Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jepang, Dalam Wajah Seadanya

Pameran fotografi Jepang di lobby jakarta theater, menyambut kunjungan nakasone. (md)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMETIK gitar itu berdiri agak canggung, ditonton segerombolan orang kampung. Di belakangnya tampak seorang akordeonis. Kemudian gubuk-gubuk darurat, dan puing. Sebuah potret yatlg teramat biasa. Judulnya sederhana saja, Pernainan Musik Anak-anak Muda di Reruntuhan. Tahunnya 1950. Jepang baru saja luluh lantak digasak bom atom. Kini, hasil jepretan Seiichi Kanai itu mampu berbicara banyak. Ia mengungkapkan suatu zaman, ketika Jepang belum dikenal melalui radio transistor dan kamera plastik. Ia bertutur tentang hari-hari yang pilu -- dengan jujur. Kesan wajar dan seadanya tampak dalam Pameran Fotografi Jepang, yang dibuka 23 April sampai 2 Mei di lobby Jakarta Theatre, Jakarta. Memajang 297 foto dari 195 pemotret, kesempatan ini digunakn untuk "memamerkan keadaan Jepang, menjelang kunjungan Nakasone ke Indonesia," seperti dituturkan K. Shiina, direktur Pusat Kebi dayaan Jepang. Penampilannya menjadi menarik, karena pameran ini tidak berusaha untuk tampak 'galak' dan gemerlapan. Periode yang dipilih adalah Jepang 1945-1980. Mengapa? "Karena mulai 1945 itu Jepang membangun negaranya kembali, dari bawah," kata Shiina kepada TEMPO. "Jepang lama sudah habis," ujarnya menambahkan. Tetapi ia tidak lantas cengeng. Beberapa foto dari Yosuke Yamahata dan Yoshio Watanabe, misalnya, menyajikan panorama korban bom atom, tanpa berusaha memancing iba. Ia lebih mengingatkan untuk berjaga-jaga. Sama seperti kesan melihat Penyakit Minamata, karya Shisei Kuwabara, tanpa protes yang menyalak. Dari pameran ini kita bisa belajar, foto yang sederhana pun bisa mengandung nilai dokumentasi yang tinggi. Beberapa foto bahkan tidak diketahui nama pemotretnya. Tetapi Asosiasi Fotografer Jepang -- penyelenggara pameran -- telah merawat foto-foto itu dengan teliti. Sehingga kemudian kita tidak kehilangan jejak. Didirikan pada 1949, asosiasi ini mulamula beranggotakan 20 pemotret profesional. Kini jumlah itu membengkak menjadi 1.400. Secara berkala asosiasi ini menerbitkan Sejarah Fotografi Kontemporer Jepang. Karya mereka juga digunakan sebagai ilustrasi buku pelajaran sejarah negeri tersebut. Sebagian besar foto yang dipamerkan hitam-putih. "Foto berwarna kurang tahan," kata Shiina mengutip kesimpulan para ahli foto Jepang. Menurut pengalaman mereka, katanya, dalam waktu 20 tahun warnanya akan berubah. Kesimpulan ini diakui sebuah sumber di Ipphos, kantor berita foto Indonesia tertua, yang paling banyak menyimpan foto dokumentasi sejarah. Fotografi masuk ke Jepang pada 1840. Tetapi baru seabad kemudian ia menemukan bentuk yang jelas. Dari saat itu pulalah dihitung periode foto kontemporer Jepang. Beberapa foto jurnalistik hadir dalam pameran ini. Misalnya Pemimpin Partai Sosialis Dibunuh oleh Golongan Kanan, karya Yasushi Nagao (The Mainichi, 1960) yang terkenal itu. Juga tampak beberapa foto "bugil" dan eksperimental. Tetap dalam penampilan seadanya, tidak dipaksakan. Karena itu tidak tampak aneh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus