Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HINCA Panjaitan kaget betul mendengar jawaban Letjen Djadja Suparman. "Oke, mari kita bertemu," ujar Komandan Sekolah Staf Komando TNI itu, awal Agustus silam. Hinca adalah anggota Tim Ombudsman Jawa Pos Group. Jawaban itu di luar dugaan dia. Maklumlah, grup raksasa media dari Jawa Timur itu nyaris berseteru di meja hijau dengan Djadja.
Hinca lalu mengundang Djadja ke Graha Pena di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Di markas Jawa Pos Group itu, setelah hampir sepuluh bulan bersitegang, kedua pihak sepakat berdamai dan menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
Kemarahan Djadja dilecut berita Jawa Pos edisi 28 Oktober 2002. Koran itu menulis cerita berjudul Dua Jenderal Dicurigai, ke Bali Sebelum Ledakan, Pulang Sehari Kemudian. Salah satu yang dimaksud adalah Djadja.
Bekas Panglima Kostrad ini keras membantah. Menurut dia, dirinya tak berada di Bali saat bom melumat Pulau Dewata. "Saya berada di Vietnam," katanya. Berita itu memang turun tanpa memuat konfirmasi Djadja. "Kami sudah mengupayakan, tapi tak berhasil," ujar Arief Afandi, Pemimpin Redaksi Jawa Pos.
Celakanya, berita serupa diturunkan juga oleh harian Rakyat Merdeka, Sumatera Express, dan Radar Bali. Semuanya masih kelompok Jawa Pos. Pun dikutip oleh koran di luar grup itu, Pelita dan The Jakarta Post.
Djadja marah. Dia menuding Jawa Pos Group telah sengaja melakukan pembunuhan karakter. Berita itu juga dinilai telah membuat kalut keluarganya.
Karena itu, Djadja melayangkan somasi, juga mengadu ke Dewan Pers. Tapi, rekomendasi Dewan yang dikeluarkan kemudian dinilai Djadja tak begitu pas. Alasannya, kesalahan Jawa Pos tak disebutkan dengan tegas.
Maret silam, Dewan Pers memang telah meminta keterangan dari kedua pihak yang bertikai. Hasilnya, media bersangkutan diminta Dewan memberikan ruang klarifikasi bagi Djadja. Selain itu, Dewan Pers juga mengkritik isi berita. Kendati telah memenuhi asas jurnalistik, berita itu dinilai punya kelemahan. "Kurang mengeksplorasi kepastian hadirnya dua jenderal itu," kata Lukas Luwarso, Direktur Eksekutif Dewan Pers.
Kritik itu diterima pihak Jawa Pos dengan legawa. Arief Afandi menyadari pihaknya memang melakukan kekeliruan. Dia lalu mengajukan perkara itu ke Tim Ombudsman Jawa Pos Group. Lembaga ini dibentuk sejak 1998, dipimpin oleh Nadim Zuhdi, seorang bekas wartawan Jawa Pos. Anggotanya terdiri dari Peck Diyono, bekas Pemimpin Redaksi Suara Indonesia yang terbit di Malang; Imawan Mashuri, Direktur Jawa Pos TV; dan Maksum, Redaktur Politik Jawa Pos. Yang dari luar hanya Hinca Panjaitan. Dia bergabung sejak Maret silam. "Mereka semua dibayar perusahaan," Arief menerangkan.
Kendati begitu, Tim Ombudsman punya wewenang besar. Misalnya, mereka bisa memaksakan rekomendasi ke bagian redaksi. Juga punya rubrik khusus bertajuk "Ombudsman", yang muncul sepekan sekali di koran Jawa Pos. Selain mengurus sengketa pers dan masyarakat, lembaga itu juga bertindak sebagai "provos" kode etik profesi. "Misalnya, memeriksa kasus wartawan yang menerima amplop," kata Hinca.
Menghadapi somasi Djadja, Arief lalu meminta pertimbangan Tim Ombudsman. Awalnya, dia pernah diminta beberapa rekannya agar meminta maaf saja. "Kebetulan secara pribadi saya kenal Djaja," ujarnya. Tapi, manajemen Jawa Pos minta supaya jalur penyelesaian secara jurnalistik diutamakan. Artinya, supaya Djadja menggunakan hak jawab atau koreksinya. Cuma, kata Arief, upayanya selama ini selalu membentur tembok.
Awal Agustus lalu, Tim Ombudsman mengambil inisiatif. Hinca menelepon Djadja, dan terjadilah pertemuan di Graha Pena itu. Kedua pihak pun lalu didengar keterangannya oleh Tim Ombudsman.
Tim Ombudsman lalu menjatuhkan keputusan: Jawa Pos harus memberi hak jawab kepada Djadja. Rekomendasi ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan saran Dewan Pers terdahulu. Tapi, kali ini ada semacam "keharusan": jawaban itu mesti berbentuk profil dan wawancara, dan dimuat serempak oleh empat media di bawah bendera Jawa Pos pada edisi 17 Agustus.
Komentar Djaja? "Ini pelajaran bagus buat masyarakat pers," ujarnya tersenyum lega.
Lukas Luwarso mencatat, cara Jawa Pos itu merupakan langkah bagus bagi penyelesaian konflik pers dan masyarakat. Apalagi, belakangan ini pengaduan terbilang ramai. Dalam catatan Dewan Pers, selama tiga tahun terakhir setidaknya ada sekitar 199 surat permintaan hak jawab yang dilayangkan berbagai kalangan ke media. Itu baru dihitung dari jumlah yang ditembuskan kepada Dewan Pers. "Jumlah sebenarnya bisa lebih banyak lagi," kata Lukas.
Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo