KETIKA nilai tukar NTS (National Taiwan dolar) terhadap dolar AS mengalami apresiasi -- terakhir sampai 40% -- terjadi gejolak. Seperti yendaka di Jepang, menguatnya dolar Taiwan telah menggoyahkan industri dalam negeri terutama kelas menengah dan kecil. Apresiasi itu sendiri tak lepas dari surplus perdagangannya dengan AS (lihat Gaya Taiwan Mencari Lahan). Dewasa ini ekonomi Taiwan memasuki babak baru. Dan susunan kabinet yang disahkan Rabu pekan lalu oleh Komite Tetap Pusat Kuomintang -- partai berkuasa di Taiwan -- mencerminkan adanya perhatian lebih besar pada perbaikan ekonomi. Mereka hendak mengembangkan kebijaksanaan yang digariskan mendiang Presiden Chiang Chingkuo, di antaranya menyangkut kelonggaran terhadap lalu lintas devisa. Sesuai dengan kebijaksanaan baru, setiap warga Taiwan dibolehkan membawa US$ 5 juta ke luar negeri per tahun. Sasarannya adalah menggalakkan investasi di mancanegara. Pengembangan pasar dan tenaga buru yang lebih murah adalah dua hal yang mempercepat gerak mereka. Contohnya, rencana Y.J. Wu, presiden perusahaan pengolahan batu-batuan di Taipei. Pasarnya sudah bagus, terutama di AS. Tapi, katanya, dengan apresiasi NTS dan tenaga buruh makin tinggi, keputusan mengembangkan pabrik harus diambil. Ia memilih Indonesia dan menyiapkan investasi sebesar NT$ 20 juta (sekitar Rp 1 milyar lebih). Pemerintah Taiwan menyetujui US$ 1,3 milyar untuk investasi di ASEAN sepanjang tahun 1988. Jatah untuk Indonesia US$ 300 juta, ini pun sekitar US$ 200 juta sudah termasuk dalam rencana perluasan pabrik pulp dan kertas PT Indah Kiat Pulp & Paper. Jadi, untuk investasi 1988, Indonesia praktis hanya kebagian sekitar US$ 100 juta -- jauh di bawah Muangthai, yang dijatahkan US$ 500 juta. "Indonesia bagi kami memang tidak begitu atraktif," kata deputi direktur Badan Perdagangan Luar Negeri Kementerian Ekonomi, Ma Chyanyih. Dari Taipei, pejabat ekonomi yang berpengalaman internasional -- di Jakarta empat tahun dan di Tokyo sembilan tahun -- ini tak mau berbasa-basi. Ma, 55 tahun, menambahkan, "Kondisi kehidupan di Indonesia menjadi alasan penting. Di Muangthai atau Malaysia, umpamanya, kami leluasa membaca koran Taipei dan bisa menyekolahkan anak-anak, sehingga para investor itu bisa pula membawa keluarga. Sedangkan di Jakarta, mana mungkin begitu." Memang tak semua pengusaha menuntut hal-hal yang disebutkan Ma. Banyak juga pemodal Taiwan masuk ke Indonesia, ataupun ke negeri-negeri lain, tanpa lebih dulu minta persetujuan pemerintah. Ini diakui pejabat di Taipei. Tak heran bila, berdasarkan catatan resmi, seluruh investasi Taiwan ke luar pada tahun 1987 hanya US$ 100 juta. Menurut John Ni, direktur jenderal Pusat Pengembangan Industri dan Investasi Taiwan, jumlah yang sebenarnya bisa sembilan kali lipat. Di Muangthai saja, pada tahun 1987 investasi Taiwan tak kurang dari US$ 560 juta. Sementara itu, jika berdasarkan catatan resmi, dari 1967 sampai Mei 1988 hanya ada 11 perusahaan, dengan nilai total investasi US$ 414,37 juta, yang tanam modal di Indonesia. Jelas, ini tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya. Lagi pula, seperti kata Calvin Chen, pejabat Kamar Dagang Taiwan di Jakarta, para pemodal masih melihat Indonesia memiliki faktor-faktor menguntungkan lainnya. "Dibanding Muangthai, Malaysia, atau Filipina, di sini kondisi politiknya lebih stabil. Indonesia juga berpeluang memanfaatkan fasilitas GSP dan tenaga buruhnya relatif lebih murah dibanding negara ASEAN lainnya. Lagi pula, sudah ada deregulasi," kata Calvin Chen. Persoalannya, sejauh mana informasi itu diketahui calon investor. Ada pula keluhan dari sebagian pengusaha, yang merasa mendapatkan pelayanan nomor dua dibanding investor Jepang. Ini dibantah oleh seorang pejabat BKPM. Mungkin saja di BKPM tidak, tapi di instansi lain terjadi. Lagi pula hubungan resmi Taiwan-RI masih dalam tingkat kontak dagang. Barangkali di sini masalahnya. Tapi tak semua usaha patungan Indonesia -- Taiwan merasa dipersulit. Coba dengar pengalaman PT Indah Kiat Pulp & Paper Corp., yang berdiri tahun 1976 dengan investasi pertama US$ 367 juta. Pelbagai perluasan telah diizinkan, sehingga tahun 198 ini sanggup memproduksi kertas 80 ribu ton dan pulp 100 ribu ton. Presdir Indah Kiat Pulp, Teguh Ganda Widjaja, menyatakan, "Bermitra dengan orang Taiwan juga menyenangkan. Mereka tak banyak tingkah dan lihai melakukan efisiensi. Misalnya ketika merakit mesin, tak harus mengandalkan satu sumber yang mahal, tapi comot sana-sini dengan harga lebih murah, sedang kualitas tetap bagus." Mohamad Cholid dan Budiono Darsono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini