Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OBSESI Bakrie Telecom merambah bisnis seluler tak lama lagi bakal terwujud. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring dua pekan lalu meneken izin prinsip menyelenggarakan jaringan bergerak seluler untuk perusahaan itu. Keputusan ini mengacu pada persetujuan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia dalam rapat pleno pada 21 Maret lalu.
Bakrie Telecom tak perlu menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan izin. Terhitung 11 bulan sejak Direktur Utama Bakrie Telecom Anindya N. Bakrie berkirim surat pada 17 Mei 2010, Menteri Tifatul mengabulkannya. Tapi, menurut sang Menteri, proses ini pun terlambat. Menurut aturan, pemerintah harus memberi jawaban atas permintaan izin itu dalam 60 hari. "Jika tidak, izin harus diberikan atau kami digugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara," ujar Tifatul melalui pesan pendeknya Kamis pekan lalu.
Keuntungan Bakrie Telecom ini, sialnya, tak dinikmati perusahaan operator lain yang juga mengajukan izin, untuk lisensi berbeda. Sejak dua tahun lalu, misalnya, PT XL Axiata meminta izin lisensi sambungan langsung internasional. Begitu juga PT Natrindo Telepon Seluler, pemilik merek Axis. "Sampai sekarang belum ada kepastian," kata Direktur Utama XL Axiata Hasnul Suhaimi. Adakah cepatnya izin prinsip ini lantaran Menteri Tifatul dilobi pihak Bakrie? "Tidak ada lobi khusus, semua harus sesuai dengan aturan. Saya minta pertimbangan hukum dan Badan Regulasi," ujar Tifatul, yang saat dihubungi sedang menunaikan umrah.
Keputusan rapat pleno Badan Regulasi sebenarnya tidak bulat. Dari tujuh anggota Komite Regulasi Telekomunikasi, lima orang setuju izin diberikan. Adapun dua lainnya setuju dengan syarat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01/PER/M.Kominfo/01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi diubah dulu. Perbedaan lima banding dua ini, menurut anggota Komite Regulasi, M. Ridwan Effendi, karena ada multitafsir terhadap Pasal 4 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 01 Tahun 2010. "Multitafsir soal pengertian kode akses jaringan," ujarnya saat ditemui di kantornya pekan lalu.
Tersiar kabar pula, kalangan internal Kementerian Komunikasi tak setuju Bakrie Telecom mendapatkan izin. Alasannya, Peraturan Menteri Kominfo Nomor 01 Tahun 2010 hanya berlaku untuk penyelenggara jaringan bergerak seluler, sehingga, kata sumber Tempo, peraturan itu tak bisa dijadikan payung hukum pemberian izin ke Bakrie Telecom. "Aturan ini enggak bisa diterapkan untuk memenuhi permintaan Bakrie Telecom," ujarnya.
Namun semua proses menuju persetujuan izin berlangsung di Badan Regulasi. Sekalipun ada penolakan dari dalam, Tifatul memilih berpihak pada mayoritas suara di Komite Regulasi, yakni setuju memberikan izin prinsip seluler kepada Bakrie Telecom tanpa mengubah Peraturan Menteri Kominfo Nomor 01 Tahun 2010. "Pak Menteri memang harus mempertimbangkan masukan dari Komite Regulasi. Kalau tidak, buat apa mereka dibentuk?" ujar Kepala Pusat Informasi dan Humas Gatot S. Dewa Broto.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Syukri Batubara tidak menampik ada perbedaan pandangan di level teknis Kementerian Komunikasi. Dia pun mengaku termasuk yang tak sepenuhnya setuju jika izin itu diberikan. Alasannya, ada multitafsir terhadap Pasal 4 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 01 Tahun 2010. Menurut pasal 4 itu, jumlah operator yang menyelenggarakan jaringan telekomunikasi yang membutuhkan alokasi spektrum frekuensi radio atau kode akses jaringan tertentu dibatasi, sehingga tata cara perizinannya melalui proses seleksi. Ketentuan ini tak berlaku bagi operator yang sudah mempunyai izin penggunaan kode akses jaringanyang cukup dievaluasi tanpa seleksi.
"Apakah Bakrie Telecom sudah punya kode akses jaringan atau belum, ini yang diperdebatkan," ujar Syukri. Direktorat Telekomunikasi, menurut dia, berpandangan yang dimiliki Bakrie Telecom adalah kode akses wilayah, bukan kode akses jaringan. "Menurut kami, ini berbeda," ujarnya. Sebaliknya, kata dia, mayoritas anggota Komite Regulasi menilai Bakrie Telecom sudah punya kode akses jaringan. Ini karena kode wilayah dipandang sama dengan kode akses jaringan, sehingga Bakrie Telecom tak perlu diseleksi, tapi cukup dievaluasi. "Karena multitafsir begini, saya berpendapat peraturan menterinya direvisi dulu. Tapi, prinsipnya, semua setuju izin diberikan," tutur Syukri, direktur jenderal keempat yang menangani permintaan izin prinsip seluler Bakrie Telecom.
Menurut sumber Tempo, selama ini permintaan izin Bakrie Telecom selalu terjegal di Direktorat Telekomunikasi, yang menganggap Pasal 4 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 01 Tahun 2010 sangat jelas dan tidak multitafsir. Artinya, Bakrie Telecom belum memiliki kode akses jaringan. "Jadi, kalau izin diberikan, berarti melanggar aturan yang diteken Menteri Tifatul sendiri," ujarnya. Kondisi ini, menurut dia, membuat pembahasan di Badan Regulasi tersendat-sendat. Komite Regulasi baru berlari kencang pada musim haji November tahun lalu. "Sengaja atau tidak," kata sumber ini, "kebetulan dua pejabat di direktorat itu pergi menunaikan ibadah haji."
Keanehan lain bisa dibaca dari dokumen yang diperoleh Tempo. Badan Regulasi menggelar rapat pleno pada 8 November tahun lalu, disusul rapat konsinyering pada 25 November tahun yang sama di Hotel Salak, Bogor, dan lima hari kemudian berlangsung rapat evaluasi di Hotel Mercure, Jakarta. Pada rapat di Bogor itulahyang juga dihadiri Bakrie TelecomKomite Regulasi memutuskan izin prinsip seluler diberikan cukup melalui proses evaluasi.
Anehnya, menurut dokumen itu, keputusan agar Bakrie cukup dievaluasi hanya diambil tiga anggota Komite Regulasi, yakni Heru Sutadi, Nonot Harsono, dan M. Ridwan Effendi. Rapat ini berlanjut dengan rapat evaluasi di Hotel Mercure yang, lagi-lagi, hanya dilakukan oleh dua anggota Komisi Regulasi, yakni Nonot dan Ridwan, plus dihadiri sembilan perwakilan dari Bakrie Telecom. Menurut seorang pejabat di Kementerian Komunikasi, anggota Komite Regulasi tak lengkap hadir karena ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Namun seharusnya, kata dia, rapat-rapat itu tidak menghadirkan Bakrie Telecom. "Masak, operatornya ikut rapat yang membahas diri mereka," ucapnya.
Agenda utama rapat di Bogor itu semula tak berkaitan dengan evaluasi dan perizinan Bakrie. Menurut sumber Tempo ini, rapat membahas biaya hak penarikan pita serta implementasi fixed wireless access dan unified access licensing. "Entah kenapa di sesi kedua jadi membahas permintaan Bakrie Telecom itu. Seperti sengaja disempalkan," katanya.
Dirjen Syukri membenarkan bahwa Badan Regulasi intensif menggelar rapat pada November tahun lalu. Tapi saat itu Syukri belum menduduki posnya sekarang. "Waktu itu beberapa pejabat di Direktorat Telekomunikasi memang pergi ibadah haji," katanya. Menurut Deputi Direktur Jenderal Telekomunikasi Bonnie M. Thamrin, ketidakhadiran pejabat teknis Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam rapat Badan Regulasi tidak jadi masalah. "Kami kan bukan bagian dari Badan Regulasi. Kalaupun hadir, enggak ada hak suara juga," ujarnya.
Hasil rapat evaluasi di Hotel Mercure itu rupanya sangat penting. Keputusan rapat inilah yang kemudian dijadikan bahan rapat pleno Badan Regulasi pada 21 Maret 2011 di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Tapi, jauh hari sebelumnya, hasil rapat evaluasi itu sudah tiba di meja Tifatul melalui surat Direktur Corporate Services Bakrie Telecom Rakhmat Junaidi tertanggal 27 Januari 2011. "Hasil evaluasi itu menjadi dasar Bakrie Telecom mendesak Tifatul agar segera memberi izin," ucap sumber Tempo.
Ridwan menyatakan akhirnya setuju memberi izin kepada Bakrie Telecom karena sejalan dengan rencana Badan Regulasi ke depan, yakni terwujudnya unified access licensing. "Dengan satu lisensi bisa menyelenggarakan apa saja," katanya.
Bakrie Telecom saat ini adalah pemegang lisensi fixed wireless access, sambungan langsung internasional, dan sambungan langsung jarak jauh. Dengan lisensi fixed wireless access, Bakrie Telecom mengembangkan bisnis code division multiple access (CDMA) dengan merek Esia. Korporasi ini memang satu-satunya dari empat operator berlisensi fixed wireless access yang belum punya lisensi seluler. Ketiga kompetitornya, yakni Telkom Flexi, Indosat StarOne, dan Hepi milik Smartfren Telecomdulu Mobile-8 Telecomsudah memiliki izin seluler.
Dengan izin prinsip seluler di tangan, sayap bisnis Grup Bakrie bakal mengepak kencang. Mereka menggarap bisnis global system for mobile communication (GSM), yang saat ini sudah dimainkan 11 perusahaan operator. Menurut Rakhmat, pengembangan bisnis seluler dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada 20 persen dari 13 juta pelanggan Esia. "Lebih dari 2,5 juta pelanggan Esia itu mobile," katanya.
Keputusan Tifatul ini memicu kontroversi lantaran dipandang tidak adil. Modal Bakrie Telecom mengembangkan bisnis seluler ini tidak akan sebesar operator lain. "Dia tidak perlu membangun infrastruktur dari nol, tinggal menggeser infrastruktur yang sudah ada," ujar sumber Tempo. Dengan modal yang minim, kata dia, Bakrie Telecom akan bisa mengenakan biaya komunikasi lebih murah ketimbang operator GSM lain yang memulainya dari nol. "Sudah pasti masyarakat tertarik dong, wong murah," katanya. Namun, kata sumber ini, "Menguntungkan bagi publik tidak berarti harus melanggar aturan."
Anne L. Handayani, Padjar Iswara, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo