Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terlewat Kesempatan Industri Pertahanan

Industri pertahanan Indonesia tidak bisa memenuhi permintaan alat pertahanan dan keamanan dari negara yang berkonflik.

12 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Pembuatan pesawat CN-235 di PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Pembuatan pesawat CN-235 di PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • BUMN pertahanan tidak menyuplai alat pertahanan dan keamanan ke daerah konflik.

  • Industri pertahanan butuh komitmen serapan dari pemerintah.

  • Indonesia berpeluang menjadi eksportir besar di regional.

JAKARTA — Pecahnya konflik di sejumlah kawasan ternyata tak serta-merta berdampak pada industri pertahanan nasional. Direktur Utama Defend ID Bobby Rasyidin menyatakan pasar ekspor tidak mudah ditaklukkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sejak Rusia menyerang Ukraina pada tahun lalu hingga teranyar serangan Hamas ke Israel, holding industri pertahanan belum menyuplai alat pertahanan dan keamanan ke daerah konflik tersebut. "Sisi baiknya, senjata kita tidak digunakan untuk membunuh manusia," katanya. Namun dia menyadari kondisi ini tak baik dari sisi bisnis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Bobby beralasan usia Defend ID masih muda dibanding perusahaan pertahanan besar dunia. "Jadi, sebenarnya pasar belum mengenal kami dan produk kami seperti apa." 

Defend ID memang baru terbentuk pada 2 Maret 2022 setelah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggabungkan PT Len Industri, PT Dahanan, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia. Namun para anggota holding ini sebenarnya sudah lama berdiri. Pindad, misalnya, didirikan pada 1808. 

Target 50 Besar Defend ID

Defend ID saat ini berada di jajaran 70 besar perusahaan pertahanan dunia, naik dari peringkat tahun lalu yang ada di kisaran 80 besar. Bobby menargetkan Defend ID bisa masuk jajaran 60 besar pada tahun depan. "Pada 2025 mungkin kami sudah bisa jadi salah satu pemain industri pertahanan yang terkuat di dunia." 

Tantangan lain untuk memasuki pasar internasional adalah regulasi yang ketat. Bobby menyatakan setiap pengiriman alat pertahanan dan keamanan diawasi ketat pemerintah. Negara tujuan ekspor hingga tujuan pemanfaatan alat perlu mendapat persetujuan dari pemerintah lebih dulu. Perusahaan juga harus memperhatikan ketentuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika bertransaksi dengan negara yang sedang berkonflik. "Kalau mereka menyatakan ini konflik kemanusiaan dan mereka melarang, kita tidak ekspor," ujarnya.


Panser Anoa seusai pemasangan roda di PT Pindad (Persero) di Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia

 

Untuk Operasi Non-Militer

Dalam dua tahun terakhir, Bobby mencatat kontrak ekspor terkait dengan peralatan militer hanya berupa kapal. Itu pun untuk penggunaan operasi non-militer. Salah satunya datang dari Kementerian Pertahanan Uni Emirat Arab dengan nilai kontrak setara dengan US$ 408 juta. Mereka memesan kapal berjenis landing platform dock (LPD) sepanjang 163 meter yang dibuat PT PAL Indonesia.

PT PAL Indonesia juga mengantongi permintaan Department of National Defense Filipina untuk memproduksi dua unit LPD tipe BRP Tarlac-601 dan BRP Davao Del Sur-602. Ini untuk kedua kalinya Filipina memesan kapal perang jenis LPD ke Indonesia. 

Ketua Harian Perhimpunan Industri Pertahanan Swasta Nasional Indonesia Jan Pieter Ate mengungkapkan industri pertahanan dalam negeri bukan sepi peminat. Dia menyatakan sejumlah negara yang sedang berkonflik, antara lain Ukraina dan Rusia, telah mengajukan permintaan suplai alat peralatan pertahanan dan keamanan, dari seragam tempur, amunisi, hingga senjata. "Tapi kita tidak bisa mengisi," tuturnya.

Menurut Jan, beberapa tahun terakhir merupakan kesempatan emas untuk dunia usaha bidang militer. "Sayangnya Indonesia tidak kebagian apa-apa karena industri kita sesungguhnya tidak siap. Sayang sekali."

Kendalanya terletak pada kapasitas industri di dalam negeri untuk memproduksi alat-alat tersebut. Bahkan BUMN, menurut dia, tak mampu memenuhi spesikasi yang diminta. Modal usaha yang terbatas turut mempengaruhi kapasitas industri yang rendah.

Jan mengatakan industri pertahanan di dalam negeri selama ini berkembang dari permintaan domestik, khususnya Tentara Nasional Indonesia. "Karena itu industri kita tidak dibangun untuk mengisi kebutuhan kawasan, apalagi internasional." Padahal, dari sisi regulasi, dia menilai tak ada hambatan berarti untuk berekspansi.

PT PAL Indonesia, di Surabaya, Jawa Timur. Dok. TEMPO/STR/Artika Rachmi Farmita

Masalahnya, pemerintah belum sepenuhnya mengandalkan produk lokal. Jan mencatat lebih dari 80 persen alat peralatan pertahanan dan keamanan Indonesia masih diimpor. Untuk itu pemerintah dinilai perlu mulai membatasi impor sejumlah peralatan. 

Senjata ringan, menurut dia, bisa mulai dilarang impor lantaran Pindad sudah mumpuni untuk berproduksi. Dengan cara ini, industri bisa bertahap mengembangkan teknologi kunci sendiri dan memenuhi kebutuhan domestik.  

Peneliti senior Marapi Consulting and Advisory Beni Sukadis pun menilai komitmen pemerintah untuk mengutamakan produk lokal penting untuk mendorong pertumbuhan industri pertahanan. "Industri pertahanan kita hampir semua tidak mengantongi keuntungan, modalnya terbatas, kapasitasnya juga terbatas, dan tidak semua produknya diserap negara sendiri," katanya. 

Selain kepastian pasar domestik, pelaku industri butuh dukungan untuk bermitra dengan pemain global lainnya. Transfer teknologi diperlukan untuk membantu industri tumbuh. 

Pemerhati alat utama sistem senjata dari Indomiliter.com Haryo Adjie Nogo Seno mengatakan Indonesia berpeluang menjadi pemain besar di tingkat regional. Vietnam memilih mengimpor bom dari Indonesia, antara lain, karena ongkos kirimnya yang lebih murah. Nilai tambah lainnya berupa kemampuan untuk memenuhi kontrak. "Karena produsen seperti India atau Rusia menghadapi konflik, industrinya belum tentu bisa cepat berproduksi ketika mendapat order," kata dia. 

Kuncinya, menurut Haryo, adalah komitmen pemerintah menyerap produk lokal, bahkan yang masih berbentuk prototipe. "Negara-negara lain punya kebijakan untuk membeli prototipe ini sehingga industrinya belajar terus mengembangkan teknologi baru," tuturnya. 

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus