TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan
Sri Mulyani mengatakan penerimaan perpajakan sektoral dari pertambangan dan sawit mengalami tekanan cukup signifikan hingga Juli 2019. Ia mengatakan kondisi ini terpengaruh oleh sentimen dagang Amerika Serikat dan Cina yang menyebabkan ekspor Indonesia untuk barang komoditas dan tambang lesu.
“Dari perpajakan, bea masuk, dan bea keluar, sektor pertambangan mengalami kontraksi yang sangat besar. Ini semuanya confirm karena menghadapi tekanan dari luar,” ujar Sri Mulyani di kantornya, Jakarta Pusat, Senin, 26 Agustus 2019. Kondisi tersebut juga merupakan imbas dari peningkatan restitusi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, sepanjang semester I, penerimaan perpajakan netto kedua sektor ini bila digabung tercatat -10,11 persen year on year. Sedangkan secara rinci, pendapatan pajak industri pengolahan terdata -4,3 persen year on year.
Adapun industri pertambangan paling terpukul. Pendapatan perpajakan netto untuk sektor ini bahkan mengalami minus paling tajam, yakni -12,3 persen.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menjelaskan bahwa secara umum pertumbuhan penerimaan pajak negara pada semester I 2019 lebih rendah ketimbang periode yang sama 2018. Meski sektor komoditas dan pertambangan loyo, ia mengakui penerimaan perpajakan sektor lain masih mengalami pertumbuhan yang lebih baik ketimbang tahun sebelumnya.
“Dari non-tambang dan non-sawit tumbuh 9,11 persen,” ujarnya.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak pada semester I 2019 baru mencapai 44,73 persen dari target atau sebesar Rp 705,59 triliun. Berdasarkan asumsi ABPN 2019, pendapatan pajak hingga akhir tahun Rp 1.577,56 triliun.
Pendapatan pajak berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) migas dan non-migas Rp 440,17 triliun; Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) Rp 249,40 triliun; dan PBB dan pajak lainnya sebesar Rp 16,02 triliun.
Dari jenis penerimaannya, pajak atas impor mengalami kontraksi -2,99 persen secara year on year.
Sedangkan PPN dalam negeri mengalami kontraksi -4,8 persen. "PPN impor dan PPN dalam negeri menunjukkan kewaspadaan,” ucap
Sri Mulyani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini