DALAM banyak hal, pembangunan telah berhasil meningkatkan kemampuan produksi, hanya saja, sampai sekarang masih banyak yang mubazir. Pekan silam misalnya, seorang ibu pengurus kelompok tani di Sulawesi Utara meminta langsung kepada Presiden Soeharto, agar mencarikan pasar kubis ke Irian Jaya. Harus diakui, mencari pasar -- biarpun domestik -- acap jauh lebih sulit ketimbang memproduksi barang. Karena itu, diperlukan tata niaga, yang merupakan bagian dari kegiatan Departemen Perdagangan. Dalam tahun-tahun terakhir ini, departemen yang berkantor di Jalan Menteng Raya itu semakin banyak mengendurkan tata niaga, demi lancarnya pemasaran dan impor bahan baku. Tapi deregulasi saja belum cukup. Rabu pekan silam, Komisi VII DPR menanyakan pendapat Menteri Perdagangan Arifin Siregar, tentang perlu tidaknya UU Perdagangan yang baru. Pendahulunya, Rachmat Saleh, pernah juga diminta pendapatnya tentang itu. Ternyata, jawaban Arifin dinilai oleh Ketua Komisi VII H.A.A. Malik "sudah lebih maju". Sebenarnya, Menteri sudah mulai mempelajari kemungkinan dibuatnya UU Perdagangan, tapi ia menemukan kesulitan yang mendasar. Masalahnya menyangkut pengertian tata niaga nasional. Seperti dikatakannya pekan lalu, "Pengertian tata niaga adalah sistem perdagangan/distribusi nasional, yang diartikan sebagai upaya mencapai keseimbangan produksi dan konsumsi, yang berwujud dalam kelancaran arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen." Persepsi itu berbeda dengan rumusan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (DPKN) dalam diskusi Juli 1987. DPKN lebih melihat tata niaga nasional sebagai tatanan yang mengatur mekanisme itu. Jelas, ada perbedaan. Sementara itu, selama UU Perdagangan belum ada, maka akar kebijaksanaan perdagangan masih akan bertebaran di berbagai undang-undang. Menteri mengatakan, sekarang ada 13 UU tentang perdagangan. Jumlah sebanyak itu justru dipandang sebagai kelemahan oleh Komisi VII. "Sebab, tidak ada pegangan yang jelas, sehingga bisa timbul hal-hal yang tak diinginkan. Ada yang mengatakan ekonomi kita sudah melenceng jadi liberalis," kata Malik. Gejala-gejala tindakan liberalis, seperti dikatakan anggota komisi VII DPR dari FKP Novyan Kaman, S.H., kepada TEMPO, antara lain berbentuk pengoperan atau perebutan hak keagenan. Novyan tidak menyebut contoh, tapi apa yang dikatakannya memang pernah terjadi di sini. Sengketa keagenan mobil Nissan antara Marubeni dan Affan Bersaudara, misalnya. Kemudian perebutan saham perusahaan susu Indomilk, juga keagenan Coca-Cola di Sulaesi Utara. Selain itu, konon, banyak pengusaha pribumi lain yang dengan susah payah membuka pasar, tapi akhirnya harus mengoperkan hak keagenannya kepada perusahaan yang lebih kuat. Contoh yang disorot sekarang adalah Surat Keputusan (SK) Departemen Perdagangan bulan lalu, yang mempercepat larangan ekspor rotan setengah jadi. Banyak kalangan menduga, SK tersebut keluar, hanya karena lobby Ketua Himpunan Pengusaha Rotan (HPRI), yang dipimpin pengusaha kuat Bob Hasan. "Apakah sudah dipikirkan dampaknya pada petani, dan pengusaha menengah perajin rotan setengah jadi? Kini mereka hanya bisa menjual produknya kepada asosiasi yang dipimpin Bob Hasan. Kalau asosiasi itu membuat PT, bukan tidak mungkin harga rotan dipermainkan," kata Novyan Kaman, kepada TEMPO pekan silam. Kekhawatiran seperti itu bukannya tanpa dasar. Importir yang ditunjuk untuk pelat timah (PT Giwang Selogam) diributkan kalangan pengusaha industri makanan kaleng, bulan lalu. "Mentang-mentang monopoli, Giwang Selogam seenaknya menaikkan harga pelat timah sampai 25%. Akibatnya, kami tidak bisa mengekspor sarden kaleng," kata sumber TEMPO dari PT Borsumij Wehry Indonesia. Tanri Abeng, dirut perusahaan minuman PT Multi Bintang, mengaku sering pusing, sejak adanya monopoli pelat timah oleh PT Giwang Selogam. Harga kaleng terus terkerek naik. "Sekarang, harga kemasan kaleng saja sudah mencapai 405% dari nilai isi minuman bir," katanya. Bulan lalu, para pengusaha pemakai bahan baku plastik juga mendesak DPR agar pemerintah melaksanakan deregulasi tata niaga impor bahan baku plastik. Sebelumnya, tata niaga gaplek, minyak sawit, dan minyak tengkawang juga diributkan. Di samping itu, "BRO (Bedrijfts Reglementering Ordonnantie) merupakan biang keributan dari berbagai SK Departemen Perdagangan," kata Zachri Achmad, pengusaha pariwisata yang baru saja melepaskan jabatan Ketua GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia). Sebab, peraturan BRO -- notabene warisan zaman kolonial Belanda -- menetapkan bahwa semua perusahaan adalah perusahaan dagang. Artinya, semua perusahaan harus diatur oleh Departemen Perdagangan (dulu sebenarnya direktur perekonomian). Padahal, kini, banyak perusahaan BRO sudah "direbut" Departemen Perindustrian dan Departemen Perhubungan. Lalu muncul banyak perusahaan baru, yang dulu tidak disebut-sebut BRO, misalnya, penerbitan pers, perusahaan rekaman, yang kini bernaung di bawah Departemen Penerangan, atau restoran dan pariwisata yang bernaung di bawah Direktorat Jenderal Pariwisata. Akibatnya, terkesan adanya persaingan, antara Departemen Perdagangan dan departemen atau direktorat lain, dalam mengatur gerak dan izin usaha. Untunglah, berbagai peraturan yang tumpang tindih itu sudah mulai disederhanakan oleh deregulasi. Misalnya, izin ekspor untuk produsen pakaian jadi atau izin perhotelan. Tanri Abeng memuji pemerintah, karena deregulasi Desember 1987 telah membebaskan perusahaan modal asing untuk mendistribusikan produk sendiri. "Kami tidak tahu apakah perlu UU atau tidak. Yang penting, lebih sedikit SK, lebih baik," kata bos Multi Bintang itu. "UU Perdagangan yang baru itu sangat diharapkan para pengusaha di Jawa Timur," kata Ketua Umum Kadin daerah Jawa Timur, Tubagus Mochtar Atmadja. "Itu bagaikan rebewes yang akan memberikan kepastian bagi pengusaha. Apalagi untuk daerah ini, yang sangat potensial untuk menjadi daerah eksportir terbesar," tambahnya. "Selain itu, UU Perdagangan bisa mengatur peranan tiga sokoguru perekonomian Indonesia (BUMN, swasta, dan koperasi) yang sekarang pincang," kata Novyan Kaman. Max Wangkar, dan laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini