Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada Rotan Ada Tiruannya

Taiwan berhasil membuat rotan tiruan. Bahan bakunya dari kayu lapis yang diproses sedemikian rupa. Dan mulai meramaikan pasar dengan mebel dari bahan baku tersebut. Potensi rotan indonesia tak diragukan.

28 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Indonesia menyetop kran ekspor bagi rotan mentah maupun produk rotan setengah jadi, industri permebelan di Taiwan tidak mati dengan sendirinya. Kini Taiwan malah balik mengancam, dengan memproduksi mebel yang terbuat dari rotan tiruan. Bahan bakunya tentu bukan rotan, tapi kayu lapis yang juga diimpor oleh Taiwan dari Indonesia dan Malaysia. Kayu lapis itu diproses sedemikian rupa, hingga menjadi bubur kayu, untuk pada tahap akhir dibentuk menyerupai rotan. Satu penemuan teknologi yang dua tahun silam belum terlalu dipedulikan oleh Indonesia, karena diragukan keberhasilannya. Tapi sekarang masalahnya jadi lain. Mengingat jaringan ekspor Taiwan yang sangat rapi di AS dan Eropa, maka paling tidak, produk rotan tiruan itu akan menggoyang ekspor produk rotan Indonesia. Apalagi kalau produk Taiwan itu murah. Setidaknya, sejumlah konsumen di mancanegara akan beralih ke barang tiruan. Paling tidak ya, tergoda. "Kondisi peralihan itu otomatis mengguncang pasaran yang sudah stabil," kata Maradu, kepala bagian umum dari CV Lariza, salah satu dari empat eksportir rotan di Sumatera Utara. Tapi Ketua Umum Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia, Bob Hasan, nampaknya tak bergeming. Alasannya, jumlah rotan tiruan itu masih kecil. Sifat-sifat barang tiruan itu pun sangat berbeda dari rotan asli. Sehingga, "Rotan tiruan dari Taiwan tidak akan mengancam, atau menjadi pesaing berat bagi produk rotan asli dari Indonesia," begitu komentar Bob Hasan, seperti dikutip Kompas, pekan lalu. Mohamad Amid sependapat dengan Bob. Bos Asia Permai Group ini yakin, rotan Indonesia tetap akan menguasai pasaran internasional meskipun "disaingi" oleh rotan tiruan Taiwan. "Saya kira harganya akan lebih mahal daripada rotan asli," tutur pengusaha yang sudah mengekspor barang rotan senilai hampir 220 juta dolar AS itu. Pertimbangannya: biaya membuat rotan tiruan jauh lebih mahal ketimbang biaya mengambil rotan dari hutan di Indonesia. Sebuah perusahaan Taiwan, Kent Furniture Manufacturing Co. Ltd., misalnya, sudah mulai menjual produk rotan tiruannya yang memang mirip dengan produk rotan asli. Dia memanfaatkan teknologi pemanasan, lalu penekanan atau "pressing", yang tentu membutuhkan investasi besar. Belum lagi biaya tenaga kerjanya. Desain produk, bagaimana? Menurut Amid, itu pun tak jadi soal. "Mebel rotan yang diekspor ke Jepang dan Amerika didesain oleh mereka. Jadi, kami hanya membuat saja," kata Amid. Dia justru agak curiga pada Taiwan. "Jangan-jangan itu hanya move Taiwan saja, untuk menjatuhkan pasaran rotan kita," katanya lebih lanjut. Sebab, dulu, mereka pun pernah membuat move, ketika Indonesia melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Taiwan bilang akan mengimpor rotan dari Brunei dan Papua Nugini. "Ternyata, itu hanya isapan jempol belaka," ujar Presdir Asrijati Indonesia Rotan Industries, satu dari 18 anak perusahaan Asia Permai Group yang sudah go public itu. Meskipun potensi rotan Indonesia tak diragukan, pengusaha rotan Indonesia perlu waspada. Ini pendapat sumber TEMPO di Departemen Perindustrian yang tak mau disebut namanya. Pemerintah sudah memberi keleluasaan bahan baku, dengan melarang ekspor rotan mentah maupun rotan setengah jadi. Selanjutnya banyak bergantung pada pengusaha mebel rotan itu sendiri, untuk mengadaptasi teknologi dan menggarap pemasarannya. Mestinya, "Pembeli lebih suka rotan asli daripada imitasinya," kata sumber tersebut. Itu juga pendapat Maradu, pengusaha dari Medan, yang menganjurkan agar Indonesia meningkatkan kualitas serta desain produk rotannya. Ia juga menganggap penting adanya pertemuan khusus antara sesama pengusaha rotan, untuk membahas jurus jurus menangkal ancaman Taiwan. Sebab, bagaimanapun, "Persaingan dengan Taiwan tidak bisa dianggap enteng." Suhardjo Hs., Sidartha Pratidina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus