Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jangan bilang kami nakal

Pabrik rokok akan mengurangi pembelian tembakau, akibat pembatasan pemakaian cengkeh. persediaan tembakau cukup. produksi tembakau indonesia naik turun menyebabkan harga tidak stabil.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA menunggu lama, kemelut yang ditularkan oleh BPPC dengan cepat menjalar ke sektor lain. Setelah petani cengkeh, tahun ini petani tembakau tak luput dari ancaman oversupply. Sejak pekan lalu, beberapa pabrik kretek sudah memberi tahu pihak petani tembakau bahwa mereka tidak akan membeli tembakau tahun ini. Alasannya: karena harga cengkeh mahal, produksi kretek terpaksa dikurangi, dan ini mengakibatkan pembelian tembakau juga dibatasi. Harga cengkeh yang rata-rata Rp 12.000 per kg -- ini harga yang ditetapkan BPPC -- boleh dikatakan 50%-200% lebih tinggi dari harga cengkeh empat tahun terakhir. Biarpun produsen kretek berkali-kali mengimbau agar cengkeh dihargai Rp 9.000 per kg, BPPC tidak menggubris. Sejak itu agaknya pihak pengusaha kretek sudah mengambil ancang-ancang. Mereka telah mengalkulasi apa saja risiko yang dihadapi bila harga cengkeh Rp 12.000 per kg. Agar risiko tidak terlalu besar, pada tahun 1990, ketika PT Kembang Cengkeh Nasional mulai memborong cengkeh, para produsen itu lalu menggenjot pembelian tembakau. Kini stok mereka, kabarnya, cukup untuk kebutuhan beberapa tahun. Dan karena mereka mengirit cengkeh, dengan sendirinya pemakaian tembakau juga tak banyak. Akibatnya, umur stok semakin panjang. "Kalau tidak irit memakai duit, bisabisa kami tak bisa membeli cengkeh," kata sebuah sumber dari pabrik kretek Gudang Garam (GG). Selama ini GG membeli tembakau dari berbagai daerah di Jawa Tengah (Dieng, Parakan, Weleri, Kedu, Mranggen, Boyolali, Salatiga), Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro, Besuki, Paiton, Jember, dan Madura). Tembakau ini biasanya diblend (campur). Prosesnya memang panjang, mulai dari perajangan, pemisahan gagang, pembersihan dari benda-benda asing, dijaga aspek higienisnya, dan diatur tingkat kelembapannya. Itu semua memakan waktu sekitar 26 bulan. Tak dapat tidak, diperlukan dana yang cukup besar untuk biaya inventory. Karena sumber dana biasanya merupakan pinjaman jangka pendek, tentu diperlukan keterampilan manajemen keuangan untuk mengatur biaya pertembakauan itu. Berdasarkan buku prospektus sewaktu go public tahun 1991, pinjaman jangka pendek GG untuk pengadaan stok tembakau dan cengkeh tercatat Rp 420,1 milyar dari BNI cabang Kediri dan Rp 109,3 milyar dari Mitsui Bank cabang Singapura. Tapi bagaimana posisi keuangan serta stok GG kini, belum terungkap. Namun, Yudiono Mutiwidjojo, Direktur Umum GG, kabarnya sudah menulis surat antara lain kepada Wakil Gubernur Jawa Timur, menyatakan bahwa GG tahun ini akan membatasi pembelian tembakau. Apa yang dilakukan GG bisa diduga juga telah diterapkan oleh pabrik kretek besar seperti Djarum, Bentoel, dan H.M. Sampoerna. Mereka memang tidak sampai menulis surat kepada Pemerintah Daerah Ja-Tim, namun pembelian tembakau sudah dikurangi. Managing Director Bentoel, Budhy G.W. Budhyarto, dalam wawancara dengan TEMPO Rabu lalu mengatakan, pembelian tembakau tahun 1992 ini akan turun sekitar 14% dibandingkan tahun 1991. "Kami masih akan melakukan pembelian (pada saat panen tembakau) bulan Juni nanti. Jumlah pembelian sekitar 7.250 ton," kata Budhy. Berkurangnya pembelian ini karena stok masih cukup. Namun, ia tidak percaya kalau pembelian akan dihentikan. Sebab, setiap pabrik rokok selalu harus mempunyai stok untuk kebutuhan dua tahun ke muka. Hanya sekarang, pembelian dikurangi karena stok sudah mencapai kebutuhan sampai tiga tahun. Soal dikuranginya pembelian tembakau ini tentu tidak harus ditimpakan pada BPPC. "Kalau mau bicara jujur, Pemerintah juga mesti bertanggung jawab. Kami disuruh bikin harga rokok mahal, lantaran perubahan penetapan kemasan. Akibat rokok mahal, konsumsi berkurang, dengan sendirinya kebutuhan bahan baku berkurang," kata seorang pengusaha kretek yang tak mau disebut namanya. "Jadi, jangan bilang bahwa pabrik rokok nakal," katanya lagi. Terlepas apakah pabrik-pabrik kretek memang nakal, seorang eksportir tembakau dari Surabaya, A. Ismail, mengatakan bahwa berkurangnya pembelian tembakau mestinya segera ditanggapi dan Pemerintah segera memberi penyuluhan kepada petani. Mumpung masa tanam tembakau belum tiba (biasanya dimulai pada bulan Mei). "Tapi, ya, petani tembakau adalah orang-orang khusus. Kalau tidak menanam terasa aneh. Sama seperti kami eksportir, meski rugi, tetap saja mau mengekspor," kata Ismail. Ditambahkannya, soal tembakau memang gampang dicarikan jalan keluarnya, yakni ekspor. Selama ini semua produksi tembakau yang tidak terserap pabrik rokok biasanya dibeli eksportir. Masalahnya cuma satu: harga tembakau sebagai komoditi pertanian senantiasa mengalami pasang surut yang tinggi dan rendah sekali. Terkadang bisa mencapai Rp 1.000.000 per kuintal (100 kg), tapi terkadang jatuh sampai Rp 60.000 per kuintal. Eksportir pun begitu. Kalau harga dari petani lagi mahal, 18 eksportir yang tergabung dalam Indonesian Tobacco Association terpaksa rugi. Tapi, kalau harga jatuh, mereka bisa untung. Dewasa ini, eksportir cuma bisa mendapatkan harga di Eropa US$ 0,80 atau Rp 1.600 per kg. Pasar Eropa sudah dibentengi bea masuk yang tinggi. Di Jerman, misalnya, tembakau Indonesia dikenai bea masuk DM 1,60 (sekitar Rp 2.000 per kg). Soalnya, produsen tembakau bertebaran di seluruh dunia, mulai dari Eropa (Jerman, Prancis, Italia), Asia (India, RRC, Indonesia) sampai ke benua Amerika (Havanna, Virginia). Menteri Pertanian Wardoyo berpendapat, soal tembakau ini tidak begitu berat sebagaimana tanaman keras (misalnya cengkeh). "Kebiasaan petani Indonesia cepat sekali menanam tembakau dan cepat pula tidak menanam. Jadi, produksi terkadang banyak, terkadang sedikit, sehingga harga sangat tidak stabil mengikuti mekanisme pasar," kata Wardoyo. Usaha Pemerintah untuk mengendalikan produksi, misalnya dengan membatasi pembagian bibit, selalu kandas. Petani bisa saja mendapat bibit dari swasta. "Susah," kata Wardoyo sambil tersenyum. Menteri Pertanian berpendapat, kalau pabrik rokok tidak akan membeli tembakau, petani tembakau akan cepat sekali menyesuaikan diri. Kalaupun dia rugi, paling hanya untuk satu musim. Menteri Wardoyo -- notabene putra seorang petani -- mengakui hal itu sudah dialami orangtuanya sendiri. "Kadang-kadang, kalau harga bagus, ayah saya bisa membeli mobil sampai tiga. Tapi kalau harga lagi jatuh, semua mobil itu dijual lagi," kata anak petani tembakau dari desa Juwiring, Klaten, Jawa Tengah itu sambil tertawa. Dari data prduksi tembakau yang dicatat Departemen Pertanian, terlihat bahwa produksi tembakau Indonesia juga naik turun. Tahun 1984 baru 87.000 ton, setahun kemudian melonjak 113.000 ton, merosot lagi 101.000 ton tahun 1986, naik lagi 109.000 ton tahun 1988, anjlok 93.000 ton tahun 1989. Baru dalam dua tahun terakhir, ketika pabrik-pabrik rokok berlomba mengumpulkan stok tembakau, produksi melonjak lagi sampai 135.000 ton tahun 1990 dan 140.000 tahun 1991. Sedangkan data ekspor tembakau juga naik-turun drastis. Pernah 23.000 ton tahun 1985, lalu jatuh ke 10.000 ton pada tahun 1989, tapi naik lagi 17.000 ton tahun 1991. Hanya data kebutuhan pabrik rokok yang selama ini terus menanjak dari 75.000 ton tahun 1985, hingga 111.000 ton tahun 1991. Apakah tahun 1992 ini untuk pertama kali kebutuhan mereka anjlok, masih harus dilihat. Bahwa ada tembakau yang harus diimpor, itu karena setiap pabrik rokok mempunyai resep campuran (blending) sendiri-sendiri. Namun, dalam catatan Menteri Pertanian, kebutuhan impor sudah mencapai 27.000 ton tahun lalu. Ini berarti arus tembakau impor kini lebih besar dari arus tembakau ekspor. Apakah belum perlu dikendalikan, melalui sebuah tata niaga, misalnya? Max Wangkar, Liston P. Siregar, Dwi S. Irawanto (Jakarta), Jalil Hakim, Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus