Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perindustrian memproyeksi ketergantungan importasi bahan baku obat (BBO) industri farmasi nasional akan berkurang signifikan pada 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ketergantungan impor pada 2020 akan berkurang sebesar 2,72 persen menjadi sekitar 92 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal tersebut didasarkan oleh produksi beberapa BBO oleh PT Kimia Farma Sungwoon Pharmacopia (KFSP) pada tahun ini, seperti Simvastatin (4,2 metrik ton), Atrovastatin (0,7 metrik ton), Clopidogrel (7,6 metrik ton), dan Entecavir (371 gram).
"Kami mendorong penurunan nilai impor. Karena, untuk BBO, volume [yang diimpor] kecil, tapi nilainya tinggi," kata Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Muhammad Taufik kepada Bisnis, Minggu 25 Oktober 2020.
Taufik mendata ketergantungan impor BBO akan terus berkurang hingga 2024. Pada 2024, menurutnya, nilai impor BBO akna berkurang 20,52 persen, artinya ketergantungan impor BBO hanya akan menjadi sekitar 74 persen.
Adapun, dua jenis BBO besutan KFSP dengan kapasitas produksi terbesar adalah PVP Iodine (84,83 metrik ton) dan Rifampisin (67 metrik ton). Kedua BBO tersebu direncanakan akan diproduksi pada 2023.
Taufik menyatakan kepastian usaha industri BBO kini lebih tinggi lantaran telah diterbitkannya ketentuan dan tata cara perhitungan nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) produk farmasi. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 16/2020.
Berdasarkan Permenperin No. 16/2020, asal tenaga kerja, permesinan, dan asal material memiliki peranan lebih tinggi dibandingkan nilai investasi. Adapun,kandungan bahan baku memiliki bobot 50 persen, penelitian dan pengembangan sekitar 30 persen, produksi hingga 15 persen, dan pengemasan hanya 5 persen.
Walakin, ketentuan tersebut tidak mengatur ketentuan minimum yang harus dipatuhi pabrikan farmasi lokal untuk melakukan proses produksi. Pasalnya, ujar Taufik, ketentuan tersebut merupakan wewenang Kementerian Kesehatan.
"Dengan adanya [Permenperin No. 16/2020], kami berharap ketergantungan terhadap BBO [impor berkurang]. Pasalnya, produk farmasi dengan TKDN di atas 40 persen wajib dibeli fasilitas kesehatan [milik negara] seperti rumah sakit, klinik, dan puskesmas," ucapnya.
Adapun, Taufik berharap fasilitas kesehatan secara keseluruhan membeli produk farmasi dengan TKDN di atas 40 persen. Dengan kata lain, Kemenperin berharap agar fasilitas kesehatan nasional menggunakan produk farmasi dengan BBO lokal.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) Tirto Kusnadi mengatakan salah satu hal yang dapat mendorong investasi industri BBO lokal adalah kepastian pasar, salah satunya dengan adanya TKDN.
Namun demikian, Tirto merasa implementasi TKDN tersebut akan memiliki banyak pertentangan.
GPFI mendata Indonesia mengonsumsi BBO sekitar 3-6 persen dari total produksi BBO dunia. Sementara itu, Amerika Serikat mengonsumsi sekitar 5-6 persen BBO dunia.
"Industri [farmasi] luar negeri tidak suka kalau ada industri BBO di Indonesia. [Industri farmasi asing] maunya [industri farmasi lokal] impor terus saja. Padahal sebenarnya kalau bisa [membangun industri BBO] bisa ada penghematan valas dan banyak menolong masyarakat," ucapnya.