Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tipu Daya Sinar Mas?

Piutang Asia Pulp & Paper senilai US$ 1 miliar kepada lima perusahaan yang berdomisili di British Virgin Islands terancam hilang tak berbekas. Benarkah kelimanya fiktif?

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau ada perusahaan yang terbelit utang US$ 13 miliar dan piutangnya dilarikan sebesar US$ 1 miliar, perusahaan itu bernama Asia Pulp & Paper (APP). Utang itu jumlahnya terlalu besar, setidaknya sebagai utang yang sebagian besar dananya diperoleh dari menjual surat utang. Di sisi lain, piutangnya juga terlalu besar untuk bisa lenyap begitu saja. Baik modus operandi utang maupun piutang terlalu fantastis untuk bisa dipercaya. Tapi, karena di balik semua itu ada Asia Pulp & Paper, kejutan yang menyertai informasi itu segera berkurang. Selama satu tahun terakhir ini, APP nyaris identik dengan hal-hal yang sukar dipercaya. APP adalah perusahaan yang berada di bawah payung Sinar Mas Group dan terdaftar di Singapura. Selain utang begitu besar, masalah terbaru yang dihadapinya adalah piutangnya di lima perusahaan British Virgin Islands senilai US$ 1 miliar. Piutang sebesar itu ter-ancam hilang. Padahal, pada saat yang sama, APP tengah menegosiasi penyelesaian utang sebesar US$ 13,4 miliar di banyak kreditor kelas dunia. Selain itu, ada pula sembilan kreditor yang mengajukan gugatan kepada perusahaan milik Eka Tjipta Widjaya tersebut. Salah satu gugatan dilakukan di AS dengan tuduhan membuat laporan keuangan palsu. Situasi ini bertolak belakang dengan kondisi APP se-belum akhir tahun lalu. Sebelum itu, hampir semua bank besar dan lembaga keuangan kelas dunia berlomba-lomba memberi pinjaman kepada APP. Tak mengherankan jika utang perusahaan pulp dan kertas terbesar di Asia itu (minus Jepang) sampai berjumlah US$ 13,4 miliar. Utang itu meningkat pesat dari tahun 1994, yang masih US$ 2,4 miliar, dan US$ 9,1 miliar pada 1998. Tapi utang APP yang berjibun itu kini sudah menjadi cerita usang. Yang terjadi dengan APP sekarang benar-benar sebuah kemalangan yang luar biasa. Dan itu tak cuma ditanggung oleh keluarga Eka Tjipta atau pemegang saham pengendali yang lain, tetapi juga oleh para pemegang saham, kreditor, dan mitra dagang mereka. Harga saham APP di New York Stock Exchange jatuh dari US$ 7,5 pada April 1999 menjadi hanya US$ 0,12 pada April 2001, atau anjlok 98,4 persen. Itu sebabnya, perdagangan saham APP di New York Stock Exchange dihentikan dan bahkan terancam dikeluarkan (delisting) dari papan perdagangan. Para kreditor pun harus bersiap gigit jari karena banyak analis yang meramalkan, utang mereka paling banter bisa kembali 10 persen. Kemudian, Maret lalu APP mengajukan penghentian pembayaran cicilan bunga dan utang pokok (debt standstill). Sejak itu, berbagai cerita seru muncul satu per satu. Ada kisah tentang piutang dagang senilai US$ 1,02 miliar milik tiga anak perusahaan APP?Indah Kiat Pulp & Paper, Tjiwi Kimia, dan Pindo Deli?kepada lima perusahaan di Virgin Islands, masing-masing Lucky Clover, Red Chips International, City Success, Shinning Armour International, dan Yale Han Trading. Ketiga anak perusahaan APP ini semuanya beroperasi di Indonesia. Indah Kiat berpiutang senilai US$ 472,3 juta, Tjiwi Kimia US$ 354,3 juta, dan Pindo Deli US$ 191,8 juta. Piutang dagang yang berasal dari transaksi jual-beli biasa ini kemudian macet. Ketiga anak perusahaan APP tersebut, yang diwakili Kantor Pengacara Hotman Paris & Partners, menggugat lima perusahaan itu secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dalih wanprestasi. Salah satunya adalah Tjiwi Kimia, yang menggugat City Success karena perusahaan di Virgin Islands ini tidak membayar pesanan mereka senilai US$ 97,2 juta. Gugatan tersebut sudah didaftarkan pada 10 Juli lalu. Menurut Hotman Paris, gugatan ini baru akan disidangkan Oktober mendatang. "Tuntutan kita adalah piutang dagang itu dibayar," kata Hotman. Dari gugatan ini muncullah kasus aneh bin ajaib. Kelima perusahaan tadi diduga keras punya kaitan erat dengan APP. Tujuan dari semua permainan ini tak lain adalah untuk memindahkan sejumlah uang untuk kepentingan di luar APP. Kecurigaan datang dari surat kabar The Asian Wall Street Journal. Selain nilai piutang dagang yang sangat besar?hampir sepertiga penjualan APP pada 1999?menurut sejumlah analis dan pelaku pasar pulp dan kertas, tidak pernah terdengar ada lima per-usahaan tersebut. Harian itu kemudian menemukan sejumlah fakta yang mengarah pada bukti-bukti bahwa ada kaitan antara kelima perusahaan tersebut dengan keluarga Widjaya. Tentu ada bukti-bukti yang mendukung, misalnya ada sejumlah pegawai APP yang juga bekerja untuk kelima perusahaan tersebut. Dan ketika dikontak, operator telepon kemudian menghubungkannya dengan APP. The Wall Asian Street Journal bahkan mewawancarai sejumlah pekerja atau orang yang pernah bekerja di lima perusahaan yang mengaku juga merangkap bekerja di APP. Salah satunya adalah Alan Chin, yang menjadi agen The Shining Armour selama dua bulan dan pada saat yang sama dia bekerja di Departemen Pe-masaran APP. "Saya digaji APP," kata Chin seperti dikutip The Asian Wall Asian Street Journal, edisi 28 Agustus 2001. Surat gugatan yang diajukan Hotman Paris & Partners juga menunjukkan bahwa kelima perusahaan tersebut memiliki alamat pos yang sama, yakni PO Box 957, Offshore Incorporations Centre, Road Town, British Virgin Islands. Kelima perusahaan itu juga didaftarkan di Singapura, bahkan empat di antaranya didaftarkan pada tanggal yang sama. Mereka juga menutup bisnisnya di Singapura pada tanggal yang sama, yaitu 9 Februari 2001. Fakta-fakta itu makin memperkuat dugaan bahwa kelima perusahaan tersebut punya kaitan yang erat dengan Sinar Mas. Dua analis pasar modal yang dihubungi TEMPO menduga kuat bahwa kelima perusahaan itu memang sengaja dibentuk dan kemudian dibubarkan untuk kepentingan APP. Kepala Riset Nomura Securities, Goei Siauw Hong, melihat ada kemungkinan APP menggunakan kelima perusahaan tersebut sebagai kendaraan untuk mengalihkan duit yang ada padanya. Selain itu, sangat mungkin juga kelima perusahaan itu dipakai untuk penyaluran dana bagi kepentingan para pemegang saham APP. "Ini baru dugaan, karena secara legal belum terbukti," kata Hong. Analis perusahaan asing juga punya dugaan yang sama. "Meskipun sulit dibuktikan, saya yakin lima perusahaan itu fiktif," katanya. Mungkin saja, kelimanya terdaftar secara resmi, tapi tak punya kegiatan. Tentu saja, semua dugaan itu dibantah oleh Hotman Paris Hutapea. Menurut dia, penelusuran yang dilakukan The Asian Wall Asian Street Journal punya banyak kelemahan. Soal pegawai APP yang juga bekerja di lima perusahaan itu, misalnya. "Sebagai dua perusahaan yang punya hubungan bisnis cukup lama, wajar dong APP menempatkan orangnya di sana," kata Hotman. Dia mengungkapkan bahwa hubungan bisnis itu sudah terjalin selama lima tahun dan baru belakangan ada perselisihan. Dan APP menggugat kelimanya untuk mendapatkan kepastian hukum, terutama berkaitan dengan proses restrukturisasi utang yang sedang berlangsung. Dia juga menolak keras tudingan bahwa kelima perusahaan itu didirikan untuk menghilangkan jejak. Terlepas dari siapa yang benar, kasus seperti ini sudah jamak terjadi di Indonesia. Pada tahun 1990-an, banyak perusahaan Indonesia yang membentuk perusahaan fiktif untuk menangguk pinjaman dari bank dan kemudian dipakai untuk kepentingan pemiliknya. Analis perusahaan sekuritas asing tadi menunjuk kasus Panca Overseas Finance dan Semen Cibinong?dua contoh terbaru kasus seperti itu. Di Semen Cibinong, misalnya, ada deposito yang raib senilai US$ 250 juta. Bagi per-usahaan yang punya utang US$ 1,2 miliar, hilangnya deposito tersebut jelas sebuah ke-anehan. Tak hanya bagi para kreditornya, tapi juga para pemegang sahamnya. Tapi, sampai sekarang duit tersebut tak bisa dilacak. Bahkan, pemegang saham Semen Cibinong setuju utang tersebut dihapusbukukan (write off). Hal yang sama terjadi dengan Panca Overseas, yang tak bisa dilacak keberadaannya. Modus yang terjadi pada APP sebetulnya tak jauh berbeda. Ada piutang yang jumlahnya sangat besar yang kemudian tiba-tiba lenyap. Meskipun ada upaya untuk menggugatnya, Hong tak yakin duit itu bakal kembali. Analis tadi menambahkan bahwa kasus ini sebetulnya sudah tercium lama, tapi belum ada yang bisa membuktikannya. Kalaupun kasus ini sekarang terungkap, itu lebih karena adanya gugatan dari ketiga anak perusahaan APP. Yang membedakannya, tempat kejadian ini di Singapura, meskipun yang melakukannya tetap saja perusahaan Indonesia. "Ini baru pertama terjadi di Singapura, dan kasus itu bakal menjadi batu ujian bagi Singapura untuk me-nyelesaikannya," kata Hong. Indonesia sendiri, menurut Hong, memang tak banyak terpengaruh, karena semua kejadian itu berlangsung di luar Indonesia. "Dampaknya mungkin pada investasi, karena anak perusahaan yang terlibat berbadan hukum Indonesia," katanya. Apakah ada dampak buruknya atau tidak, yang pasti nama Indonesia kembali tercoreng. Paling tidak, ulah per-usahaan Indonesia yang suka mendirikan perusahaan fiktif ternyata dilakukan juga di luar negeri. M. Taufiqurohman, Tomi Lebang, I G.G. Maha Adi, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus