Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Ketua Dewan Karet Indonesia (Dekarindo), Azis Pane, meminta pemerintah mendorong konsumsi karet alam. Menurut dia, harga karet saat ini anjlok sehingga nilai ekspornya turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor karet dan barang dari karet sepanjang tahun lalu mencapai US$ 6,23 miliar, turun 5,60 persen dari 2018 senilai US$ 6,38 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azis mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendorong penggunaan karet dalam pembangunan ibu kota negara baru. Permohonan tersebut, kata dia, sudah disampaikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Karet bisa digunakan untuk bahan bangunan antigempa hingga aspal jalan. "Kalau tidak begitu, penggunaan karet alam tidak akan naik dan komoditas ini akan ditinggal oleh petani," kata dia, kemarin.
Azis mengatakan serapan konsumsi karet nasional (lateks) masih sangat rendah. Dari produksi 3,55 juta ton pada 2019, serapan dalam negeri hanya 600 ribu ton. Dari jumlah itu, 450 ribu ton sudah digunakan oleh industri ban. Saat ini harga karet hanya US$ 1,4 per kilogram. Angka ini, kata Azis, lebih baik dari November 2019 yang mencapai US$ 1,21 per kilogram, tapi masih di bawah harga 2011 saat nilainya US$ 5 per kilogram.
Azis mengatakan sudah ada investor asal Eropa yang ingin melakukan penanaman kembali (replanting) tanaman karet. Menurut dia, investor akan mendapatkan kayu dari hasil 20-30 persen replanting. "Investor ambil kayunya. Dia bayar sama petani untuk dijadikan bubuk kayu," ujar Azis.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Moenardji Soedargo, mengatakan harga karet belum akan membaik. Selain permintaan pasar lesu, turunnya volume ekspor karet disebabkan oleh penyakit pestalotiopsis yang mewabah pada 2019. Akibatnya, produksi karet turun hingga 15 persen. "Harga internasional sejak tiga bulan ini telah membaik. Namun (industri) masih khawatir dengan penyakit pestalotiopsis," ujar dia.
Ketua Umum Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo), Agus Pakpahan, mengatakan prospek industri karet tahun ini belum terlalu cerah. Menurut dia, kondisi bisa semakin buruk apabila Thailand, Indonesia, dan Malaysia secara bersama-sama belum bisa menyatukan kekuatan regional dalam ekonomi industri karet.
Menurut Agus, untuk meningkatkan permintaan domestik, industri manufaktur juga perlu didorong. Selain itu, harga karet bisa didorong dengan peningkatan permintaan kayu karet sebagai substitusi kayu ramin yang sudah dilindungi. "Kayu karet ini kualitasnya bagus."
Direktur Perundingan APEC dan Organisasi Internasional Kementerian Perdagangan, Antonius Yudi Triantoro, mengatakan pemerintah tengah mendorong peningkatan produksi dan mutu karet di dalam negeri. Saat ini Indonesia tergabung dalam International Tripartite Rubber Council dan The Association of Natural Rubber Producing Countries.
Melalui ITRC, pemerintah bekerja sama memperbaiki harga karet dengan pengelolaan pasokan atau supply management scheme (SMS). Upaya juga dilakukan dengan promosi, penelitian, dan pengembangan produk berbasis karet alam.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi, mengatakan pemerintah telah menginisiasi unit pengolahan dan pemasaran bokar (UPPB) bagi para petani. Tahun lalu, kata dia, UPPB dari Banyuasin, Sumatera Selatan, dengan perusahaan pembuatan alat-alat kesehatan dari Palembang memproduksi roda tempat tidur pasien, penutup kaki meja, hingga kursi untuk rumah sakit.
Tahun ini pemerintah mendorong industri suku cadang (spare part) kendaraan roda dua untuk bekerja sama dengan Asosiasi UPPB untuk memasok bahan kompon karet. Selain itu, kata dia, pembuatan konblok (bahan bangunan) dari karet bisa dibuat oleh UPPB yang sudah maju. "Tahun ini kami akan menggelar lagi pelatihan bersama Balai Riset dan Standardisasi Industri di Palembang," kata dia. LARISSA HUDA
Industri Minta Pemerintah Dorong Penyerapan Karet
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo