Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Prabowo Subianto membatalkan kenaikan PPN di akhir tahun.
PPN 12 persen hanya berlaku pada barang mewah yang menjadi obyek PPnBM.
Lobi politik membatalkan kenaikan PPN makin gencar menjelang akhir tahun.
TELEPON seluler Suryadi Sasmita nyaris tak berhenti berdering pada Selasa sore, 31 Desember 2024. Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu terus menerima panggilan suara serta pesan pendek dari para pengusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para anggota Kadin meminta penjelasan tentang pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai batalnya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suryadi pun menelepon Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo untuk memastikan informasi tersebut. “Dia membenarkan. Kecuali untuk barang mewah, tidak ada kenaikan PPN, tetap 11 persen,” katanya pada Rabu, 8 Januari 2025. Begitu mendapat kepastian, Suryadi mengabari para pengusaha. Rupanya, banyak di antara mereka yang sudah menyetel sistem transaksi dengan asumsi PPN 12 persen. “Dari sore sampai malam saya sibuk menelepon mereka semua, mengimbau sistem dikembalikan seperti semula.”
Sehari setelah perayaan tahun baru, Suryadi mengumpulkan para pengusaha di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan. Di sana, mereka mendapat penjelasan tentang Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 yang antara lain berisi formula penghitungan PPN untuk barang mewah dan nonmewah.
Dalam aturan itu, pemerintah mematok PPN 12 persen untuk barang mewah yang selama ini menjadi obyek pajak penjualan barang mewah atau PPnBM. Kecuali pada barang-barang mewah, pungutan PPN tetap 11 persen.
Presiden Prabowo Subianto (kiri) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai 12 persen di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, 31 Desember 2024. Antara/Aprillio Akbar
Hal lain yang mengemuka dalam pertemuan itu adalah perubahan tata cara penghitungan serta pembuatan faktur serta masa transisi tiga bulan untuk persiapan. Aparat pajak juga menerapkan perlakuan khusus bagi pengusaha yang telanjur membebankan PPN 12 persen kepada konsumen. "Mereka dapat mengembalikan kelebihan pajak 1 persen kepada pembeli,” ucapnya. Mekanisme pengembalian pungutan atau restitusi tersebut akan diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Meski kewalahan menangani administrasi yang rumit, Suryadi mengatakan, pengusaha menyambut baik keputusan pemerintah. Apalagi Kadin dan sejumlah asosiasi industri sudah memberi masukan kepada pemerintah agar menunda rencana penaikan tarif PPN karena daya beli masih lesu dan biaya hidup naik tanpa diimbangi kenaikan upah riil. Pengusaha juga akan menghadapi kenaikan biaya produksi jika tarif PPN naik.
Ketika menyampaikan kebijakan tentang PPN di kantor Kementerian Keuangan pada Selasa, 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto mengatakan barang dan jasa yang selama ini menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan mendapat fasilitas pembebasan pajak tetap tidak dipungut pajak.
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan barang mewah yang terkena PPN 12 persen antara lain hunian mewah, kendaraan mewah, pesawat udara, dan kapal pesiar. “Itu kategorinya sangat sedikit dan sangat terbatas,” tuturnya. Adapun jasa pendidikan, kesehatan, keagamaan, tenaga kerja, angkutan umum darat, dan jasa sosial tetap bebas dari PPN.
•••
PENOLAKAN kenaikan pajak pertambahan nilai menguat sejak pertengahan November 2024. Lini masa media sosial diwarnai unggahan dan tagar penolakan dalam berbagai bentuk. Di platform X, misalnya, ramai ribuan cuitan menggunakan tagar #TolakKenaikanPPN, #TolakPPN12Persen, dan #PajakMencekik. Ada pula pelesetan lirik lagu. Salah satunya milik penyanyi muda Nadine Amizah, yaitu “Semua Aku Dirayakan”, yang dipelesetkan menjadi “Semua Aku Dipajaki”.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo saat memberikan keterangan pers tentang PPN 12 Persen di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, 2 Januari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Situs Change.org juga memuat petisi penolakan kenaikan PPN dengan judul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!”. Petisi itu dibuat oleh akun Bareng Warga pada 19 November 2024 yang ditujukan kepada presiden. Hingga akhir Desember 2024, petisi itu telah mendapat lebih dari 200 ribu tanda tangan.
Di jalanan, terjadi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat. Salah satunya Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia yang menggelar aksi massa di samping Patung Arjuna Wijaya di Jakarta Pusat pada Jumat, 27 Desember 2024. Di Yogyakarta, Aliansi Jogja Memanggil menggelar long march dari Jalan Malioboro menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bukan hanya di tengah masyarakat, di kalangan pemerintah juga muncul desakan mengkaji ulang rencana kenaikan PPN. Salah satunya Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang sejak awal mengusulkan pemerintah menimbang kembali rencana penaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu mengatakan lembaganya telah melakukan analisis dan memberikan rekomendasi kepada Presiden Prabowo Subianto.
Dalam kajiannya, DEN menyatakan daya beli masyarakat sedang melemah dan tak siap menanggung kenaikan PPN. “Kami khawatir kenaikan PPN akan memperlambat pertumbuhan ekonomi,” kata Mari. DEN mengusulkan pemerintah menyiapkan stimulus berupa bantuan sosial untuk mengungkit daya beli masyarakat kelas menengah. “Tidak bisa hanya bantuan tunai langsung, tapi juga salah satu usulannya diskon listrik 50 persen untuk kelas menengah,” ujarnya.
Anggota DEN dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, Arief Anshory Yusuf, mengatakan ada dua data yang membuktikan pelemahan daya beli masyarakat. Yang pertama adalah penurunan jumlah upah riil di berbagai sektor usaha dalam lima tahun terakhir. Sebagai contoh, di sektor perdagangan, terjadi penurunan 17 persen. Adapun penurunan di sektor transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi mencapai 16 persen.
Massa berunjuk rasa menuntut pemerintah membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai 12 persen di depan Istana Negara, Jakarta, 19 Desember 2024. Tempo/Imam Sukamto
Data kedua, Arief melanjutkan, berasal dari perbankan yang menunjukkan sepanjang 2024 proporsi belanja retail untuk kebutuhan pokok meningkat secara nilai nominal. "Artinya, ada pengeluaran lain yang dikurangi, seperti leisure (belanja hiburan),” ucapnya. Data lain yang menunjukkan pelemahan daya beli adalah tren perlambatan konsumsi listrik.
Gejolak serta masukan ini rupanya menjadi pertimbangan Prabowo untuk meninjau ulang rencana mengerek tarif PPN. Padahal, sejak menjabat presiden pada 20 Oktober 2024, Prabowo tak pernah menunjukkan keraguan menjalankan rencana itu.
Kepada Tempo, dua pejabat negara mengatakan bahkan Joko Widodo, sebelum turun dari kursi presiden, sempat menanyakan kepada Prabowo ihwal kenaikan tarif PPN. Kala itu, menurut pejabat tersebut, Prabowo menyetujui penerapannya, sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Undang-Undang HPP menyatakan tarif PPN akan dinaikkan secara bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan, kenaikan PPN bisa mendatangkan tambahan penerimaan negara Rp 75 triliun. Tambahan itu penting untuk menambal kebutuhan belanja negara dalam program unggulan Prabowo, seperti makan bergizi gratis yang membutuhkan dana Rp 71 triliun.
Karena itu, dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 14 November 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan rencana penaikan tarif PPN tetap berjalan. “Undang-undangnya sudah ada, kami menyiapkan agar itu bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” ujarnya.
Warga mengisi token listrik di Rumah Susun Bendungan Hilir, Jakarta, 2 Januari 2025. Pemerintah memberikan paket stimulus ekonomi berupa potongan tarif listrik 50% bagi pelanggan PLN kategori rumah tangga dengan daya 2.200 Volt Ampere ke bawah selama periode Januari-Februari 2025. Tempo/M Taufan Rengganis
Gejolak di kalangan pemerintah mulai menguat pada awal Desember 2024. Respons publik yang keras menimbulkan keresahan khususnya dari parlemen. Pada 5 Desember 2024, perwakilan pimpinan DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dan Ketua Komisi bidang Keuangan DPR Mukhamad Misbakhun menemui Prabowo di Istana Presiden untuk membahas isu kenaikan PPN. Kala itu Prabowo didampingi Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Seusai pertemuan, Misbakhun mengatakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diterapkan secara selektif, yaitu pada barang mewah. Sedangkan Dasco menyebutkan barang-barang kebutuhan pokok yang berkaitan dengan layanan masyarakat akan mendapat perlakuan seperti sebelumnya. “Sedang dilakukan kajian lebih mendalam bahwa PPN nanti akan tidak berada dalam satu tarif.”
Tiga anggota Dewan dan pejabat pemerintah menyebutkan Dasco dan Misbakhun saat itu mengusulkan kepada Prabowo agar menerapkan kenaikan tarif PPN 12 persen hanya pada barang mewah. Alasannya, ada kekhawatiran muncul gejolak yang mengganggu stabilitas politik dan keamanan jika pemerintah ngotot memberlakukan kenaikan PPN. DPR, menurut pejabat itu, khawatir aksi massa seperti yang terjadi ketika masyarakat memprotes rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pada Agustus 2024 kembali terjadi. Tempo meminta tanggapan Dasco dan Misbakhun tentang informasi ini, tapi tak berbalas.
Yang jelas, sehari setelah pertemuan itu, Prabowo mulai mengatakan kenaikan tarif PPN hanya berlaku pada barang mewah. Namun dia tak gamblang menjelaskan barang mewah tersebut. Pada Senin, 16 Desember 2024, giliran Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyatakan kenaikan PPN akan diberlakukan dengan asas keadilan dan bersifat selektif. “Keadilan adalah di mana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan diberi bantuan,” kata Sri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) bersama dari kiri, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman Maruarar Sirait, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang dan Menteri UMKM Maman Abdurrahman usai konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, 16 Desember 2024. Tempo/Tony Hartawan
Sri juga mengatakan barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN. Barang yang seharusnya terkena PPN 12 persen seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita (minyak goreng murah) hanya dikenai tarif 11 persen karena beban sisanya akan dibayar pemerintah.
Sedangkan kenaikan PPN berlaku bagi kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas naratama (VIP), dan pendidikan berstandar internasional. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah menggelontorkan stimulus Rp 38,6 triliun dalam bentuk bantuan pangan, diskon tarif listrik 50 persen, serta berbagai insentif perpajakan untuk usaha kecil dan industri padat karya.
Namun keterangan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada Sabtu, 21 Desember 2024, membuat bingung karena menyatakan kenaikan tarif PPN berlaku pada semua barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak.
Narasi yang tak sejalan di kalangan pejabat pemerintah kembali membuat publik bertanya-tanya. Ketika dimintai tanggapan, Kamis, 9 Januari 2025, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro mengatakan lembaganya sudah berkomitmen menindaklanjuti perintah Presiden Prabowo.
Sinyal balik arah kebijakan PPN terus menguat menjelang tutup tahun. Pada Sabtu malam, 28 Desember 2024, Prabowo mengumpulkan petinggi partai politik di kediaman pribadinya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Dua politikus yang mengetahui isi pertemuan itu mengungkapkan, salah satu agenda yang dibahas adalah rencana penaikan PPN.
Prabowo, politikus itu menuturkan, kembali menyebutkan kenaikan tarif hanya berlaku pada barang mewah. Tempo meminta tanggapan tentang informasi ini kepada Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi, tapi tak mendapat respons.
Drama tarik-ulur kenaikan PPN pun memasuki babak akhir pada Selasa, 31 Desember 2024, ketika Prabowo datang ke kantor Kementerian Keuangan untuk mengumumkan sikap akhir pemerintah, yaitu mengenakan PPN 12 persen hanya pada barang mewah yang selama ini menjadi obyek PPnBM.
Untuk mewujudkan kehendak ini tanpa melanggar Undang-Undang HPP yang mengamanatkan kenaikan PPN, Direktorat Jenderal Pajak membuat formula khusus. Satu-satunya celah yang terbuka adalah komponen dasar pengenaan pajak atau DPP yang diutak-atik agar tarif efektif PPN yang dibebankan kepada masyarakat tetap 11 persen.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan cara yang diambil adalah menetapkan “nilai lain” yang menjadi semacam koefisien untuk menetapkan PPN 11 persen tanpa melanggar Undang-Undang HPP.
Nilai lain yang dia maksud adalah 11/12, yang jika dikalikan dengan 12 persen hasilnya akan menjadi 11 persen. Nilai lain dihitung sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. “Ini kira-kira yang menjadi pertimbangan dan paling mungkin kita jalankan,” tutur Suryo pada Kamis, 2 Januari 2025.
Mekanisme ini yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 yang diteken beberapa jam menjelang 1 Januari 2025 atau momen pemberlakuan PPN 12 persen. Suryo mengakui ada keterbatasan waktu yang membuat lembaganya bermanuver dengan mengatur nilai lain atau formula yang selama ini digunakan untuk barang dan jasa yang nilainya sukar ditentukan.
Kini pengenaan “nilai lain” menjadi berlaku secara umum. Karena itu, Suryo menambahkan, lembaganya akan meninjau ulang aturan tentang “nilai lain” ini untuk memastikan kenaikan PPN hanya berlaku pada barang mewah.
Pendiri Danny Darussalam Tax Center, Darussalam, mengatakan seharusnya pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan kenaikan PPN. “Dengan cara itu, semua akan lebih clear,” katanya. Penerbitan perpu menjadi satu-satunya pilihan yang realistis lantaran opsi revisi Undang-Undang HPP akan memakan waktu. Menurut Darussalam, perpu itu bisa mengamanatkan kenaikan tarif hanya berlaku pada obyek barang mewah atau memutuskan perlakuan skema multitarif.
Yang jelas, manuver menjelang pergantian tahun itu membuat pusing pelaku usaha, khususnya yang menangani administrasi perpajakan. Apalagi, per 1 Januari 2025, Direktorat Jenderal Pajak mulai menerapkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Core Tax. Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia Siddhi Widyaprathama mengatakan banyak perusahaan yang mengeluh kesulitan menerbitkan faktur karena sistem yang belum padu. “Masih ada kendala karena terjadi overlapping antara penerapan Core Tax dan kebijakan PPN. Kami berharap segera selesai.” ●
Caesar Akbar dan Eka Yudha berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Akrobat Rumus Pajak di Ujung Tahun