Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkap dampak skenario Amerika Serikat gagal bayar utang terhadap surat utang di negara tersebut. Nilai utang Negeri Paman Sam sudah melebihi batas aman US$ 31,4 triliun. Adapun utang AS kini mencapai US$ 31,45 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi misalkan itu terjadi, maka berarti rating-nya akan semakin turun, peminat surat utang Amerika ini semakin sedikit,” ujar dia dalam acara virtual Market Review IDX Channel pada Selasa, 2 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehingga, Eko melanjurkan, Amerika akan mencari negara yang bisa menawarkan return yang lebih baik dengan rating yang juga baik. Harapannya, negara yang dipimpin Presiden Joe Biden itu bisa masuk ke negara berkembang seperti Indonesia. Obligasi di Indonesia, misalnya, dengan tenor 10 tahun, bunganya sekitar 6,5 persen.
“Harapannya begitu. Walaupun sepertinya sih secara politik, tidak akan sampai gagal bayar, ya,” kata Eko. Dia menduga Amerika Serikat tidak akan mengalami gagal bayar utang (default), karena peluangnya kecil.
“Karena bagaimana pun, Amerika itu ketika banyak tekanan, dia bersatu. Jadi mungkin akan memilih untuk kompromi, kemudian tidak terjadi gagal bayar. Tidak pernah terjadi dalam sejarah Amerika sampai gagal bayar.”
Sementara di Indonesia sendiri, dari sisi komposisi, yang Eko tahu pemerintah tidak memegang obligasi Amerika. Sehingga, jika Amerika mengalami gagal bayar utang, dampaknya secara langsung terhadap Anggaran Pendapatan Belanda Negara atau APBN tidak terlalu besar.
Namun, Eko berujar, mungkin situasi di sektor keuangannya yang akan gonjang-ganjing. Biasanya, kata dia, akan mempengaruhi kurs kemudian jika berkelanjutan bisa sampai ke sektor riil. “Tapi biasanya dinamikanya di sektor keuangan dulu,” ucap Eko.
Selanjutnya: Eko juga menjelaskan saat ini belum ada kesepakatan ...
Eko juga menjelaskan saat ini belum ada kesepakatan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah Amerika. Dewan meminta plafonnya dinaikan tanpa mengurangi berbagai macam penyesuaian atau pengetatan anggaran, sementara pemerintah berharap mungkin bisa dinaikan tapi meminta cukup besar sekali pemotongan anggaran untuk efisiensi.
“Jika tidak terjadi kesepakatan antara DPR dan Pemerintah Amerika, maka akan terjadi seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Janet Yellen yakni berdampak serius bagi aktivitas ekonomi negara itu,” ujar dia.
Ujungnya, Eko melanjutkan, bisa terjadi resesi karena Amerika adalah mitra dagang salah satu yang terbesar bagi Indonesia—nomor dua untuk nonmigas maka bisa berdampak bagi Tanah Air. “Jadi kalau ekonomi Amerika turun maka akan berimbas kepada ekonomi Indonesia. Sebetulnya inti relasinya itu ada di situ, kenapa ini menjadi konsen,” tutur dia.
Menurut Eko, kejadian potensi gagal bayar utang Amerika sebetulnya sudah terjadi beberapa kali, khususnya yang berkaitan dengan batas utang—walaupun dalam praktiknya belum pernah Amerika sampai gagal bayar. Penyebabnya, dia berujar, meski terjadi berbagai macam pro dan kontra, akhirnya biasanya secara politik kenaikan plafon itu disepakati dan batasannya dinaikan.
Dia mencontohkan peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu karena ada pandemi Covid-19. Jika dilihat penyebabnya kenapa utang terus membengkak saat itu karena memang penanganan Covid-19 itu membutuhkan biaya yang banyak.
“Kemudian melonjakan utang dan sebetulnya juga sudah ada plafon yang naik pada 2021 tapi ternyata terlewati juga di 2023 ini,” ucap Eko.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini