Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

<font size=1 color=brown>SIMULATOR BEDAH</font><br />Supaya Pisau Bedah Tepat Arah

Dosen Universitas Brawijaya, Malang, menciptakan simulator bedah. Pengguna bisa merasakan perbedaan kontur tubuh lewat alat khusus.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pisau itu bergerak perlahan mendekati sebilah tangan yang terbujur kaku. Sejurus kemudian, pisau membelek tangan itu hingga terbelah dan bagian dalamnya terlihat. Darah segar mengucur.

Sugeng Riyanto, pelaku penusukan itu, bukan penjahat sadistis. Bukan pula dokter bedah yang sedang menangani pasien. Dia adalah dosen fisika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, Malang. Adegan di atas dilakukan di layar komputer dengan program ciptaannya: Simulator Bedah Berbasis Virtual Reality.

Program ini dirancang guna membantu dokter merencanakan bedah dengan sasaran yang tepat. ”Supaya dokter tidak main kira-kira,” katanya kepada Tempo pekan lalu. Simulator terdiri atas komputer yang memiliki dua layar yang menampilkan tubuh manusia dalam tiga dimensi. Tetikusnya ada dua dan berbeda dengan yang dipakai komputer kebanyakan, yaitu tetikus 3D dan Phantom haptic, tetikus khusus program virtual. Bentuknya mirip lengan robot dengan ujung seperti pena.

Haptic, yang dibanderol Rp 40 juta, menjadi jembatan antara tangan pengguna dan tayangan. Lewat perangkat itu, pengguna bisa merasakan bentuk permukaan. Tempo menjajal model bayi di kandungan. Tangan tertahan saat cursor menyentuh benda keras dan membal-membal saat cursor berada di pipi bayi. Dengan memilih gambar pisau, bedah bisa dimulai. Tayangan menunjukkan pisau yang siap beraksi. Pengguna pun merasakan kekenyalan kulit dan alotnya daging saat bergesekan dengan pisau. Demikian juga saat mengebor menembus tulang, haptic bergetar hebat.

Ide ini muncul dari kamar bedah. Sebagai pengajar fisika medis, Sugeng sering keluar-masuk kamar operasi Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang, untuk mengamati cara kerja dokter bedah. Dia mendapati dokter menentukan titik bedah berdasarkan perkiraan. "Sehingga sering tidak tepat," ujarnya. Kalau sudah begitu, dokter kembali membuat sayatan di titik berbeda. Dua titik luka ini memperpanjang waktu pemulihan pasca-operasi. Sugeng yakin betul kesalahan seperti itu bisa ditekan jika ada alat peraga.

Dia mulai mengembangkan idenya delapan tahun lalu. Disertasi saat meraih gelar doktor di Curtin University, Australia, adalah program bedah virtual daerah telinga. Program itu dikembangkan ke bagian lain. Bagian tubuh yang akan dijadikan model dilakukan CT (computed tomography) scan lebih dulu. Penggambaran dilakukan satu per satu karena setiap bagian tubuh sangat kompleks. Kepala, misalnya, memiliki 220 irisan atau gambar dengan ketebalan 3 milimeter. Ketika dimasukkan ke komputer, setiap irisan rakus melahap memori, yakni 5 megapiksel. Menurut Sugeng, gambar untuk seluruh tubuh bisa mencapai 1.800 irisan dengan memori 300 gigapiksel.

Gambar hitam-putih hasil pemindaian itu kemudian diberi warna supaya lebih hidup. Irisan-irisan tersebut disatukan sehingga membentuk imaji tiga dimensi. Gambar lantas diisi parameter fisis, seperti tingkat kekerasan, kenyal, kelenturan, dan kehalusan, bagian tubuh tertentu. "Berbeda berdasar bagian tubuh dan umur seseorang," kata Sugeng.

Dosen kelahiran Malang, 42 tahun lalu, ini menggunakan empat program: C++ untuk mesin, Virtual Reality Modelling Languages untuk gambar, Phyton untuk menghubungkan dua mesin dan gambar, serta Open FGL atau Direct X untuk menyunting. Selain hambatan saat menggabungkan empat bahasa program itu, halangan yang ditemui Sugeng adalah minimnya data fisis tubuh manusia. "Di Indonesia baru ada data kulit dan lemak," ujarnya.

Data lain, seperti otot dan tulang, masih nihil. Begitu juga dengan data pemindaian. Sugeng harus bolak-balik ke Australia untuk memungut data pemindaian kepala, jantung, dan tangan. Sedangkan bagian lain didapatkan dari Amerika Serikat. Beruntung, dia mendapat bantuan dari sejumlah peneliti Australia berupa transportasi dan akomodasi di Negeri Kanguru. Sisanya dia biayai sendiri dengan menghabiskan kocek sekitar Rp 70 juta.

Kerja kerasnya menuai hasil. Simulator Sugeng siap digunakan untuk membedah kepala dan tangan. "Dalam waktu dekat bisa untuk bedah jantung," katanya. Namun, untuk memperoleh gambaran satu tubuh lengkap, masih butuh waktu lama, sekitar lima tahun.

Program ini juga bermanfaat sebagai pengganti mayat untuk praktikum mahasiswa kedokteran. Menurut dia, calon dokter Universitas Brawijaya biasa menggunakan mayat tak dikenal untuk melakukan latihan bedah atau mempelajari anatomi tubuh. Meski tidak perlu bayar, mereka kerap kesulitan mendapat pasokan mayat dari rumah sakit setempat karena suplai minim. Jika jenazah tidak kunjung datang, Sugeng melanjutkan, mahasiswa kudu membeli boneka silikon, yang harganya bisa sampai Rp 500 juta. "Itu pun cuma bisa dipakai sekali," katanya. Setelah bedah, silikon berakhir di keranjang sampah.

Bagi pasien bedah, simulator ini juga berguna untuk mempersingkat masa rawat inap. Biasanya pasien perlu tinggal beberapa hari sebelum pembedahan untuk diobservasi tim dokter. Lewat program ini, observasi bisa dilakukan lewat data hasil magnetic resonance imaging scan yang dimasukkan ke perangkat simulator. Data yang dimasukkan juga bisa mencakup karakter fisis pasien. Menurut Sugeng, selain menghemat biaya dan waktu operasi, simulator berguna mengurangi beban psikologi pasien karena tidak perlu lama-lama di rumah sakit.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia cabang Malang, Subagyo, mengatakan teknologi tersebut bisa memajukan dunia kedokteran. Selama ini dokter yang menempuh pendidikan ahli bedah belajar dengan membelek binatang, mayat, atau boneka. "Semuanya punya banyak kelemahan," ujar dokter spesialis bedah ini. Binatang memiliki struktur organ yang berbeda dengan manusia, mayat sulit dicari, dan boneka harganya selangit. Untuk mengakali kesulitan mencari obyek, dia melanjutkan, praktikum bedah dilakukan langsung pada pasien. Tentunya dengan pengawasan dokter ahli.

Sugeng sudah berkeliling mempresentasikan temuannya, sampai ke Amerika, Prancis, dan Rusia. Meski mendapat respons positif, dia belum punya target kapan meluncurkan program itu ke pasaran. Selama delapan tahun, simulator bedah buatannya cuma ada satu: di ruang kerjanya di Universitas Brawijaya.

Reza M., Bibin Bintariadi (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus