BIMBINGAN tes ternyata berkembang menjadi bisnis yang
menakjubkan. Menjelang tes Proyek Perintis (PP) untuk masuk
perguruan tinggi negeri, akhir Mei nanti, sejak April lalu,
bimbingan-bimbingan tes kebanjiran peminat. Tak hanya mereka
yang masih duduk di kelas III SMA, tapi juga mereka yang gagal
tes PP tahun lalu atau yang sudah duduk di perguruan tinggi
swasta, menyerbu tempat-tempat bimbingan tes itu.
Bimbingan tes KSM (Kelompok Studi Mahasiswa) di Jakarta
misalnya, hingga akhir April lalu telah mencatat 360 siswa baru.
Sedang Omega College, yang pada 1979 memiliki siswa sekitar 200,
tahun 1981 meningkat menjadi 300. Dan tahun berikutnya tercatat
580. Kini, telah terdaftar 896 siswa yang mendaftar untuk
menyiapkan diri menempuh tes PP. Sementara itu di kota seperti
Medan, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang, siswa SMA
yang masuk bimbingan tes menunjukan jumlah yang meningkat setiap
tahunnya.
Gejala serupa itu sudah pasti mendatangkan keuntungan bagi
tempat-tempat bimbingan tes, dan bagi para pengajarnya. Menurut
Maringan Sitorus, 27 tahun, mahasiswa FIS-UI yang mendirikan KSM
tahun 1979, pengajarnya tiap bulan mendapat honor Rp 300 ribu
sampai Rp 500 ribu. Itu diambil dari uang kursus yang berkisar
antara Rp 35 ribu sampai Rp 65 ribu per siswa.
Bahkan di Omega College yang kini memiliki 23 tenaga pengajar
yang semuanya bertitel sarjana, menurut Maru Sirait, direktur
umumnya, seorang pengajar per bulannya ada yang mendapat hampir
Rp 1 juta. Bimbingan tes IPIEMS (Institut Pendidikan Ilmu
Eksakta Menengah Surabaya) di Surabaya, yang memiliki 75
pengajar, rata-rata membayar Rp 100 ribu kepada seorang pengajar
per bulannya. Artinya, penghasilan mereka relatif lebih tinggi
daripada guru-guru SMA negeri.
Namun selain soal honor itu, menjamurnya bimbingan tes ternyata
tidak cuma untuk keperluan masuk ke perguruan tinggi negeri.
Banyak di antaranya bahkan berkembang menjadi semacam sekolahan
biasa. Di KSM yang punya sembilan tenaga pengajar itu, misalnya,
sejak 2 tahun lalu telah membuka pula bimbingan bagi siswa kelas
I SMA untuk menempuh penjurusan. Terutama menyiapkan pesertanya
untuk masuk jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang memang jadi
favorit anak-anak SMA saat ini. Bahkan Omega College membuka
pula bimbingan tes bagi siswa kelas III SMP. Tujuannya,
mempersiapkan mereka masuk SMA, sudah tentu. Pun bimbingan tes
itu membuka pula program yang disebut "pemahaman pelajaran kelas
I dan II SMA" meski pesertanya tak sebanyak peserta yang
menyiapkan diri masuk perguruan tinggi.
Tentu saja tempat-tempat bimbingan tes itu mengaku sebagian
besar siswanya bisa diterima di perguruan tinggi negeri. IPIEMS
Surabaya, misalnya, mengaku rata-rata 80% siswanya lulus tes
proyek perintis. IPIEMS yang didirikan pada 1969 ini tampaknya
memang bonafide. Kini punya kampus sendiri dan menetapkan jam
belajar mirip sekolah biasa. Pagi dari pukul 06.45 sampai 12.30.
Sore, 15.00 hingga 19.15. Mata pelajaran mirip sekolahan minus
pelajaran seperti olah raga, kesenian, agama Pendidikan Moral
Pancasila. Jumlah siswa seluruhnya yang mengikuti program dari
yang hanya sebulan hingga 10 bulan itu kini berjumlah 2 ribu.
Dan IPIEMS kini punya cabang di berbagai kota, antara lain
Jakarta, Solo, Semarang, Bandung, Malang, Yogyakarta.
Adakah semua itu menunjukkan para peserta bimbingan tes tak lagi
percaya kepada sekolah? "Belajar di IPIEMS lebih terarah, dan
akrab," tutur Agung, 19 tahun, seorang siswa SMAN V, Surabaya.
Menurut Agung lagi, bila di sekolah ada rasa kaku bergaul dengan
guru, di IPIEMS pergaulan guru dan siswa seperti adik dan kakak.
"Di luar jam belajar pun para pengajar mau membimbing kita,"
tambahnya. "Boleh terlambat asal tak terlalu lama, dan di kelas
boleh merokok, pakaian boleh seenaknya asal sopan."
Memang tak semua tempat bimbingan tes sebebas itu. Di tempat
Siky Mulyono Jakarta, misalnya, disiplin diterapkan nyaris lebih
keras daripada di sekolah biasa. Siky, yang minta siswanya
memanggil dia "bos" selalu siap dengan rotan untuk mengganjar
pukulan bagi yang terlambat. Pun bila siswa alpa mengerjakan
pekerjaan rumah, tak diizinkan mengikuti pelajaran.
Tapi itu memang kisah sejumlah bimbingan tes yang telah populer
dan dianggap bermutu. Di Yogyakarta, yang kini mempunyai sekitar
25 bimbingan tes, ada pula yang benar-benar hanya punya motif
cari uang. Tri Hadi yang masuk sebuah bimbingan tes di
Yogyakarta atas desakan kakaknya, menilai pelajaran kimia di
bimbingan tes ternyata kurang bermutu dibanding pelajaran kimia
di sekolah. Lantas Diana, yang mendaftar di sebuah bimbingan tes
yang lain, keluar sebelum habis programnya. "Brengsek," katanya,
"banyak jam pelajaran kosong, jadwalnya kacau."
Tapi itu memang ekses. Disebabkan, tentu, berbondongnya siswa
mencari bimbingan tes. Budiana, 25 tahun, mahasiswa tingkat IV
Jurusan Inggris Fakultas Sastra dan Budaya UGM yang menjadi
pengajar di bimbingan tes Pra-Gama, Yogyakarta, punya cerita. Di
Pra-Gama banyak siswa yang menurut penilaiannya tak perlu ikut
bimbingan tes. "Tapi mereka dan orangtua mereka rupanya tak
yakin bisa lulus dari tes proyek perintis hanya dengan pelajaran
di sekolah," tutur Budiana.
Dan nampaknya, alasan yang terakhir ini turut menyuburkan
tempat-tempat bimbingan tes di mana-mana. Sekalipun lulus atau
tidak dalam tes proyek perintis ditentukan oleh siswa
masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini