Rp 200 per lembar. Sedangkan, jenis plastik degradable dan biodegradable akan mendapatkan insentif dengan pengenaan tarif yang lebih murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Padahal yang degradable ini pemulung saja tidak mau ambil karena bisa merusak plastik konvensional, dan di negara lain plastik jenis ini sudah dilarang karena menimbulkan masalah lingkungan yang lain," kata Fajar.
Dia menuturkan plastik biodegradable membutuhkan penanganan pengelolaan yang tidak mudah. "Kalau manajemennya tidak benar, dia bisa busuk dan bau. Jadi tetap saja concern terhadap lingkungannya enggak kena," ujarnya. Dengan demikian, Inaplas menilai pemberian insentif yang tepat seharusnya diberikan kepada pelaku daur ulang plastik.
Berdasarkan kajian industri, kata Fajar, jika kebijakan cukai diterapkan, akan berimbas tak hanya kepada produsen plastik, tapi juga industri daur ulang plastik. Akibatnya, negara pun berpotensi kehilangan pendapatan dari penyusutan pajak penghasilan (PPh) industri. "Ini tidak sebanding dengan target pendapatan negara dari cukai plastik yang dipatok Rp 500 miliar, karena potensi pemasukan dari PPh bisa di atas itu."
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan usul tarif cukai plastik ini kepada Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat. "Pengendalian kantong plastik dengan mekanisme cukai kami anggap tepat dan sesuai dengan instrumen yang didesain undang-undang," kata dia.
Implementasi instrumen cukai ini juga sejalan dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur kantong plastik berbayar dan peraturan presiden tentang penanganan sampah laut. Kementerian Keuangan juga telah memastikan bahwa pengenaan cukai tak akan mengganggu kinerja industri dan konsumsi masyarakat. "Efeknya terhadap inflasi hanya 0,045 persen," ujar Sri Mulyani.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, berujar, pengenaan cukai plastik secara nasional lebih efektif saat ini dibanding plastik berbayar oleh setiap pelaku industri retail. "Ini lebih jelas kontribusinya terhadap lingkungan dan keuangan, pertanggungjawabannya ke APBN."
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, menuturkan klasifikasi jenis plastik yang dipungut cukai, tidak dipungut, dan dibebaskan akan didasarkan pada sejumlah kriteria. "Rencananya yang akan dikenai cukai adalah kantong plastik sekali pakai yang ketebalannya di bawah 75 mikron," katanya.
Jenis tarif cukai pun akan berbeda, sesuai dengan kemampuan mengurai dan keramahannya terhadap lingkungan. Dengan demikian, industri diharapkan akan terdorong memproduksi plastik yang ramah lingkungan. "Lalu soal pendapatan negara itu penting, tapi itu bukan tujuan dari cukai, yang penting adalah mengendalikan, mengubah perilaku masyarakat agar terbiasa," ucap Nirwala. GHOIDA RAHMAH
Target Rp 500 Miliar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo