DESAIN interior kantor Citibank di Landmark Center, Jakarta, tergolong mewah. Selain berpendingin, ruang kerja yang disekat-sekat dengan partisi berwarna pastel itu mengesankan suasana kerja yang nyaman. Tapi, dari balik sekat-sekat itulah, sering menyelinap bisik-bisik transaksi perpindahan karyawan Citibank, ke bank-bank swasta lainnya. Sejak Pakto 27 ditabuh tahun lalu, menurut penuturan seorang bankir asing kepada TEMPO, sekitar 4% dari 600 karyawan Citibank Jakarta sudah minggat alias hengkang. "It's painful," ujarnya dengan ekspresi murung. Yah, memang menyakitkan, biarpun tidak terlalu mengejutkan. Sejak dulu memang karyawan Citibank terkenal tak tahan rayuan maut dari bank-bank swasta lokal. Mereka tak kuat menolak tawaran gaji, fasilitas, dan jabatan yang lebih baik -- yang bisa dua kali lipat dari yang diterima di Citibank. Lagi pula, para alumni Citibank biasanya memperoleh posisi-posisi puncak di bank-bank sini. Chase Manhattan Bank, teman sekampung Citibank dari Amerika, mengalami nasib serupa. "Sejak Januari lalu sudah 12 orang setingkat vice president di Chase yang kami ambil, " tutur Boediarto Boentaran, alumni Chase yang kini duduk sebagai wakil pemimpin Bank Internasional Indonesia (BII). Bagi Chase, kejadian ini juga terasa menyakitkan. "Sekuat-kuatnya multinasional seperti Chase, pasti juga gemetar kalau yang hengkang sebanyak itu," kata Bambang Wibisono, manajer sumber daya di Chase, menanggapi eksodus itu. Tapi pada saat hampir bersamaan, 11 orang setingkat pejabat perkreditan BII dijaring keluar oleh Bank Danamon (7 orang, di antaranya Franklin Nelwan), Bank Pacific, Bank Duta, Bank Servetia, dan Bank Umum Nasional (masing-masing seorang). Padahal, BII sendiri butuh banyak orang, untuk mengoperasikan bank patungannya dengan Fuji Bank (Jepang) dan Credit Lyonnais ( Prancis) . Eksodus juga terjadi di Bank Niaga, salah satu bank yang terkenal punya program pelatihan cukup bagus. Sejumlah tenaga profesional bank yang dipimpin Robby Djohan ini belakangan ternyata angkat kaki, tak lama setelah mereka usai menjalani pendidikan khusus kader perbankan. Ini membuat Robby kecut. Betapa tidak. Untuk membina seorang bankir profesional, tak sedikit biaya yang mesti dikeluarkan. Di BII, misalnya, menurut perhitungan Boediarto, sedikitnya Rp 20 sampai Rp 30 juta diperlukan untuk mendidik setiap orang per tahun, termasuk untuk membayar gajinya. Mobilitas di kalangan perbankan saat ini memang sedang tinggi-tingginya dan mengesankan dinamika yang dimotivasi Pakto 1988. Sedikitnya ada 13 bank umum, lima bank patungan, dan empat bank perkreditan rakyat yang baru didirikan . Gubernur BI, Adrianus Mooy, Jumat pekan lalu sudah memencet aba-aba. Dikatakannya, bila praktek bajak-membajak yang tak sehat ini tak diwaspadai, masalahnya akan menjadi serius bagi dunia perbankan kelak kemudian hari. Namun, di mata bankir yang terlibat dalam praktek pencaplokan tenaga profesional, kejadian ini dianggap semata-mata masalah supply & demand tenaga kerja. Dan sifatnya sementara, sampai tercapai kembali keseimbangan antara penawaran dan permintaan tadi. Seorang bankir asing di Jakarta memperkirakan, gejala comot-mencomot ini baru akan berakhir setelah melewati masa tiga sampai lima tahun, saat ekuilibrium penawaran dan permintaan tercapai. Sedangkan bagi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, pindah-pindahan ini sama sekali tak menjadi masalah. "Itu sudah menjadi risiko di negara-negara sedang berkembang," tutur Presiden Komisaris Bank Perkembangan Asia ini, enteng. Di negara-negara Dunia Ketiga, stok tenaga perbankan profesional biasanya memang terbatas karena bank sendiri masih jauh dari jangkauan sebagian besar penduduk. Bahkan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin menganggap, gerak perpindahan tenaga profesional bank menandakan berkembangnya pemikiran baru di masyarakat bisnis kita. "Gejala pengambilalihan manajer ini berpengaruh bagi perekonomian yang sedang tumbuh. Dan ini positif," ujar Sumarlin, seperti dikutip majalah baru Warta Ekonomi. Citibank pun tak terlalu risau kendati masih jengkel. Toh, ada terselip hikmah yang bisa dipetik bank asing ini. "Semakin banyak tenaga bankir profesional, semakin mudah mendidik pasar, semakin canggih produk perbankan yang ditawarkan, dan semakin mudah bagi Citibank berpartisipasi di dalamnya," kata bankir asing yang enggan disebut namanya itu. Sekadar menghibur diri? Boleh jadi. Syahdan, Perbanas sudah mengeluarkan surat edaran no. 549/1989, Maret silam. Di situ para anggotanya diimbau, agar menghindari praktek saling bajak tenaga profesional. Demi menjaga hubungan yang harmonis, Perbanas menawarkan prosedur perpindahan karyawan yang, antara lain, harus mendapat persetujuan dari direksi tempatnya bekerja. Sementara itu, bank yang akan mengambil karyawan tersebut harus memberi tahu bank tempat karyawan itu bekerja, sekurang-kurangnya dua bulan sebelumnya . Aturan main seperti itu tampaknya mulai dipatuhi oleh anggota Perbanas. Bahkan akhir Mei lalu, Perbanas sepakat membentuk Klub Pengembangan Sumber Daya Manusia. Tujuannya? "Tentu saja untuk mengatasi kesulitan tenaga profesional," tutur Sekjen Perbanas Thomas Suyatno kepada TEMPO. Klub yang diketuai oleh Mohtar Madala dari Bank Duta itu juga akan membantu urusan perpindahan karyawan. Tata cara perpindahan memang mulai diindahkan. Tapi pengamat ekonomi Kwik Kian Gie tak mempersoalkan hal itu. Ia lebih melihat dari jabatan apa manajer itu dicomot. Kalau berasal dari posisi kunci, itu artinya tidak etis karena manajer kaliber itu tahu banyak rahasia bank tempatnya bekerja semula. Kwik mengusulkan, agar manajer-manajer yang suka loncat ini jangan langsung bekerja di bank lainnya. Paling tidak harus jeda dua tahun tak bekerja, di industri perbankan. Ide Kwik ini terdengar nyaman, tapi dunia perbankan tak mungkin membiarkan tenaga terampil seperti itu hidup santai tak menentu. Apalagi, para bankir itu memang lebih suka berpindah ke padang yang rumputnya lebih hijau. Dickv Iskandar Di Nata, orang kedua di Bank Duta setelah Dirut Abdul Gani, mencoba mengingatkan bahwa tak semua tenaga profesional -- yang menonjol di bank asing sekalipun -- akan sukses di bank swasta nasional. Dari enam orang yang ditarik Dicky dari Citibank, hanya tiga yang bertahan. "Mereka yang tinggal umumnya mampu menyesuaikan diri dengan kondisi di Bank Duta. Lainnya keluar karena asing dengan soal KIK/KMKP," tuturnya. Kalau begitu, bagaimana sebaiknya menangkal pencomotan karyawan bank? Bank terbesar di Indonesia, BNI, yang mengandalkan semangat kebersamaan, ternyata belum kehilangan manajernya yang berjumlah 40 orang dan bergelar M.B.A. itu. Toh ini bukan jaminan bahwa 60 staf BNI lainnya yang kini dipersiapkan untuk meraih M.B.A. di Amerika akan luput dari pembajakan.Bachtiar Abdullah dan Wartawan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini