PEMETIK gitar itu berdiri agak canggung, ditonton segerombolan
orang kampung. Di belakangnya tampak seorang akordeonis.
Kemudian gubuk-gubuk darurat, dan puing. Sebuah potret yatlg
teramat biasa. Judulnya sederhana saja, Pernainan Musik
Anak-anak Muda di Reruntuhan. Tahunnya 1950. Jepang baru saja
luluh lantak digasak bom atom.
Kini, hasil jepretan Seiichi Kanai itu mampu berbicara banyak.
Ia mengungkapkan suatu zaman, ketika Jepang belum dikenal
melalui radio transistor dan kamera plastik. Ia bertutur tentang
hari-hari yang pilu -- dengan jujur.
Kesan wajar dan seadanya tampak dalam Pameran Fotografi Jepang,
yang dibuka 23 April sampai 2 Mei di lobby Jakarta Theatre,
Jakarta. Memajang 297 foto dari 195 pemotret, kesempatan ini
digunakn untuk "memamerkan keadaan Jepang, menjelang kunjungan
Nakasone ke Indonesia," seperti dituturkan K. Shiina, direktur
Pusat Kebi dayaan Jepang.
Penampilannya menjadi menarik, karena pameran ini tidak berusaha
untuk tampak 'galak' dan gemerlapan. Periode yang dipilih adalah
Jepang 1945-1980. Mengapa? "Karena mulai 1945 itu Jepang
membangun negaranya kembali, dari bawah," kata Shiina kepada
TEMPO. "Jepang lama sudah habis," ujarnya menambahkan.
Tetapi ia tidak lantas cengeng. Beberapa foto dari Yosuke
Yamahata dan Yoshio Watanabe, misalnya, menyajikan panorama
korban bom atom, tanpa berusaha memancing iba. Ia lebih
mengingatkan untuk berjaga-jaga. Sama seperti kesan melihat
Penyakit Minamata, karya Shisei Kuwabara, tanpa protes yang
menyalak.
Dari pameran ini kita bisa belajar, foto yang sederhana pun bisa
mengandung nilai dokumentasi yang tinggi. Beberapa foto bahkan
tidak diketahui nama pemotretnya. Tetapi Asosiasi Fotografer
Jepang -- penyelenggara pameran -- telah merawat foto-foto itu
dengan teliti. Sehingga kemudian kita tidak kehilangan jejak.
Didirikan pada 1949, asosiasi ini mulamula beranggotakan 20
pemotret profesional. Kini jumlah itu membengkak menjadi 1.400.
Secara berkala asosiasi ini menerbitkan Sejarah Fotografi
Kontemporer Jepang. Karya mereka juga digunakan sebagai
ilustrasi buku pelajaran sejarah negeri tersebut.
Sebagian besar foto yang dipamerkan hitam-putih. "Foto berwarna
kurang tahan," kata Shiina mengutip kesimpulan para ahli foto
Jepang. Menurut pengalaman mereka, katanya, dalam waktu 20 tahun
warnanya akan berubah. Kesimpulan ini diakui sebuah sumber di
Ipphos, kantor berita foto Indonesia tertua, yang paling banyak
menyimpan foto dokumentasi sejarah.
Fotografi masuk ke Jepang pada 1840. Tetapi baru seabad kemudian
ia menemukan bentuk yang jelas. Dari saat itu pulalah dihitung
periode foto kontemporer Jepang.
Beberapa foto jurnalistik hadir dalam pameran ini. Misalnya
Pemimpin Partai Sosialis Dibunuh oleh Golongan Kanan, karya
Yasushi Nagao (The Mainichi, 1960) yang terkenal itu. Juga
tampak beberapa foto "bugil" dan eksperimental. Tetap dalam
penampilan seadanya, tidak dipaksakan. Karena itu tidak tampak
aneh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini