SETELAH menahan diri selama dua tahun, produsen kayu lapis angkat suara. Mereka mengeluh karena Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) yang dipimpin Bob Hasan tetap memaksakan ekspor ke Jepang. Memaksa? Kalau tak salah, itulah yang terjadi. Yang pasti, unsur paksaan memang ada. Dan masih harus merugi US$ 100 per meter kubik kayu lapis yang diekspornya. Menurut seorang produsen terkemuka, acara "jual rugi" ini sudah berlangsung sejak awal 1990. Sejak itulah Jepang hanya menghargai plywood Indonesia 225 dolar per meter kubik. "Itu harga C & F, setelah dipotong ongkos angkut, yang kami terima hanya tinggal 200 dolar," kata sumber yang tak mau disebut namanya. Sedangkan biaya produksi per meter kubik telah mancapai 320 dolar. Memang tidak semua jenis plywood merugi. Kayu lapis yang digunakan untuk lantai masih melaba karena dihargai 390 dolar per meter kubik. Namun, kerugian yang timbul gara-gara concrete panel (sejenis kayu lapis) bagi produsen terasa berat karena volumenya termasuk besar. Dari total ekspor ke Jepang di tahun 1990 -- yang mencapai 2,8 juta meter kubik -- diperkirakan sekitar 1,05 juta meter kubik berupa concrete panel. Katakanlah, ekspor tahun lalu jumlahnya sama dengan tahun 1990. Berarti selama dua tahun terakhir, concrete panel yang dijual tak kurang dari 2,1 juta meter kubik. Ini berarti, kerugian yang ditanggung oleh produsen Indonesia sepanjang masa itu setara dengan 210 juta dolar atau sekitar Rp 420 milyar. Tak masuk akal memang, Indonesia mampu menaburkan uang secara cumacuma ke Jepang. Dan itu sudah berlangsung selama dua tahun. Bahwa kayu lapis Indonesia dijual murah, tidak dibantah oleh pengusaha Jepang. Harga tingkat eceran di sana ratarata hanya 950 yen per lembar concrete panel. Ini lebih murah 100 yen jika dibandingkan dengan produk Jepang sendiri. Beberapa pengusaha di Tokyo memastikan, kalau mau untung, kayu lapis Indonesia setidaknya harus dijual 300 dolar per meter kubik. "Seperti harga jual ke Korealah," ujarnya. Kalau sudah begitu, mengapa eksportir Indonesia mau menjual rugi? Jawaban untuk ini "tersimpan" di dalam negeri. Menurut seorang produsen, ekspor ke Jepang bukanlah atas inisiatif pengusaha tapi merupakan keharusan yang dipaksakan pihak asosiasi. Apkindo menetapkan, setiap produsen eksportir harus mengekspor ke Jepang sebanyak 15% dari total ekspor yang dilakukan tahun sebelumnya. "Jadi, jumlah kuota ini ditentukan berdasarkan performance," katanya. Dan jika kuota tidak dipenuhi, eksportir diiming-imingi denda 100 dolar per meter kubik. Sedangkan kuotanya ke negara lain -- yang jelas-jelas menguntungkan -- bisa dicabut. "Ini sudah tidak benar," gerutu seorang direktur pabrik plywood di Kalimantan Timur. Apalagi Nippindo (perusahaan patungan antara Bob Hasan dan pengusaha Jepang Kiyoshi Mazaki), terus saja menarik untung. Distributor tunggal kayu lapis Indonesia di Jepang itu mengutip sedikitnya 20 dolar dari setiap meter kubik. Yang pasti, sebagai Ketua Apkindo, Bob Hasan punya kiat sendiri. Ia mengakui, kayu lapis Indonesia dijual ke Jepang dengan harga sangat miring. Tapi itu hanya terbatas pada kayu lapis jenis tebal, seperti concrete panel. "Untuk jenis yang tipis kan masih bisa untung," Bob menghibur. Ia juga mengatakan, selain ke Jepang, pasar kayu lapis Indonesia melebar ke RRC, Eropa, dan Amerika Serikat. Di berbagai negara itu, dengan harga jual di atas 300 dolar, eksportir Indonesia bisa meraih untung banyak. "Saya heran, kenapa mereka hanya cerita yang rugi-rugi," Bob seperti kecewa. "Padahal, ekspor ke Jepang hanya merupakan bagian kecil dari total ekspor kayu lapis Indonesia. Jadi, saya yakin, yang mengeluh itu hanyalah eksportir yang tidak mengerti pasar kayu lapis dunia," ujar Bob lagi. Ada kesan, ekspor ke Jepang bukanlah semata-mata untuk mengejar laba. Apkindo juga berharap, dengan harga yang lebih rendah, kayu lapis Indonesia mampu bersaing dengan produk lokal. Singkat kata, Indonesia berniat "membunuh" industri kayu lapis di Jepang. Sebegitu jauh, cita-cita besar itu tidak kesampaian. Tak percaya? Di Jepang, berdasarkan statistik Riyacho (Badan Kehutanan Jepang), masih "tersisa" 133 pabrik kayu lapis berikut 18 ribu tenaga kerja. Artinya, selama setahun belakangan ini, hanya satu pabrik yang gulung tikar. "Itulah kenapa saya berani bilang bahwa niat membunuh industri kayu lapis di Jepang sama dengan mimpi," kata seorang eksportir kayu lapis yang cukup beken. Katanya, karakter industri plywood di Jepang hampir sama dengan di Malaysia. Selain sudah lama berdiri, mereka tak lagi menanggung beban bunga akibat investasi. Apalagi teknologi yang digunakan jauh lebih efisien ketimbang teknologi di Indonesia. Kini harus diakui, industri plywood di Jepang sukar ditumbangkan. Maka tak ada pilihan lain bagi eksportir Indonesia kecuali mencari keuntungan sebanyak-banyaknya di luar pasar Sakura. Justru beban itulah yang terasa berat. Apalagi banyak negara yang mengkampanyekan pengurangan pemakaian kayu tropis. Tak mengherankan bila mencari pasar di luar Jepang bukanlah urusan gampang. Ke negara-negara seperti Timur Tengah dan Eropa mungkin bukan masalah sebab di sana concrete panel masih dihargai 330-360 dolar per meter kubik. Tapi ke Amerika, lain lagi. Di sana, eksportir Indonesia tak bisa masuk begitu saja. Kita harus berhadapan dengan produk Malaysia yang harganya lebih rendah. Malaysia konon bisa berbuat begitu lantaran lobbyingnya yang bagus sehingga produknya bisa bebas bea masuk. Jadi, sangat lain dengan plywood Indonesia yang terkena bea 8,5%. "Wajar kan kalau saya usul agar kewajiban masuk ke Jepang itu dihapuskan saja," kata sumber TEMPO yang tidak mau disebut namanya itu. Budi Kusumah, Ivan Haris (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini