Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Eksekusi ala PN Surabaya

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DETAK kehidupan Rumah Sakit Griya Husada, Surabaya, berhenti sudah. Rumah sakit yang selama puluhan tahun menjadi tempat berobat rakyat kecil karena biayanya murah itu, sejak Selasa pekan lalu, atas perintah pihak Pengadilan Negeri Surabaya, dikosongkan. Erang kesakitan pasien tidak terdengar lagi. Sebagai gantinya, pagar seng berdiri kukuh mengelilingi bangunan di Jalan Bubutan 93 itu. Drama memilukan terjadi saat juru sita pengadilan, dibantu polisi dan tentara, melakukan eksekusi di pagi hari itu. Mereka memaksa puluhan perawat, dokter, dan 22 pasien yang sedang menjalani rawat inap di tempat yang dulu bernama RS Mardi Santoso itu agar meninggalkan rumah sakit. Tidak peduli separah apa kondisi pasien. Tanpa rasa kasihan, mereka, misalnya, mengeluarkan pasien berumur 15 hari di dalam inkubator. Bayi dengan berat 1,5 kilogram itu?agaknya lahir prematur?menangis keras saat petugas membawa mesin penghangat suhu tubuh itu keluar ruangan. Sejumlah perawat mencoba menghalangi langkah itu agar si bayi bisa tetap hangat di inkubatornya, tapi gagal. Lebih dari satu jam, bayi tanpa kehadiran orang tuanya itu berada dalam keadaan kedinginan. Ellen Sukmawati, anggota DPRD Jawa Timur yang ikut menyaksikan eksekusi itu, tidak bisa menahan emosi. "Siapa yang bertanggung jawab kalau bayi ini mati?" teriaknya kepada aparat hukum itu. Di ruangan lain, seorang ibu mencoba bertahan sambil mendekap anak balita yang tergolek sakit. Suaminya yang pergi membeli obat tidak kunjung datang. Bentakan petugas yang menyuruhnya berkemas menciutkan nyalinya. Ia keluar sambil membopong putra kesayangan yang sedang terserang demam berdarah itu. "Tindakan ini sama sekali tidak manusiawi," kata Kris Sanggelorang, Kepala RS Griya Husada, sambil menggelengkan kepala berulang kali, menyaksikan aksi "koboi" para petugas itu. Semua pasien akhirnya diangkut ke rumah sakit terdekat. Selain para petugas itu, hampir semua pengunjung meneteskan air mata menyaksikan drama itu. Mengapa eksekusi itu terjadi? Rumah sakit yang didirikan pada 1951 itu memang sudah terbelit rentetan kasus. Kemelut itu bermula ketika Majelis Sinode Gereja Protestan Indonesia Barat Ke-15 (GPIB), selaku pemilik RS Griya Husada, menjual aset itu kepada Joe Boen Hoei, pengusaha asal Semarang. Bangunan yang berdiri di atas lahan 11 ribu meter persegi itu dijual Rp 10 miliar dan dituangkan dalam akta jual-beli tertanggal 23 Desember 1994. Hak kepemilikan itu lantas dihibahkan Joe kepada anaknya, Tommy Jo. Hasil penjualan aset itu kemudian digunakan pengurus GPIB membangun rumah sakit baru di Dukuh Pakis, Surabaya. "Klien saya akan mendapatkan haknya setelah rumah sakit itu selesai dibangun," kata Sudiman Sidabukke, kuasa hukum Tommy Jo, kepada Adi Sutarwiyono dari TEMPO. Selain itu, semua peralatan dan kegiatan Griya Husada akan dipindahkan ke rumah sakit baru tersebut. Tahun 1997, rumah sakit di Dukuh Pakis itu rampung. Namun, kesepakatan pindah itu tidak diindahkan manajemen Griya Husada. Hingga 1999, Tommy belum juga memperoleh haknya. Gugatan pun dilayangkan pengusaha kaya itu ke PN Surabaya. Saling gugat pun terjadi. Dalam putusan kasasinya tanggal 19 April 2001, majelis hakim Mahkamah Agung memenangkan Tommy. "Menyusul keputusan itu, kami menegosiasi direksi RS Griya Husada agar mau keluar dengan sejumlah uang pesangon," ujar Sudiman. Upaya itu tidak digubris. Akhirnya, Ketua PN Surabaya, Manis Soejono, mengeluarkan penetapan eksekusi tertanggal 2 Juli 2001. Pada 17 Juli, eksekusi batal dilakukan. Alasannya, terbit penetapan baru yang menyatakan pengosongan ditangguhkan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Namun, pada 28 Juli kembali keluar keputusan baru yang menyebut penetapan terakhir tidak berlaku. "Siapa bilang eksekusi itu mendadak, harusnya jauh-jauh hari mereka mempersiapkan diri," kata Sudiman. Namun, pihak Griya Husada punya alasan lain. "Jual-beli itu cacat hukum dan tidak sesuai dengan AD/RT Majelis Sinode GPIB," kata Kris, tanpa memerinci lebih lanjut. Selain itu, keberadaan rumah sakit yang dikelolanya itu sangat dibutuhkan oleh rakyat miskin di sana. Dilematis, memang. Luwu PAGI itu, penduduk Desa Padangsubur, Padangsappa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, masih beristirahat usai menjalankan salat subuh. Jarum jam menunjukkan pukul 04:30, Rabu minggu lalu. Pagi yang sunyi dan dingin itu pecah oleh letusan papporo, senjata api rakitan. Terjadi serbuan penduduk dari desa tetangga, Kariago. Tembakan kemudian berbalas tembakan, dentingan badik dan golok bersahutan, desing tombak dan anak panah membuat pagi yang hening menjadi riuh oleh teriak dan jerit ketakutan. Pagi itu menjadi pagi berdarah di Padangsappa. Akibat pertikaian itu, hingga Jumat pagi tercatat 13 orang tewas, termasuk seorang bocah berusia delapan tahun dan bayi yang diperkirakan berusia satu bulan, dan sedikitnya 40 unit rumah terbakar. Pertikaian ini menyebabkan 200 kepala keluarga mengungsi ke Polsek Bupon. Jalur transportasi di poros selatan, menuju daerah ini dan Sulawesi Tengah, lumpuh total. Padangsappa memang rawan konflik. Tercatat, selama dua tahun terakhir, tidak kurang terjadi lima kali bentrokan serupa. Penyebab bentrokan kali ini, menurut Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Firman Gani, dipicu oleh tewasnya Andi Syairi, 1 Agustus lalu. Kematian Andi Syairi diyakini Ketua Pengurus Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Luwu (IPMIL), Annas Ahmad, merupakan pencetus dari akumulasi kecemburuan sosial. Menurut Annas, pertentangan antarkampung?Padangsubur dan Kariago?sudah berlangsung lama. Menurut dia, warga pendatang yang mendiami Padangsubur sering tidak seiring dengan penduduk lokal di Kariago. Kini tengah diupayakan adanya pertemuan di antara tokoh-tokoh masyarakat Luwu untuk meredam pertikaian dan mematikan potensi konflik lanjutan. Polda Sulawesi Selatan sendiri sudah menahan tiga orang yang diduga menjadi pelaku kerusuhan. Hingga Jumat siang, suasana di Padangsappa masih mencekam, walaupun pertikaian sudah bisa dihentikan. Malang DENGAN langkah perlahan, Muhadi Siswoyo, 47 tahun, memasuki Rumah Sakit Dr. Syaiful Anwar, dengan ditemani istrinya, Mistin Yuliani, 45 tahun. Saat itu, Selasa pekan lalu, kondisi guru SD itu sudah sangat parah. Ia tampak kesakitan, tangannya terus memegangi dada kirinya. Apa lacur, bukan pertolongan yang didapat, tapi pertanyaan dari perawat di instalasi rawat darurat (IRD), yang meminta surat rujukan. Karena tidak membawa, permintaan Mistin agar suaminya dirawat ditolak. Muhadi disuruh berobat ke ruang poli penyakit dalam, yang terletak di lantai dua rumah sakit tersebut. Tertatih Muhadi berusaha menaiki tangga. Saat ia menunggu panggilan untuk pemeriksaan, takdir berkehendak lain. Muhadi meninggal dunia dalam posisi duduk di ruang tunggu, 35 meter dari ruang IRD. Peristiwa ini sangat disesali oleh Mistin. Menurut dia, jangan karena persoalan teknis dan prosedur, masalah kemanusiaan, yang merupakan kewajiban rumah sakit, dikesampingkan. Direktur RSUD Dr. Syaiful Anwar, dr. Aman Ardjito Endarso, mengakui bahwa kesalahan itu karena faktor manusia. Ia mengakui bahwa untuk mendapatkan layanan dari IRD, calon pasien harus membawa surat rujukan. Tapi aturan tersebut seharusnya tak diterapkan secara kaku, apalagi ketika melihat kondisi pasien yang sudah parah. Perlakuan rumah sakit ini kontan mendapat reaksi keras. Sekretaris Komisi E DPRD Kota Malang, Sri Ummiyati Hartiningsih, menyatakan sangat menyesalkan sikap petugas IRD. Ia melihat kasus ini bukan karena kesalahan manusia semata. Menurut dia, karena rumah sakit merupakan tempat untuk mendapatkan pelayanan, seharusnya prosedur yang dibuat tidak boleh menyulitkan masyarakat. Sampang SETELAH sekian bulan dalam keadaan tenang, pekan lalu Kota Sampang di Pulau Madura kembali memanas. Kali ini, hal tersebut dipicu oleh adanya berita bahwa Fadhilah Budiono akan dilantik menjadi Bupati Sampang. Kabar ini mencuatkan amarah di kalangan penentang Fadhilah, Rabu minggu lalu. Genderang perang dipukul oleh Puji Raharjo, Wakil Ketua DPC PKB Kabupaten Sampang. Menurut dia, jika pelantikan tetap dipaksakan, masyarakat yang menolak Fadhilah siap membakar seluruh sentra kekuatan pemerintahan Kabupaten Sampang sampai hancur. Dengan begitu, kata Puji, meskipun Fadhilah menjadi bupati, pemerintahannya tidak akan berjalan karena kekuatan administrasinya berantakan. Keberatan pihak penentang Fadhilah ini karena sampai sekarang keputusan proses hukum menyangkut keabsahan pemilihan bupati belum ada kepastian dari Mahkamah Agung (MA). Dalam suratnya bertanggal 20 April 2001, dan ditujukan kepada Ketua DPRD Jawa Timur, MA menyatakan, poin yang mendasari belum bisa terbitnya fatwa MA adalah perkara di PTUN Surabaya antara FKB (penggugat) dan ketua panitia pemilihan bupati dan wakil bupati Sampang periode 2000-2005 (selaku tergugat) masih dalam proses hukum. Di sisi lain, Ketua DPRD Sampang, Mohammad Hasan Asy'ari, yang juga Ketua DPC PPP Sampang, menyatakan bahwa pemilihan Bupati Sampang tidak ada masalah. Menurut dia, semua prosedur telah sah dan Fadhilah terpilih berdasarkan hasil perhitungan suara. Untuk itu, Hasan, atas nama DPRD Sampang, telah mengirim surat kepada Presiden Megawati untuk segera melantik Fadhilah sebagai bupati. Fadhilah Budiono sendiri tetap memilih tinggal di rumah dinas Bupati Sampang. Padahal, sejak kasus pemilihan Bupati Sampang mencuat, jabatan Bupati Sampang dipegang langsung oleh Gubernur Jawa Timur dan Sekretaris Daerah Kabupaten Sampang. Kupang BEGINILAH kalau amarah sudah berkecamuk. Kekasih pun dibantai. Jumat pekan lalu, pelaku mencincang korban menjadi tujuh bagian. Potongan besar tubuh korban dibuang di laut. Pantai tempat pembuangan bagian tubuh korban ini jauhnya 12 kilometer dari Maulafa, tempat kejadian. Walau jejak pembunuhan dicoba dihapus, hanya delapan jam setelah peristiwa ini, polisi berhasil membekuk pelakunya. Korban diketahui bernama Nur Indrawaty, 17 tahun, warga RT 06/RW 03, Kelurahan Sikumana. Sedangkan pelakunya adalah Djarot Subroto, 24 tahun, seorang pegawai honorer di puskesmas pembantu Maulafa, Kota Kupang. Djarot mengaku, perbuatan biadabnya ini dilakukan karena korban telah hamil dua bulan akibat perbuatannya. Ia merasa kesal karena setiap hari korban meminta pertanggungjawaban. Karena tidak tahan dengan permintaan korban, ia nekat menghabisi korban dengan sadistis. Djarot saat ini sedang dalam tahanan Polda NTT. Akibat perbuatannya ini, ia terancam hukuman setidaknya 20 tahun penjara atau maksimal hukuman mati. Johan Budi S.P., Agus Hidayat, dan kontributor daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus