Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CAFE Teluk Jakarta, Hotel Santika, Senin malam pekan lalu. Sejumlah politikus berkumpul hingga menjelang pukul 24.00. Mereka antara lain Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso, Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ganjar Pranowo, dan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfud Sidik. Turut hadir Menteri Dalam Negeri Mardiyanto serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata.
Mereka berkumpul untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Isu paling hangat adalah soal belum disepakatinya syarat minimal suara yang mesti diperoleh partai dalam pemilu legislatif—agar mereka diizinkan mengusung pasangan presiden dan wakil presiden.
”Sepanjang pertemuan, kami membahas soal ini,” kata politikus PDI Perjuangan Yasonna Laoly. Pada Oktober tahun ini, revisi itu sudah harus diketuk.
Secara umum partai-partai terbelah dua. Pertama, partai besar seperti Golkar dan PDI Perjuangan yang mematok angka 30 persen. Tujuannya agar jumlah kontestan pemilu presiden tak banyak.
Jika minimal dukungan adalah 30 persen, pasangan calon hanya dua atau tiga. Namun, jika syarat itu dilorotkan setengahnya, jumlah kandidat bisa melonjak menjadi empat atau lima. PDIP mengaku memasang angka tinggi agar, ”Memicu partai lain sejak dini membentuk koalisi permanen,” kata Ganjar Pranowo.
Kedua, partai menengah yang ingin syarat itu hanya 15 persen—suara yang mungkin mereka peroleh dalam pemilu legislatif tahun depan. Yang termasuk kelompok ini antara lain Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrat.
Sebetulnya ada pula kelompok alit seperti Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, yang tak ingin ada pembatasan sama sekali. Tapi niat itu langsung padam karena dibanjiri protes partai lain. Undang-Undang Nomor 23/2003 memberikan batas 15 persen.
Partai menengah sebetulnya terbelah. Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa mengajukan angka 20-25 persen. Soalnya mereka percaya, tak satu pun partai akan mendapat 30 persen suara. Partai Keadilan mematok target 20 persen suara. Tapi, jikapun tak tercapai, mereka siap menjalin aliansi. ”Tak ada partai tanpa koalisi yang bisa mendapat suara lebih dari 30 persen,” ujar Mahfud.
Adapun Partai Amanat tetap ngotot di angka 15. Menurut Hakam Naja, dengan persentase itu, kalau partainya harus beraliansi, mereka yang akan menjadi penentu. Selain itu, jika syarat pencalonan presiden diperberat, ”Calonnya akan itu-itu saja,” katanya.
Ketua Umum Partai Amanat, Soetrisno Bachir, percaya bahwa angka 15 persen yang akan disetujui. Ia yakin bahwa pemerintah akan menolak revisi Undang-Undang Nomor 23/2003 jika, ”Terjadi politik dagang sapi yang membuat dukungan minimal 15 persen kandas.”
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebuah rancangan undang-undang dapat disahkan setelah disetujui presiden dan Dewan. Apabila tak ada persetujuan, untuk menghindari kevakuman, aturan hukum yang berlaku adalah undang-undang lama. Presiden Yudhoyono berkepentingan dengan angka kecil karena dipastikan ia akan mencalonkan diri kembali menjadi presiden dengan diusung Partai Demokrat. Dalam Pemilu 2004, partai itu mendapat 7,45 persen suara.
Tarik-menarik terus terjadi. Partai kecilnya, misalnya, dilobi oleh partai besar agar mendukung angka 30. Menurut si besar, jika syarat suara 15 persen, beberapa partai menengah akan bergabung dan partai kecil akan gigit jari. Itu sebabnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi menyatakan, ”Kami ikut partai besar saja.”
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo