TAK sejengkal pun tanah di Jepang diblarkan tanpa manfaat. Di daerah pinggiran, di setiap petak tanah adalah tanaman budi daya. Di kawasan perkotaan, gedung-gedung jangkung dan pabriklah yang ditanam. Cukup? Rupanya, tidak. Kini, dasar laut pun akan dibudidayakan agar men)adi penghasil komoditi. Dalamnya laut memang mudah diduga, tapi membuat tumbuhan bisa bertahan hidup di dasar laut, sungguh, bukan perkara sepele. Pasalnya, tumbuhan memerlukan cahaya untuk kelangsungan hidupnya. Celakanya, cahaya matahari sering tak mampu menembus sampai dasar laut, apalagi jika kondisi laut terhitung keruh. Apa akal? Para peneliti dari perusahaan konstruksi Shimizu dan Mitsubishi Heavy Industries bahu-membahu mencari cara agar sinar matahari bisa lebih dalam menembus air laut. Proyek ini mereka sebut sebagai sistem budi daya tanaman dalam air. Sasaran mereka adalah menanamkan rumput laut pada kedalaman 20-30 meter. Selama ini Jepang masih banyak mengimpor rumput laut -- yang digunakan dalam makanan mereka -- termasuk dari Indonesia. Ikhtiar peneliti Jepang itu merupakan reaksi terhadap gejala kian menurunnya kejernihan air laut seputar Jepang. Kendati pengawasan terhadap industri begitu ketat, dalam deraat yang rendah pencemaran laut tetap saja berlangsung. Begitulah, kini sinar matahari tak leluasa lagi menyentuh dasar laut. Partikel-partikel bahan cemaran rumah tangga dan industri menghadangnya di tengah jalan. Akibatnya, "Produktivitas karbohidrat di dasar laut menurun," kata seorang peneliti. Eksperimen untuk menghadirkan cahaya ke dalam laut dilakukan oleh peneliti swasta itu, belum lama berselang, di Teluk Miyazu, yang berhadapan dengan Laut Jepang. Sebuah kapal milik Mitsubishi, bernama Shimoseki, mengangkut perangkat budi daya tanaman laut itu ke teluk. Peralatan itu sepintas mirip pelampung suar. Terdiri atas pipa besi sepanjang 10 meter, bergaris tengah satu meter, yang di bagian bawahnya terdapat dudukan dari pelat-pelat besi antikarat. Sebuah pelat beton berangka besi digantungkan di bawahnya sebagai pemberat. Sesuai dengan panjang pipa, perangkat itu ditempatkan di laut dangkal. Ketika diceburkan ke laut, beton pemberat, tentu saja langsung menukik ke dasar. Beton pemberat ini, selain diharapkan tempat tumbuhnya rumput-rumput laut, juga diharapkan menjadi pelindung bagi ikan. Pemberat boleh tenggelam sampai dasar, tapi batang pipa dan dudukannya akan tetap mengapung. Harap diketahui, mulut pipa itu bagian bawah tertutup oleh lensa Fresnel, yang bisa menyebarkan cahaya. Lantas dudukannya juga terbuat dari pelat besi yang bersusun membentuk silinder besar, serba tertutup. Baik pipa maupun silinder dudukannya berisi udara dan kedap air. Maka, bangunan yang mirip rambu laut itu bisa melayang lantaran lebih ringan ketimbang air. Di dekat mulut pipa bagian atas, terpasang cermin datar bundar bergaris tengah dua meter, untuk menangkap cahaya matahari dan memantulkannya ke dalam pipa, untuk selanjutnya disebarkan ke dasar laut oleh lensa Fresnel. Kaca pemantul itu bisa berputar secara otomatis, mengikuti posisi matahari. Gerak putar itu dimungkinkan berkat adanya sensor peka, yang mampu mencari posisi matahari. Lewat sebuah mikroprosesor, sensor melaporkan kedudukan matahari. Lantas keluar perintah dari mikroprosesor agar sistem mekanik yang ada memutar kedudukan cermin ke arah matahari. Sistem mekanik di situ digerakkan oleh sebuah motor kecil yang tak membutuhkan bensin atau solar. Panil-panil sel surya terpasang di situ untuk menangkap energi surya dan mengubahnya menjadi tenaga listrik. Pada percobaan Shimizu dan Mitsubishi, peralatan itu masih belum efisien betul untuk menyinari dasar laut. Ketika hari cerah dengan intensitas radiasi surya sekitar 7 ribu luks, cahaya yang sampai ke dasar laut kekuatanya hanya 2.500 luks. Areal pencahayaan itu berada 5-6 meter dari permukaan, dan luasnya sekitar 7 m2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini