Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menanti Regulasi Energi Ramah Lingkungan

Pengembangan energi ramah lingkungan terhambat pembahasan sejumlah regulasi pendukung iklim investasi. UU Energi Baru dan Terbarukan ditargetkan selesai pada tahun ini.

18 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas melakukan perawatan instalasi penyuplai energi listrik hasil dari panel surya di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengembangan energi bersih bisa terhambat bila tidak ada perbaikan regulasi energi baru dan terbarukan.

  • Peraturan presiden mengenai tarif pembelian tenaga listrik dari EBT belum ada titik terang.

  • Penggunaan tingkat kandungan lokal energi tenaga surya disarankan bertahap.

JAKARTA -- Pemerintah optimistis, pada tahun depan, energi baru dan terbarukan (EBT) berperan menggerakkan roda perekonomian. Sinyal optimisme itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sidang tahunan MPR belum lama ini. Namun iklim investasi di sektor ini belum menarik pemodal karena terbentur regulasi.  

"Selama regulasi tidak diperbaiki, jangan berharap ada percepatan (peralihan ke energi bersih)," ujar Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Surya Darma, kepada Tempo, kemarin.

Salah satu payung hukum yang dinanti investor adalah Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Surya mencatat rancangan aturan ini sudah bergulir sejak 2017 di parlemen. Namun, hingga saat ini, pembahasannya masih berjalan di Komisi Energi DPR. Padahal payung hukum ini menjadi jaminan kepastian berusaha di mata investor.

Dari undang-undang ini, dia berharap ada aturan yang mewajibkan energi bersih sebagai sumber energi utama di setiap daerah di Indonesia. Dengan begitu, EBT bisa menjadi prioritas dan pemanfaatannya yang baru 11,2 persen dari total energi primer bisa bertambah. Upaya mengutamakan EBT juga bisa dilakukan dengan mewajibkan investor di sektor energi fosil turut mengembangkan EBT sebagai syarat utama menjalankan proyeknya.

Aturan lain yang dinanti investor adalah peraturan presiden mengenai tarif pembelian tenaga listrik dari EBT. Pemerintah berencana membuat skala keekonomian proyek EBT lebih kompetitif lewat kebijakan tersebut. Dirancang sejak pertengahan tahun lalu, peraturan presiden ini rencananya terbit pada akhir 2020. Paruh pertama 2021 berlalu, ujar Surya, masih belum ada titik terang. "Sampai tidak berani lagi bertanya kapan terbitnya," ujar Surya.

Seorang warga pemilik panel surya, Agus Nurokhim, membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap rumahnya di Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Selain regulasi baru, pelonggaran aturan yang ada dibutuhkan untuk menarik minat investor mengembangkan EBT. Senior Policy Researcher Yayasan Indonesia Cerah, Mahawira Singh Dillon, mencontohkan kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Pengadaan barang dan jasa untuk pembangkit listrik tenaga surya, misalnya, harus memiliki TKDN minimal 40 persen.

Mahawira menilai penerapan kebijakan tersebut seharusnya bisa diberlakukan secara bertahap. Selama mengejar target bauran EBT hingga 2025, batas TKDN dapat diatur lebih rendah. Setelah itu, tingkat kandungannya mulai ditambah perlahan. "Dengan begitu, ada dorongan untuk orang mulai bergerak, sehingga orang jadi tertarik mengembangkan EBT," tuturnya.

Wakil Ketua Komisi Energi DPR, Eddy Soeparno, menyatakan rancangan UU EBT sedang dalam tahap pengesahan. Targetnya, akhir tahun ini, pembahasan selesai dan aturannya dapat diterbitkan. Secara paralel, parlemen juga berkoordinasi dengan PT PLN (Persero) agar perusahaan dapat menyesuaikan diri dengan target UU EBT secara cepat. "Jadi, pembangkit yang masih berbasis diesel, fosil, bisa segera dikonversikan dengan pembangkit energi bersih," ujarnya.

Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, menuturkan target untuk menarik investasi di sektor EBT masih berjalan cukup baik. "On track sesuai dengan rencana," katanya.

Pada semester pertama ini, terdapat investasi aneka EBT senilai US$ 590 juta; investasi panas bumi US$ 357 juta; serta bioenergi sebesar US$ 126 juta. Dia mengatakan total kapasitas pembangkit EBT pada periode tersebut naik 206 megawatt dari tahun lalu menjadi 10.673 megawatt.

Untuk meningkatkan pemanfaatan EBT hingga akhir tahun ini, Kementerian ESDM berfokus pada program mandatori B30 dengan target penyerapan 9,2 juta kiloliter. Selain itu, metode substitusi batu bara dengan biomassa di PLTU menjadi andalan lantaran tak membutuhkan terlalu banyak biaya. Tumpuan percepatan bauran EBT lainnya adalah konversi pembangkit listrik bertenaga diesel ke EBT serta pemanfaatan tenaga surya dan panas bumi.

Perihal rencana pengembangan energi baru dan terbarukan pada tahun depan, Dadan belum membeberkan secara detail. Sebab, kata dia, masih ada penyesuaian anggaran Kementerian dan lembaga untuk penanganan pandemi serta pemulihan ekonomi. "Anggaran sebagian besar dipergunakan untuk kegiatan yang bermanfaat langsung di masyarakat, seperti penerangan jalan umum tenaga surya," kata dia.

VINDRY FLORENTIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus