Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Persaudaraan di akhir abad xx

Bussiness service orang jepang patut ditiru indonesia. mereka sangat memperhatikan keluhan-keluhan konsumen. dalam memasarkan produknya, tak segan-segan mereka mengeluarkan biaya, membuat merasa hutang budi.

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1983 DI pesawat terbang itu, saya secara kebetulan ketemu Ota-san. Ota-san (nama sementara, untuk kolom ini saja) adalah manajer suatu cabang usaha sebuah multinasional Jepang. Ia duduk di depan, saya di belakang. Artinya, ia di kelas wahid, saya kelas benyamin. Namun dengan tergopoh-gopoh ia menyusul ke tempat duduk saya. Menanyakan kesehatan, anak istri dan basa-basi lainnya. Kabar tentang kawan-kawan kerja saya dan tentu saja bagaimana saya bergiat dengan kegemaran saya. Jawabnya tentu saja semua baik. Tak kurang suatu apa. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Pembicaraan urusan pekerjaan pun saya buka. Tentu saja hal yang baik-baik saya kabarkan lebih dahulu. Mesin yang prima. Program latihan yang efektif. Dan tenaga bantuan Jepang yang sigap. Namun saya cerita juga soal agen perawatan perkakas yang ia jual, yang kerjanya brengsek. Soal ketinggalan zamannya mesin-mesin yang telanjur kami beli, dan beberapa masalah bisnis lain. Walapun seketika itu reaksinya tidak mudah saya baca, kemudian terbukti ia amat memperhatikan keluhan saya. Manakala ia singgah di Jakarta, undangan makan siang saya sampaikan. Maksud saya ingin membicarakan lanjut keluhan saya di pesawat. Namun dengan halus dan sopan ia menolak. Alasannya karena ia buru-buru harus kembali ke Tokyo. Ia berjanji memenuhi undangan saya, pada lain kesempatan. Tetapi esoknya, dengan sigap, sopan dan pakaian perlente, perwakilan usahanya di Jakarta menemui saya. Ia ditugasi membicarakan keluhan yang saya sampaikan. Di atas meja makan siang, tentu saja kali ini atas beban perwakilan perusahaan Ota-san di Jakarta. Biarpun istri saya sedang mengatur diet ketat buat saya, apa boleh buat, jadwal makan apel dan air putih siang itu terpaksa saya liburkan. Bukan lantaran sishimi dan susi yang selalu mengingatkan saya pada Toshiko. Tetapi perkakas yang ngadat yang dibeli dari perusahaan Ota-san itu memaksa saya berbuat apa saja, demi menyelamatkan berfungsinya perkakas yang amat saya perlukan itu. Di seputar meja makan itu sudah duduk agen perawatan dan salah seorang wakil kepala perwakilan. Setelah dozo serta domo silih berganti, lalu haik haik secukupnya, urusan usai. Api di meja dipadamkan. Pelayan membungkuk-bungkuk takzim laksana memberi isyarat. Basa-basi upacara dan makan siang sudah harus diakhiri. Selang seminggu setelah kejadian itu saya sampai di Tokyo untuk urusan lain. Biarpun saya tinggal di hotel kelas tiga, di kawasan Aoyama yang tidak beken, kedatangan saya ketahuan juga oleh Ota-san. Suatu sore pesan sudah nyelip di tempat kunci. Ota-san menelepon, dan minta dihubungi kembali. Sebagai orang yang belajar sopan santun, saya tentu saja meneleponnya kembali. Dengan terbata-bata ia meminta maaf. Tidak bisa memberikan sambutan semestinya waktu saya tiba di Tokyo. Padahal ia tahu, itu tidak perlu. Saya berterima kasih, namun Ota-san tak perlu risau. Saya sudah dimanja oleh tuan rumah yang lain dalam kunjungan ini. Ia tetap mendesak. Dapatkah ia diberi kesempatan menjamu. Setelah dengan sopan saya tolak, ia minta yang terakhir. Mengantar dengan sedan perusahaan ke lapangan terbang Narita, kelak bila saya pulang. Namun dengan sesopan mungkin, saya bilang, saya telah diatur berangkat dari terminal kota. Padahal tidak. Saya membilang banyak terima kasih atas kepeduliannya. Tetapi tidak lupa saya khabarkan bahwa keluhan saya tempo hari telah ditanggapi. Rupanya pernyataan itu yang ia tunggu-tunggu. Dari segi bussiness service, baik yang beneran maupun yang kembangan, kita patut belajar dari orang Jepang. 1975 Siang itu seorang tua yang tampak terhormat, membongkok-bongkok mengetuk pintu kantor saya. Di kolom ini, sementara ia saya namakan Naka-san. Sambil pertama dan utama menyodorkan kartu nama, dengan takzim ia memperkenalkan diri dan keperluannya. Seperti biasa saya tidak siap dengan kartu nama balasan. Naka-san, manajer pemasaran sebuah produk pabrik kenamaan di Jepang itu, sedang menawarkan suatu barang keperluan perumahah penduduk kota. Tidak tanggung-tanggung, untuk keperluan seluruh kota. Kalau anggaran tak cukup, toh Pemerintah Kota dapat mengeluarkan ketentuan yang mewajibkan tiap rumah tangga memakai alat itu. Astaga, cerdik sekali orang tua ini menyodok jantung pemasaran produknya. Walau demikian dengan sabar saya mendengarkan uraian tentang peralatan yang ditawarkan itu. Kemudian Naka-san masih mondar mandir beberapa kali ke kantor saya. Desakan, bujukan, dan imbauannya yang kesekian kalinya kemudian menjatuhkan belas kasihan saya. Oke, saya bersedia melakukan uji coba alat itu, asal tidak dibebani apa-apa. Dengan amat suka cita, Naka-san pamit dengan langkah kemenangan. Dalam tempo singkat peralatan didatangkan. Uji coba juga dengan sigap saya lakukan di beberapa tempat. Dan pengamatan teknis dilakukan oleh tenaga teknis yang kompeten dengan teliti. Uji coba dirancang berjalan satu bulan. Sebagai insinyur yang patriotik, anak buah saya telah melakukan tugas uji coba itu dengan sungguh-sungguh. Dalam pada itu saya harus membacakan makalah di Nagoya. Kabar itu disambut dengan suka cita oleh Naka-san. Ditawarkan apakah saya bersedia menyisihkan beberapa hari untuk kunjungan ke Osaka, menengok kawasan kota yang sudah memakai peralatan yang ia tawarkan itu. Desak dan rayunya meluluhkan saya untuk satu malam di Osaka sebagai tamu Naka-san. Rupanya ia mencatat jadwal perseminaran saya di UNCRD di Nagoya itu. Persis pada hari terakhir, sebuah sedan putih dengan pelapis jok putih dan sopir berseragam putih serta bertopi pula menjemput di tempat seminar di pinggiran kota. Seperti seorang tahanan, saya merasa terkepung dan terperangah oleh layanan aduhai yang mengagetkan. Namun saya sudah tak berdaya. Koper butut saya diangkat dengan sigap, dikelilingi oleh orang-orang yang membungkuk-bungkuk. Naka-san segera menggandeng saya, mengajak masuk ke sedan itu. Dalam perjalanan yang nyaman namun tetap melelahkan itu, Naka-san bercerita tentang kerja di Jepang. Ia menanggapi ketakjuban saya yang tampaknya ia ketahui itu. Lebih mengagumkan lagi, persepsi budaya tentang bekerja, berprestasi, dan berkompetisi dari sebuah anak bangsa yang tak kenal capek ini. Di perkampungan yang dipamerkan menggunakan peralatan yang ditawarkan itu, penampilan alat ternyata tidak meyakinkan saya. Dan Naka-san tahu itu. Saya sebagai pengamat netral, tidak merasa perlu gembira atau kecewa. Cukup mencatat apa adanya. Namun tidak demikian dengan Naka-san. Ia berusaha keras memberi kompensasi kekurangan itu. Maka perjalanan ke Kyoto pun diekstrakan. Makan malam yang diteruskan survei ke kehidupan malam pun ditambahkan. Sebagai pengamat yang netral, biar kepingin sekali saya pun tidak boleh ngiler. Apa boleh buat. Manakala tiba saatnya saya kembali, sepasukan pengiring pun mengantar saya ke lapangan terbang Osaka. Semua sigap. Semua siap berhormat. Naka-san tak lupa menitipkan pesan atas hasil uji coba. Disertai "contoh" hasil uji coba dan surat rekomendasi untuk alat serupa, yang telah ia peroleh dari Filipina dan Muangthai. Sampai di Jakarta, saya menerima laporan uji coba. Alat itu perlu aliran listrik teratur, air ledeng yang tak pernah kurang untuk pelontar jamban, lingkungan sekitar rumah tidak pernah banjir dan tersedianya tablet kimia tertentu yang khas dari pabrik itu. Syarat ini sulit dipenuhi oleh kondisi perumahan dan hunian kota saat itu. Harganya pun masih mahal, di atas satu setengah juta tiap rumah. Ini berarti tambahan biaya bagi setiap pembangun rumah di Jakarta. Hal yang harus dihindari. Kesimpulan: alat belum sesuai dengan kondisi kota. Berita itu dengan terperinci dan lugas, apa adanya saya kabarkan kepada Naka-san. Saya biasa bergaul sesama peneliti dan ilmuwan. Biasanya findings semacam itu diterima dengan kepala dingin biarpun kritis. Di luar dugaan saya, Naka-san ternyata amat terkejut. Dengan terbata-bata ia memerlukan datang lagi ke Jakarta. Kali ini ia mengetuk pintu rumah. Ia mengeluh dan memohon belas kasihan. Pada umurnya yang lanjut dan akhir masa pengabdiannya, ia tak siap menerima kegagalan. Kasihanilah saya, katanya. Kalau tidak bisa membuat rekomendasi, sekurang-kurangnya pernyataan bahwa barangnya itu telah lulus uji coba oleh lembaga kami. Ini untuk sertifikat hasil jerih payahnya bagi perusahaan. Saya tertegun. Masygul karena hentakan Naka-san seolah-olah memaksa saya untuk ingat utang budi. Namun saya pun sadar, saya butuh melatih keperwiraan. Melatih ketebalan kulit dari ketukan yang bertubi-tubi merontokkan keteguhan. Putra bangsa ini butuh melatih diri menegakkan prinsip kejujuran dan integritas. Dengan pedih dan pilu, saya terpaksa bilang tidak bagi Naka-san.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus