Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG Musdalifah Asrama Haji Donohudan di Boyolali, Jawa Tengah, penuh sesak dan gemuruh Selasa pekan lalu. Ratusan orang laskar dan anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menyerukan "Allahu Akbar" ketika petang itu Fauzan al-Anshari, Ketua Departemen Informasi dan Data MMI, membacakan keputusan Kongres II MMI.
"Orang Islam yang menolak syariat Islam dalam lembaga pemerintahan, dan setuju pemisahan agama dari negara, itu kufur i'tiqadi atau murtad," kata Fauzan. "Allahu Akbar, Allahu Akbar. Tegakkan syariat Islam," seru para anggota laskar dan mujahidin, yang rata-rata bercelana komprang di atas mata kaki dan berjenggot.
Kongres ini pun menghasilkan delapan keputusan lain. Di antaranya menetapkan kembali Ustad Abu Bakar Ba'asyir sebagai Amirul Mujahidin 2003-2008, menentang segala bentuk terorisme, dan menuntut diseretnya George W. Bush, Tony Blair, Ariel Sharon, dan John Howard ke Mahkamah Internasional. Keputusan lain yang tak kalah penting adalah mendesak dicabutnya UU No. 15/2003 tentang terorisme, yang dinilai lebih memberangus aktivis muslim.
Cuma, kongres kali ini tampak sepi dari kehadiran tokoh pemerintahan. Bahkan ulama karismatis dari Sampang, K.H. Alawi Muhammad, dan Abdul Kadir Baraja dari Jakarta absen di arena kongres. Ustad Abu Bakar Ba'asyir sendiri tak bisa hadir karena masih mendekam di rumah tahanan di Jakarta. "Tapi tak benar kongres kali ini sepi dan tak menghasilkan apa-apa," kata Ketua Lajnah Tanfidiyah MMI, Irfan Suryahadi Awwas.
Menurut Irfan, ketidakhadiran para tokoh di kongres yang berlangsung 10-12 Agustus itu hanya masalah teknis. Yang penting, tujuan kongres tercapai, yakni regenerasi dan menyusun strategi perjuangan lima tahun ke depan. Sejak dideklarasikan di Yogyakarta, 7 Agustus 2000, organisasi massa Islam itu memang baru melakukan lobi dan sosialisasi penegakan syariat Islam. Namun, setelah kongres Boyolali, mereka mulai masuk dunia "nyata".
"Dulu fokus kita lobi dan diskusi sosialisasi penegakan syariat. Ke depan arahnya konkret, pengondisian ke daerah-daerah," ujar Fauzan. Artinya, para mujahid nanti akan aktif terjun ke daerah-daerah. Mereka akan aktif terlibat dan menjaga agar peraturan-peraturan daerah dan kota madya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya mendorong keluarnya peraturan daerah tentang pelarangan minuman keras dan perzinaan. Langkah ini, kata Fauzan, "Selaras dengan semangat otonomi daerah."
Daerah yang akan jadi "proyek percontohan" penerapan syariat Islam adalah Sumenep, Madura, dan Bantul, Yogyakarta. "Tapi tak menutup peluang daerah lain yang telah memiliki basis kuat untuk memberlakukan hukum Islam," ujar Irfan, yang terpilih kembali menjadi Ketua Lajnah Tanfidiyah MMI. Para mujahid meyakini, inilah saat yang tepat memulai penegakan prinsip dasar organisasi dan syariat Islam secara kaffah (utuh).
Keputusan kongres Boyolali sebenarnya hanya menegaskan kembali Piagam Yogyakarta 7 Agustus 2000, yang menyerukan umat Islam menegakkan syariat Islam di Indonesia dan di dunia. Terhadap tudingan publik yang mengaitkan MMI dengan terorisme dan Jamaah Islamiyah, MMI juga telah menyiapkan sejumlah strategi. "Tapi maaf, yang ini tidak bisa dibuka ke pers," kata Irfan.
Sejauh ini, MMI bertekad akan melawan setiap penentang penegakan syariat Islam. "Kalau mereka menentang dengan opini, kita lawan dengan opini. Kalau fisik, ya, kita lawan dengan fisik," katanya. Amir Mujahidin, Abu Bakar Ba'asyir, juga menegaskan, syariat Islam secara kaffah tak mungkin dipraktekkan dalam kehidupan nyata kecuali melalui instrumen kekuasaan atau lembaga pemerintahan. "Kita tak boleh mengamalkan Islam secara perorangan atau kelompok. Itu menyalahi sunah Nabi," ujar Ba'asyir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo